POTPOURRI

Hidup dan Karier yang Hancur Karena Aturan di Quebec

Cerita empat wanita, bagaimana hukum sekular baru di Quebec telah mengubah hidup mereka

MONTREAL—Seorang perempuan pengacara Muslim yang mengenakan jilbab telah mengesampingkan cita-citanya untuk menjadi jaksa penuntut umum. Seorang guru Sikh dengan sorban pindah sekitar 2.800 mil dari Quebec ke Vancouver, menyebut diri sebagai ‘pengungsi di negara sendiri’. Seorang guru Yahudi Ortodoks yang mengenakan syal khawatir dirinya dapat diblokir dari promosi.

Sejak pemerintah Quebec pada Juni 2019 melarang guru sekolah, polisi, jaksa penuntut dan pegawai sektor publik lainnya mengenakan simbol agama saat bekerja, orang-orang seperti ketiga perempuan itu telah bergulat dengan konsekuensinya.

François Legault, pemegang otoritas eksekutif di Quebec yang berhaluan kanan, mengatakan undang-undang–yang berlaku untuk jilbab Muslim, turban Sikh, kopiah Yahudi, salib Katolik dan simbol agama lainnya, itu menjunjung tinggi pemisahan antara agama dan negara, dan menjaga netralitas pekerja sektor publik . Pemerintah telah menekankan bahwa sebagian besar warga Quebec mendukung larangan tersebut.

Nur Farhat, sarjana hukum yang mundur dari impiannya menjadi jaksa publik

“Saya tidak akan merasa nyaman dihadapkan dengan seorang hakim atau pengacara di pengadilan mengenakan jilbab di sini, karena saya akan khawatir tentang netralitas mereka,”kata Radhia Ben Amor, seorang koordinator penelitian di Universitas Montreal, yang beragama Islam. Ia mengatakan dirinya pindah dari Tunisia untuk tinggal di negara yang lebih sekuler.

Namun undang-undang tersebut telah memicu protes vokal dan tantangan hukum, serta kecaman dari Perdana Menteri Justin Trudeau.

Para kritikus mengatakan, hal itu justru merusak kebebasan beragama, melanggar perlindungan konstitusional dan mengecualikan minoritas yang memilih untuk memakai simbol iman dari profesi penting. Mereka juga mengatakan, akan sulit untuk menerapkan hokum, karena sulit untuk membedakan simbol keagamaan dari aksesori mode atau pakaian nonagama.

Dewan Sekolah Bahasa Inggris di Montreal mengatakan, undang-undang memaksanya untuk memalingkan guru yang berkualitas. Ia mengatakan, setidaknya satu guru telah melepas jilbabnya saat bekerja untuk menjaga pekerjaannya.

Koalisi Inklusi Quebec, sebuah kelompok yang mencakup Katolik Roma, Yahudi, Sikh, dan Muslim, menantang undang-undang tersebut di pengadilan, bersama dengan tiga guru, termasuk dua Muslim dan seorang penganut Katolik Roma.

Perri Ravon, seorang pengacara yang telah mengerjakan dua tuntutan hukum terhadap larangan tersebut mengatakan, setidaknya untuk saat ini hukum tersebut secara tidak proporsional memengaruhi wanita Muslim, karena jilbab adalah simbol agama yang kelihatan dari luar. Dia mencatat bahwa salib Katolik kurang mencolok karena bisa disembunyikan dalam blus atau kemeja saat bekerja.

Meskipun demikian, guru Katolik yang disebutkan dalam salah satu tuntutan, Andréa Lauzon, yang mengenakan salib dan medali Perawan Maria yang terlihat dari luar,  mengatakan di pengadilan bahwa iman dan identitasnya terikat erat. “Saat ini hak konstitusional saya untuk kebebasan beragama telah dilanggar,” kata dia.

Kalung itu juga terlarang dikenakan seorang pekerja pemerintah di Quebec

Larangan ini berakar pada evolusi bersejarah Quebec menjadi masyarakat sekuler yang taat dengan ketidakpercayaan mendalam terhadap agama. Semua itu berasal dari apa yang disebut Revolusi Tenang pada 1960-an, ketika Quebec memberontak melawan dominasi Gereja Katolik Roma.

Jean Duhaime, profesor agama emeritus di University of Montreal mengatakan, bahkan sebelum undang-undang baru-baru ini, pemakaian salib di sektor publik distigmatisasi dan dihambat dalam masyarakat Quebec.

Dia mengatakan para penentang Katolik terhadap larangan itu menjalin solidaritas dengan kelompok-kelompok agama lain. Ia melihat bahwa di masyarakat pendukung hukum Quebec melihat Muslim yang mengenakan jilbab sebagai “hantu agama yang muncul kembali di Quebec, sambil memandang jilbab sebagai instrumen dominasi patriarki”.

Berikut ini empat wanita yang kehidupan dan kariernya terpengaruh larangan tersebut.

Nour Farhat, 28

Nour Farhat telah lama bermimpi untuk menjadi jaksa penuntut umum di Quebec. Sebaliknya, dia sekarang mewakili serikat guru yang menuntut pemerintah Quebec karena larangan tersebut.

Selama magang untuk sebuah agen pemerintah Quebec, Farhat muncul di hadapan seorang hakim di jilbabnya. “Ini menjadikan hal baru di gedung pengadilan,” kata Farhat. Tetapi larangan itu mulai berlaku beberapa minggu setelah dia menyelesaikan gelar masternya dalam hukum pidana. “Mimpiku hancur,” katanya. Dia sekarang bekerja di firma hukum swasta. Farhat berpendapat bahwa hukum tidak konsisten.

“Mengapa ok-ok saja seorang pria dengan janggut atau wanita berkalung salib di bawah turtleneck-nya bekerja sebagai jaksa penuntut, tetapi itu tidak ok bagi seorang wanita berjilbab?”, dia bertanya. Sementara beberapa pendukung undang-undang mengatakan hukum itu akan membantu membebaskan wanita Muslim dari pakaian yang mereka sebut ‘seksis dan membatasi’, Farhat mengatakan jilbabnya justru memberdayakannya.

Orang tua Farhat beremigrasi ke Montreal dari Lebanon pada 1990-an. Pada usia 11 tahun ia memutuskan untuk mengenakan jilbab. “Ayahku selalu berkata, “Putriku bernilai 1000 orang pria’,” kata dia, mengenang.

Dia mengatakan bahwa meskipun beberapa hakim terkejut melihat pengacara wanita dengan jilbab, beberapa terdakwa dari latar belakang minoritas bersorak.

Amrit Kaur, guru asal Quebec yang ‘hijrah’ ke Montreal karena larangan memakai turban

“Mereka berkata, “Kami sangat senang melihat seseorang seperti Anda di gedung pengadilan”, bahkan setelah saya mengingatkan mereka bahwa saya akan menuntut mereka,” kata Farhat.

Amrit Kaur, 29

Larangan simbol-simbol agama melewati hari ketika Amrit Kaur, seorang Sikh yang mengenakan turban, lulus dari perguruan tinggi guru. Kini dia pindah ke sisi lain negara itu.

“Quebec memintaku untuk melepas turbanku, seperti memintaku memotong anggota tubuh,” katanya. Dia bertanya, bagaimana dia harus mengajar anak-anak tentang toleransi dan keragaman, ketika dia sendiri dilarang memakai simbol kepercayaan agamanya sendiri saat bekerja?

Meskipun hanya pria Sikh yang secara tradisional mengenakan turban, beberapa wanita Sikh di diaspora seperti Nona Kaur telah mengadopsi kebiasaan itu untuk mengklaim iman dan kesetaraan mereka. Aktivis Sikh di Quebec mengatakan, sedikit sekali pria Sikh yang terpengaruh larangan tersebut karena kecilnya komunitas Sikh di provinsi itu. Pria sikh pun historis tidak akan melamar pekerjaan di sektor publik seperti aparat polisi, takut prasangka negative terhadap turban.

Bahkan sebelum undang-undang disahkan, pemerintah Quebec telah melarang beberapa orang Sikh memasuki legislatif Quebec dengan belati seremonial kecil, atau kirpan, di dalam pakaian mereka. Larangan itu berhasil melewati banding di Mahkamah Agung Kanada.

Mandeep Kaur, wakil presiden cabang Quebec dari Organisasi Sikh Dunia (dia tak punya hubungan dengan Amrit Kaur), mengatakan undang-undang baru itu akan lebih jauh lagi menekan kaum muda Sikh memasuki pekerjaan sektor publik.

Amrit Kaur ingat, ayahnya–seorang insinyur penerbangan yang menyukai Pink Floyd, mengalami  “Paki, pulanglah!” saat tumbuh dewasa di Inggris. Ia memutuskan menetap di Montreal karena toleransinya. Sekarang ia sangat rindu akan Quebec sehingga dia mengatur setting komputer, mobil, dan iPhone-nya ke bahasa Prancis.

Dia mengatakan, saran dari para pendukung RUU itu bahwa turbannya akan membuat anak-anak yang ia ajar, salah arah. “Ini adalah negara yang memberlakukan sekularisme sebagai agama pada saya,” katanya.

Carolyn Gehr, 37

Orang tua di sekolah menengah tempat Carolyn Gehr mengajar, memuji dia sebagai panutan bagi wanita muda. Dia memimpin sesi laboratorium kimia dan geologi, dan memberi nasihat kepada kelompok mahasiswa feminis tentang isu-isu seperti aborsi dan pemerkosaan.

Tetapi Nona Gehr, seorang Yahudi Ortodoks dengan pengalaman 14 tahun di sekolahnya, khawatir ia bisa diblokir jika ia ingin dipromosikan menjadi wakil kepala sekolah. Pejabat di Dewan Sekolah mengatakan hukum mungkin berlaku untuk syal di kepalanya.

“Gagasan bahwa saya harus dihukum karena apa yang ada di kepala saya adalah sikap ofensif,” kata Gehr. Ia mengatakan, dirinya mengenakan penutup kepala untuk melambangkan komitmen perkawinannya di bawah hukum Yahudi.

Gehr mengatakan, hukum yang ada memaksa guru untuk menjelaskan kepada anak-anak, bahwa karena agama maka pilihan karir mereka dapat dibatasi. “Bagaimana seharusnya seorang guru memberi tahu seorang siswa untuk membatasi impian mereka?”,  dia bertanya.

Ms Gehr mengatakan larangan simbol agama didasarkan pada ‘premis palsu’. “Pemerintah Quebec tampaknya tidak memahami bahwa aturan agama bukanlah sesuatu yang bisa Anda tinggalkan begitu saja.”

Sumayya Patel, 24

Setelah larangan itu datang, Sumayya Patel bertanya pada dirinya sendiri apakah ia akan melepas jilbabnya. Dia mengatakan tidak bisa.

“Ada saat-saat ketika saya ingin melepasnya dan membiarkan rambut saya turun seperti gadis-gadis lain,” katanya. “Tetapi saya tetap menggunakannya sejak saya berusia 13 tahun, dan, setelah semua upaya dan pengorbanan itu, telah menjadi bagian dari diriku.”

Nona Patel mengatakan, hanya beberapa bulan setelah dia lulus dari Universitas McGill di Montreal dengan gelar pendidikan, dan telah ditawari pekerjaan sebagai guru pengganti. Hidupnya menjadi kacau ketika Dewan Sekolah mengatakan, untuk terus bekerja, dia harus melepas jilbabnya.

Akhirnya, Dewan membiarkan dia mempertahankan pekerjaannya karena dia dipekerjakan sebelum hukum berlaku. Namun, masa depannya tidak pasti.

Guru, kepala sekolah, bahkan murid murid, mnentang pelarangan di Quebec

Nona Patel mengatakan, hukum tersebut mempromosikan kebencian. Beberapa feminis di Quebec mendukung larangan tersebut, dengan alasan bahwa menjauhkan agama dari kehidupan publik dapat membantu memajukan hak-hak perempuan.

Tetapi Nona Patel mengatakan, mereka yang ingin melarangnya mengenakan jilbabnya adalah seksis. Orangtuanya yang kelahiran Gujarat selalu mendorongnya untuk memiliki karier. “Feminisme memiliki pilihan untuk melakukan apa yang ingin Anda lakukan,” katanya. [Dan Bilefsky/The New York Times]

Back to top button