Hikayat Bisma Bagian 3: Kembali ke Istana
Dalam etika kerajaan wayang, pernikahan dengan cara seperti itu pada seorang mahaputri adalah aib besar. Apalagi jika sampai viral ke seluruh penjuru madyapada. Ibarat memupurkan kotoran manusia pada wajah sang raja. Tak masalah jika seorang putri akhirnya ditakdirkan berjodoh dengan resi, atau bahkan dengan sudra. Tetapi menikahinya secara tak layak adalah pengkhianatan.
Oleh : Ki Agus Kurniawan
JERNIH– Para dewata di Kahyangan Surapada melimpahkan kemurahan hari ini. Mereka berkenan mengiringi kelanjutan kisah ini dengan gending Ladrang Sumedang dari alunan gamelan pusaka kadewatan, Lokananta. Ki Dalang pun sigap memukulkan cempala, tanda kisah dilanjutkan.
Sesuai ketetapan jitabsara yang ditulis Betara Penyarikan — kitab asali yang berisi jalan hidup para wayang, kelahiran Abiyasa rupanya menjadi berkah bagi sekitarnya. Sapta Arga seolah dibebaskan dari kutukan. Hawa beracun berganti kabut segar. Daya jahat menyublim. Hutan yang senantiasa diselimuti kegelapan tiba-tiba membuka diri terhadap rengkuhan Betara Surya, terang dan hangat. Jin-jin berperangai buruk yang selama ini bersimaharaja pun kegerahan, bermigrasi ke gunung lain.
Bunga-bunga bermekaran sepanjang musim. Hewan-hewan mulai berdatangan kembali untuk bermukim. Mulanya serangga kecil. Lalu herbivora, semisal owa, rusa, badak, dan semacamnya. Pemuncak paramida, dua bersaudara sima dan singa, juga tergoda membangun masa depannya di sini karena melihat adanya jaminan ketercukupan pangan.
Para bidadari jadi rajin tetirah. Mereka riuh bersukaria. Andai saja Anda bisa mendengar keriangannya yang seperti gericik air pegunungan. Sayangnya tak bisa. Frekuensi suara mereka diluar cakupan audiosonik. Tubuhnya yang mempesona, dan telah memenuhi imajinasi manusia selama ribuan tahun, juga tak bisa dilihat. Sampai cerita ini ditulis, belum ada riset resmi yang berani menyimpulkan secara taksonomi para bidadari itu sebenarnya termasuk regio atau domain apa. Yang pasti bukan prokariota atau pun eukarya. Hanya auranya yang berjejak: alam menjadi lebih menggembirakan.
Seluruh ekosistem Sapta Arga seolah saling bersinergi sesuai kodratnya. Tak ada yang mengambil lebih. Tapi juga tak ada yang kekurangan. Jitabsara para dewa menyebut keseimbangan ini sebagai Gaia.
Kabar tentang transformasi Sapta Arga dari tempat wingit menjadi ikon keindahan menyebar dari mulut ke mulut. Mulanya para pertapa, perambah, dan pemburu yang mengabarkan. Lalu viral melalui bakul sinambi wara, para pedagang yang menyambangi kampung demi kampung. Mereka berniaga sekaligus menyebarkan berita.
“Beneran, Kang? Sudah nggak angker lagi? Bukan hoax, kan?”
“Saya pastikan bukan, Mas. Saya kemarin ketemu blantik sapi. Katanya dia sebelumnya ketemu pemburu madu hutan. Si pemburu madu itu mendengar cerita dari para pertapa.”
“Lho Njenengan gak lihat sendiri? Cuman denger-denger doang?”
“Ya nggak, Mas. Mosok saya blusukan ke hutan. Cari mati apa.”
Dan gosip itu menjadi buah bibir hingga ke balairung Istana Wirata, nun jauh di perbatasan.
Pagi itu Palasara sedang memandangi dari jauh sosok istrinya yang sedang mengasuh anak. Mata pertapa sakti itu tak hendak berkedip sekejap jua. Penuh takjub. Dia merasa sangat beruntung dianugrahi perempuan elok itu sebagai istrinya — yang kecantikannya bak Betari Ratih ngejawantah.
Kian hari cintanya semakin mekar. Ngrembaka, seperti rumpun kembang bakung di musim penghujan. Dia berikrar diam-diam, demi perempuan ini dia rela mati. Jika ada yang berani melukainya segoresan kulit ari ataupun selembar rambut – sekali pun itu dilakukan oleh para dewa, akan dia hadapi sampai tetes darah terakhir.
Tapi sudah beberapa minggu ini hatinya selalu gelisah. Beberapa kali dia menerima isyarat akan datangnya petaka. Suatu malam dia bermimpi pakaiannya terbawa banjir bandang. Lain waktu bermimpi tentang kehilangan Kyai Pulanggeni, keris pusakanya. Bagi maharesi seperti dia, mimpi bukan sekedar bunga tidur. Melainkan semacam penglihatan tentang masa depan.
Hukum kehidupan memang mengajarkan, semakin dalam kita mencintai seseorang, maka semakin kuat ketakutan akan kehilangan. Itu yang oleh para bijak bestari dinamakan paradoks cinta. Palasara merasakan isyarat kuat bahwa dia akan segera berpisah dengan istrinya. Bahkan mungkin untuk selamanya.
**
Tiba-tiba dari jauh tampak bocah cantrik lari pontang-panting ke arah pertapaan. Napasnya tersengal-sengal, seperti diburu binatang buas.
“Gawat, Panembahan. Kita diserang.”
Palasara menangkap tubuh bocah yang hampir pingsan itu. Mendudukkannya di bangku, dan memberinya minum. Dia menunggu sampai bocah itu tenang sebelum melontarkan pertanyaan.
“Gawat kenapa? Diserang bagaimana?”
“Kami para cantrik sedang meladang di kaki gunung ketika tiba-tiba satu pasukan berkuda datang. Mereka mencari-cari Raden Ayu.”
Palasara terkesiap. Sepertinya inilah jawaban teka-teki kegelisahannya. Rupanya petaka itu benar-benar sudah dekat.
“Kau tidak tanya siapa mereka?”
“Mereka tak memberikan kesempatan itu, Panembahan. Mereka terus menginterogasi para cantrik dengan hardikan dan teriakan. Jika disiksa lebih lama, pasti para cantrik tak kan kuat, dan akan buka suara.”
Palasara menarik napas dalam. Ya sudahlah, que serra serra. Yang harus terjadi, terjadilah. Tak ada seorang pun yang bisa menolak takdir.
“Cantrik, antarkan bendoromu bersembunyi di puri belakang. Aku yang akan menghadapi mereka.”
“Apakah kami juga perlu menyiapkan senjata, Panembahan?”
“Tidak usah. Mereka bukan tandinganmu.”
Debu beterbangan di jalan kecil menuju pertapaan. Serombongan pasukan berkuda menghampiri dengan kecepatan tinggi. Mereka menyibak pepohonan dan ranting-ranting tanaman pagar. Suaranya bergemuruh seperti air bah Sungai Yamuna. Hewan-hewan lari lintang pukang, menyingkir dari bahaya.
Palasara merapikan pakaian keprajuritan yang sudah dikenakannya. Keris Kyai Pulanggeni, yang terselip di pinggangnya, dia geser agak ke depan. Siap dihunus sewaktu-waktu. Dan perlu pembaca ketahui, sekali Kyai Pulanggeni dicabut dari rangkanya, harus memakan korban. Palasara ingat betul bagaimana beberapa tahun sebelum ini dia menancapkan Pulanggeni ke tubuh dua musuh bebuyutannya, Prabu Kalmasapada dan Bagawan Dwapara, dalam duel maut segitiga.
Rombongan itu dipimpin oleh seorang prajurit gagah. Sepertinya dia berpangkat sangat tinggi, terlihat dari pakaiannya yang menyerupai seorang pangeran. Pengiringnya tak kurang dari 40. Mereka bersenjata lengkap dan mutakhir. Panji kerajaan berwarna keemasan dan bergambar trisula berkibar jumawa.
“Kisanak, maafkan kami yang kampungan ini. Kami penduduk dusun, tak terbiasa bergaul dengan khalayak ramai, apalagi dengan orang-orang terhormat seperti Kisanak. Wajar jika kami sedikit gugup menyambut kedatangan Kisanak dan rombongan.”
“Panembahan, kamilah yang harus meminta maaf. Kami datang tanpa pemberitahuan. Juga tanpa kesopanan yang layak. Tetapi kami tak bermaksud buruk. Kami mengemban tugas penting dari Maharaja, yang membuat pundak kami selalu terasa berat dan wajah kami terlalu bersungguh-sungguh. Ini sepertinya membuat cantrik Paduka ketakutan.”
“Apa yang membuat Kisanak bersusah payah mendaki gunung hina ini, jika boleh tahu?”
“Kami mendengar kabar getok tular bahwa saudari kami, Diajeng Setiawati atau Durgandini tetirah di sini. Kami telah mencarinya selama bertahun-tahun semenjak dia meninggalkan istana secara diam-diam.”
“Paduka ini siapa gerangan?”
“Saya Durgandana, kakak Durgandini. Kami putra dan putri Prabu Basuketi dari Kerajaan Wirata.”
Tamparan kepalan tangan Betara Kala, dewa kekerasan, seolah mendarat telak di wajah Palasara. Membuatnya gemetar, sekali pun tak terlihat oleh lawan bicara.
Ini dilema besar. Pada situasi normal seharusnya dia bersukacita. Durgandana tak lain adalah kakak iparnya. Tetapi kebijakannya sebagai maharesi justru sedang diuji. Dia tak mungkin mengatakan yang sejujurnya bahwa Durgandini, mahaputri Wirata, adalah istri yang dinikahinya secara diam-diam.
Dalam etika kerajaan wayang, pernikahan dengan cara seperti itu pada seorang mahaputri adalah aib besar. Apalagi jika sampai viral ke seluruh penjuru madyapada. Ibarat memupurkan kotoran manusia pada wajah sang raja. Tak masalah jika seorang putri akhirnya ditakdirkan berjodoh dengan resi, atau bahkan dengan sudra. Tetapi menikahinya secara tak layak adalah pengkhianatan.
Palasara jadi ragu pada ikrarnya. Sanggupkah dia melukai orang-orang terdekat istrinya? Orang tua dan kakak kandung istrinya? Apalagi mereka bukan orang biasa, tetapi para pejabat tinggi yang mengampu kerajaan. Pantaskah dia merusak tatanan dan kewibawaan suatu negara?
“Pangeran Durgandana, betul bahwa Raden Ayu Durgandini bersama hamba di sini sekarang. Dia sedang melakukan pengobatan yang akan selesai dalam satu dua pekan ini. Sudilah Pangeran memberikan kelonggaran kepada hamba untuk menyelesaikan perawatan ini. Begitu tuntas, hamba sendiri yang akan mengantarkan Raden Ayu kepada Pangeran. Untuk sementara, Paduka mohon berkenan meringankan penat, mengeringkan peluh, di gubuk hamba yang tak terlalu pantas ini. Cantrik akan mengurus keperluan Paduka.”
Palasara hanya punya waktu sepekan untuk meyakinkan istrinya agar mau kembali ke istana. Sekali pun kepedihan hatinya sendiri seperti sayatan welat saat hukuman picis, dan kegundahannya menggelegak bak ombak jaladri, tetapi bagaimanapun ini adalah pilihan terbaik.
**
Di puri belakang, Setiawati meraung membelah langit begitu mendengar titah Palasara, suami yang kini dicintainya. Tak disangka punaginya dulu kepada Palasara –bahwa setelah menikah dia ingin kembali ke Wirata — akan sesakit ini. Yang lebih menghancurkan jiwanya, dia pun dilarang membawa serta putranya yang sedang gemar-gemarnya menetek. Jika dia berkeras membawanya, itu sama saja membongkar kebohongan.
Kepedihan Durgandini bahkan sanggup melupakan kerinduannya untuk segera bertemu saudara kandungnya, Durgandana, yang telah terpisah bertahun-tahun lamanya. Dia akhirnya hanya bisa mengurung diri dalam danau air mata. Semuanya tampak gelap, tak ada setitik pun cahaya terang.
Kesengsaraan Durgandini meluluhkan empati Sang Hyang Jagatnata, tetua para dewa yang tak pernah tidur memperhatikan gerak-gerik para manusia. Dia ingin memberikan kemungkinan kepada insan ini untuk menemukan jalan terang atas kebuntuannya itu. Lalu diperintahkannya Betara Cakra, dewa pengetahuan, mengirimkan ilham kepada Setiawati.
Dan beginilah akhirnya solusi Setiawati yang diutarakan kepada sang suami. “Panembahan, pada bulan ketiga tahun depan, hamba akan usulkan kepada Rama Prabu Basuketi untuk memilih calon pendamping bagi hamba melalui sayembara pilih. Kelak seseorang yang hamba kalungi untaian melati di balairung pasewakan akan menjadi suami hamba. Datanglah Panembahan bersama anak kita. Pakailah pakaian serba putih, berkalungkan rangkaian mawar merah. Hamba akan memilih Paduka dengan penanda itu, dan kita akan kembali bersatu sebagai keluarga yang bahagia.”
Pagi buta rombongan Kerajaan Wirata sudah berkemas. Pesertanya kini bertambah satu, Setiawati. Dia menaiki kereta yang dipersiapkan secara kilat oleh para prajurit. Kereta itu tertutup pintu dan jendelanya, dan di sanalah Setiawati menghabiskan perjalanannya dengan menangis.
Mentari meninggi di Sapta Arga, menyisakan dua anak manusia yang dihancurkan oleh nasib. Mereka bapak dan anak. Sang anak menjerit-jerit karena tiba-tiba dada ibunya yang hangat tak ditemukan. Sementara sang bapak ngungun termangu karena dia tahu –melalui kewaskitaannya– bahwa rencana Setiawati hanyalah pepesan kosong. Percintaan mereka sudah berakhir untuk selamanya. [Bersambung]
goeska@gmail.com