Gerabah Sitiwinangun, Simbol Persaudaraan Warisan Pangeran Panjunan
Kokohnya rasa persaudaraan yang terwarisi sejak lama, mampu mencegah rasa persaingan di antara mereka. Para pengrajin gerabah percaya bahwa karya leluhur diwariskan demi kelangsungan hidup seluruh masyarakat desa dan telah menjadi tanggung jawab bersama.
Gerabah merupakan salah satu karya dari zaman pra sejarah dan diperkirakan ada semenjak manusia hidup menetap dan bercocok tanam. Pengertian gerabah itu sendiri adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar untuk kemudian menjadi alat-alat yang berguna bagi manusia.
Gerabah dalam bahasa Cirebon disebut getak, memiliki sejarah yang cukup panjang disertai berbagai versi dan mitos. Konon menurut Pangeran Cakrabuana orang-orang yang tinggal di daerah Jamblang tidak akan kelaparan apabila bisa mengolah tinggalan Mbah Kuwu Cerbon yang berupa tegalan, kebon, dan kali. Sebab dari tiga wasiat tersebut terdapat unsur-unsur utama dalam proses pembuatan gerabah. Dari tegalan bisa dimanfaatkan tanahnya, dari kebon bisa diambil laraannya (daun yang sudah kering), dan dari kali bisa diambil pasirnya.
Dalam sebuah cerita rakyat disebutkan, pada awal perkembangannya gerabah Sitiwinangun dikenal sangat kuat, bila dibanting tidak akan pecah. Ketika mereka menghaturkan tiga buah pendil hasil kreasi mereka kepada Mbah Kuwu Cirbon. Kemudian ia memecahkan salah satunya, sedangkan yang lainnya disimpan di komplek Ki Buyut Bagusan
Para pengrajin gerabah merasa sangat heran kenapa Mbah Kuwu memecahkan karya mereka. Mbah kuwu menjelaskan “Kalau pendil ini tidak bisa pecah, nanti anak cucu kamu tidak bisa makan”. Kemungkinan cerita di atas menggambarkan dimulainya komersialisasi produki gerabah di Sitiwinangun. Artinya jika para pengrajin mempertahankan kualitas gerabah sebagaimana pada masa awal (tidak pecah saat dibanting) maka volume penjualan mereka tidak akan bertambah, karena kebutuhan akan gerabah tidak akan bertambah pula.
Dari kemampuan mereka mengolah tanah tersebut dihasilkan gerabah yang pada akhirnya diproduksi secara massal dan menjadi mata pencaharian penduduk desa. Tidak heran jika daerah ini dinamakan Sitiwinangun, dari kata siti (tanah) dan winangun (membentuk atau mengolah). dengan kata lain Sitiwinangun berarti pengolahan tanah.
Setelah Syekh Abdurrahman yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Panjunan menetap di Amparan Jati dan berprofesi juga sebagai pembuat gerabah. Sebelum Sitiwinangun dibangun sebagai sentra kerajinan gerabah , Pangeran Panjunan mengembangkan kerajinan ini di daerah Panjunan. Dengan semakin padatnya penduduk yang bermukim, beliau memindahkannya ke daerah yang banyak pohon duwetnya (jamblang) yang dialiri oleh sungai yang cukup besar.
Pangeran Panjunan sangat terampil mengolah tanah liat menjadi gerabah, karya-karya sangat terlihat sangat halus, kuat, dan indah. Orang yang melihat seakan-akan terbius oleh hasil kerjanya. Bahan dasarnya diperoleh dari desa Sitiwinangun yang berkadar nilai tinggi dan tidak mudah pecah. Keahliannya itu diturunkan kepada anaknya yaitu Pangeran Jagabaya. Dari sanalah keahlian itu diturunkan secara turun-temurun ke anak cucunya, hingga saat ini.
Orang-orang tua disana mengatakan untuk bisa menghasilkan karya gerabah yang baik ada syarat yang harus dilakoni. Syarat itu adalah sebelum bekerja membuat gerabah harus melakukan ritual berupa mengelilingi makam Pangeran Jagabaya. Saat ini, keyakinan atau ritual itu sudah berkurang. Artinya masih ada warga yang memegang teguh tradisi karuhun. Cuman mereka melakukan itu secara diam-diam. Dalam keyakinan mereka, bila menginginkan hasil yang baik tradisi leluhur harus dilestarikan.
Sampai sekarang masih peninggalan gerabah yang dipercaya dibuat oleh Pangeran Panjunan, benda tersebut antara lain berupa pendil, gosang, padasan, pedupan (anglo), memolo, guci, dan lain-lain. Disamping itu terdapat tinggalan lainnnya berupa Mesjid Keramat dan Bale Mangu.
Gerabah Sitiwinangun memiliki kekhasan lain, selain penggunaan teknik tradisional yaitu pinching (pijit), ditambah pula dengan adanya corak hias atau ukiran yang ditorehkan pada setiap gerabah tersebut. Corak hias yang biasa ditorehkan adalah model sulur kangkung, anyaman, motif tali duri ikan, tumpal, pilin, meander, dan melati.
Ciri khas Cirebon adalah motif melati, tetapi sekarang yang banyak beredar adalah motif mega mendung. Selain itu bentuk yang dihasilkan meliputi wadasan, pot bunga, tempayan air,patung yang dibentuk Paksinagaliman dan Singa Barong.
Satu hal yang perlu diapresiasi adalah kuatnya rasa persaudaraan dan kerja sama dalam proses pembuatan gerabah. Sikap gotong-royong tampak saat proses pembakaran. Tidak timbul rasa persaingan di antara mereka. Para pengrajin gerabah percaya bahwa karya leluhur diwariskan demi kelangsungan hidup seluruh masyarakat desa dan telah menjadi tanggung jawab bersama.