Hari Ini Pada 1386, Kerajaan Kristen Georgia Jatuh ke Tangan Timurlenk
JAKARTA— Sejarah hidup Timurlenk, Tamerlane atau sering pula disebut Amir Timur, tak hanya kelam, tetapi penuh kontroversi. Di satu sisi sering dianggap sebagai penguasa kerajaan Islam yang mencoba menerapkan aturan hidup sebagai Muslim dan memelihara kesejehteraan rakyatnya. Di sini lain, ia pun sering digambarkan sebagai penguasa dan pemimpin perang yang haus darah.
Namanya sendiri sebenarnya tak menyiratkan kesan mengerikan. Timur Lenk, yang artinya Si Besi yang Pincang dalam Bahasa Chagatai, diyakini lahir pada 9 April 1336 di Transoxiana dekat Kesh (kini Shahrisabz), Uzbekistan. Sang ayah bernama Taraghai, pemimpin suku Barlas, sebuah suku Mongol yang telah mengalami banyak ‘pen-Turki-an dalam budaya. Sejak kecil, Timur terbiasa melakukan penyerbuan (perampokan) terhadap kabilah-kabilah yang lewat, mencuri ternak dan barang-barang yang mereka bawa. Di masa mudanya, sekitar 1363, Timur terkena sabetan pedang dan lontaran anak panah pada tangan dan kakinya. Meski bertahan hidup, ia kehilangan dua jari dan menjadi pincang setelah itu.
Setelah berbagai perjuangan dan intrik, pada 1370 Timur membunuh Amir Husayn, penguasa Transoxiana dan menikahi istri Husayn, Saray Mulk Khanum. Saray adalah keturunan penakluk legendaris Gengis Khan. Itu menjadikan Timur pemimpin Suku Chagatai.
Tak mungkin menempelkan gelar ‘khan’ karena bukan keturunan langsung Gengis Khan di satu sisi, serta mustahil memakai gelar ‘khalifah’ karena tak memiliki darah Quraish—suku Nabi Muhammad SAW, Timur memilih nama Amir Timurlenk atau Amir Tamerlane. Sebagaimana penguasa di mana pun di dunia saat itu, ia membangun mitos memiliki kekuatan supranatural yang diberikan langsung Tuhan. Sejak itulah, Timur terus memperluas wilayah kekuasaannya, termasuk wilayah Georgia, bahkan Rusia.
Georgia, sebuah kerajaan Kristen di Kaukasus, menjadi sasaran penaklukan Timur antara tahun 1386 dan 1403. Meski pada 21 November 1386 pun Georgia dan ibu kotanya, Tblisi, dihancurkan pasukan Timur dalam agresi yang disebutnya sebuah jihad, negara itu tak pernah sepenuhnya takluk. Invasi pertama dan penawanan Raja Bagrat V itu hanya membuka perlawanan bertahun-tahun dari elit dan rakyat Georgia. Rakyat Georgia percaya, Bagrat V yang ditawan dan diislamkan Timur itu melakukannya hanya sebagai strategi.
Sebelum berhasil membawa kembali ayahnya, Raja Georgia, George VII, terus melakukan perlawanan keras dan menghabiskan hampir seluruh masa pemerintahannya (1395-1405) melawan invasi Timur. Ketika Timur—yang juga terus berperang dengan rival sesame penguasa kerajaan Islam, , George VII yang kemudian setuju menyerah dan dibebani upeti tahunan, tinggal merupakan penguasa kota-kota kecil yang hancur dan perdesaan yang porak-poranda. Sebelumnya, pada musim semi 1400, karena tak henti melakukan serangan-serangan fatal terhadap pasukannya, Timur menyerang habis-habisan Georgia. Sebuah kampanye berdarah berbulan-bulan bergerak menyapu seluruh wilayah Georgia. Hampir semua kota dihancurkan dan penduduk dikejar. Konon, ratusan ribu orang meninggal tak hanya karena senjata, melainkan pula sebab kelaparan dan penyakit. Sekurangnya 60 ribu orang yang selamat diangkut pasukan Timur.
Salah satu musuh tangguh yang pernah dilawan Timur adalah keturunan lain Gengis Khan bernama Tokhtamysh. Menariknya, Tokhtamysh pernah menjadi pengungsi dan mendapat perlindungan Timur. Setelah menjadi penguasa Kipchak serta Golden Horde, Tokhtamysh dan Timur berebut pengaruh sebagai penguasa Muslim di wilayah sekitar itu. [ ]