Ini Dampak Pelaksanaan Umrah Mandiri

Tanpa bimbingan dari pihak berizin, jamaah yang memilih umrah secara mandiri berisiko tinggi melakukan kesalahan manasik, kehilangan kesiapan spiritual, bahkan menjadi korban penipuan. Padahal, umrah adalah ibadah, bukan sekadar perjalanan wisata, dan memerlukan pembinaan fiqh serta pendampingan ruhani.
JERNIH-Menjadi impian umat muslim di Indonesis untuk dapat melaksanakan ibadah umrah. Apalagi saat ini pemerintah dan DPR RI melegalkan umrah mandiri. Namun apakah kebijakan ini akan banyak umat Islam yang melaksanakan umrah secara mandiri?
Seperti diketahui pemerintah Indonesia menetapkan UU No 14 tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU), dimana pasal 86 ayat 1 huruf b menyatakan perjalanan ibadah umrah bisa dilakukan secara mandiri.
“Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan: a. melalui PPIU; b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri,” bunyi pasal 86 tersebut.
Pasal ini untuk pertama kalinya membuka peluang jamaah melakukan umrah tanpa melalui PPIU berizin.
Menanggapi penetapan pemerintah tersebut, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, mengatakan, bahwa pasal baru tersebut membuat pelaku usaha travel syok.
“Sejak dahulu, aturan negara menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah umrah hanya dapat dilakukan oleh badan usaha resmi yang terakreditasi dan diawasi ketat oleh pemerintah,” kata Zaky dalam keterangan persnya, beberapa waktu lalu.
Ia juga menyesalkan kebijakan baru tersebut yang disebutnya membuat syok para pengusaha travel yang selama ini patuh membayar pajak.
“Bagi ribuan pelaku PPIU/PIHK yang telah berinvestasi besar, patuh membayar pajak, menjalani sertifikasi dan audit rutin, serta menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang, keputusan ini seperti petir di siang bolong,” lanjutnya.
Dengan dibukanya peluang umrah mandiri, perusahaan besar atau marketplace global seperti Agoda, Traveloka, Tiket.com, bahkan platform asing seperti Nusuk dan Maysan, bisa langsung menjual paket perjalanan kepada jamaah Indonesia.
“Mereka memiliki modal besar dan strategi “bakar uang” yang sulit disaingi oleh travel-travel berbasis umat. Jika ini dibiarkan, bukan hanya PPIU kecil-menengah yang runtuh, tapi juga rantai ekonomi domestik: hotel syariah, katering halal, layanan penerjemah, hingga TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) di sektor jasa bisa lenyap,”.
Kekhawatiran lain, kata Zaky, tanpa bimbingan dari pihak berizin, jamaah yang memilih umrah secara mandiri berisiko tinggi melakukan kesalahan manasik, kehilangan kesiapan spiritual, bahkan menjadi korban penipuan. Padahal, umrah adalah ibadah, bukan sekadar perjalanan wisata, dan memerlukan pembinaan fiqh serta pendampingan ruhani.
Zaky bahkan menyebut jika kebijakan izin umrah mandiri akan berpengaruh pada pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor haji dan umrah.
“Ada sekitar 4,2 juta pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor haji dan umrah”.
Bahkan, kata Zaky legalisasi umrah mandiri bisa membawa dampak besar dan merugikan. Baik dari sisi perlindungan jamaah maupun perekonomian nasional. (tvl)




