POTPOURRI

Khalifah, Hentikan Tindakanmu yang tak Terpuji Itu!

Barang siapa kikir dengan ilmu yang dimilikinya, berarti dia mengharapkan tiga petaka: mungkin ia akan lupa ilmunya, atau mati tanpa sempat memanfaatkan ilmunya, atau mungkin akan kehilangan buku-bukunya

JERNIH—Sufyan Al-Tsauri sangat jengkel, bahkan marah ketika sedang berada di Mina, Mekkah, pada tahun itu untuk melontar jamarat (jumrah).

Mina kala itu adalah sebuah lembah yang terletak sekitar tujuh kilometer sebelah timur Mekkah. Lembah tersebut merupakan tempat para jamaah haji melontar Jumrah Ula, Wustha dan ‘Aqabah. Di samping itu Mina juga menjadi tempat bermalam mereka pada malam-malam Hari Tasyriq, yakni 11,12 dan 13 Dzulhijjah. Pada malam-malam tersebut para jamaah haji disyaratkan berada di Mina lebih dari separuh malam.

Namun, mereka juga boleh keluar dan meninggalkan Mina serta menuju Mekkah pada hari ke-12 Dzulhijjah dengan beberapa syarat. Hal yang demikian itu disebut Nafar Awwal.  Jika mereka tidak bermalam di Mina, ibadah haji mereka tetaplah sah. Namun mereka harus membayar dam, yaitu memotong seekor kambing. Jika mereka tidak mampu menyembelih seekor kambing, hendaknya mereka berpuasa selama 10 hari, tiga hari di kala melaksanakan ibadah haji, tujuh hari setelah mereka tiba di rumah.

Kejengkelan Sufyan Al-Tsauri membara karena melihat pasukan di bawah pimpinan Al-Mahdi mencambuki para jamaah haji yang sedang berada di lokasi itu, dengan alasan karena penguasa itu akan melontar jamarat. Menurut Al-Tsauri, tindakan pasukan itu sangat semena-mena dan tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya.

Melihat rombongan Al-Mahdi melintas, Sufyan Al-Tsauri pun mendekati Al-Mahdi dan berseru kepadanya,”Wahai orang yang berwajah tampan (ia tak menyebut Amirul Mukminin)! Tidakkah kau tahu bahwa ketika Rasulullah SAW naik haji dan melontar jamarat di atas unta pada Hari Idhul Adha, tiada pengusiran, pemukulan, maupun siksaan. Juga tanpa ucapan,” Menjauhlah kalian!”  Namun kini, kulihat kau naik haji, sedangkan orang-orang di sekitarmu, kiri dan kanan, dipukul di depan matamu. Hentikan tindakanmu yang tak terpuji itu!  

Mendengar sindiran pedas tersebut, Al-Mahdi lantas bertanya kepada seorang pejabat yang menyertainya,” Siapa gerangan orang itu?”

“Dia adalah Sufyan Al-Tsauri,” jawab pejabat yang ditanya, yang mengenal ulama yang  terkenal sebagai seorang sufi yang hidup sederhana dan menjauhi pesona duniawi itu.

Begitu mengetahui bahwa orang yang menyindirnya itu Sufyan Al-Tsauri, Al-Mahdi lantas berkata kepadanya,”Sufyan Al-Tsauri! Andai Al-Manshur (maksudnya Abu Jakfar Al-Manshur, ayah Al- Mahdi) yang melakukan tindakan ini, tentu engkau tidak akan menyindirnya sebagaimana yang telah kau lakukan kepadaku tadi.”

“Penguasa! Andai saja ayahmu pernah mengemukakan kepadamu tentang hal-hal yang pernah ditemuinya, tentu engkau akan menghentikan tindakan yang engkau lakukan saat ini.”

Usai berucap demikian, Sufyan, tokoh yang pernah menyatakan,” Barang siapa kikir dengan ilmu yang dimilikinya, berarti dia mengharapkan tiga petaka: mungkin ia akan lupa ilmunya, atau mati tanpa sempat memanfaatkan ilmunya, atau mungkin akan kehilangan buku-bukunya,” itu lantas berlalu.

                                                ***

Sufyan Al-Tsauri adalah seorang tabi’in yang ahli hukum Islam dan sufi terkemuka pada abad ke-2 Hijrah atau abad 8 Masehi. Lahir di Kuffah pada 97 H/715 M, bernama lengkap Abu Abdullah Sufyan bin Said bin Masruq Al-Tsauri al-Kuffi. Seiring tradisi yang berkembang kala itu,

Dia mula-mula menimba ilmu kepada ayahnya. Usai mendapatkan pembinaan ilmu dari sang ayah, Sufyan lantas memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka, di antaranya kepada Al-Hasan Al-Bashri.

Usai memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, nama Sufyan Al-Tsauri segera mencuat sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas dan mandiri. Tidak aneh bila dalam bidang ini, ahli hukum yang menopang kehidupannya dengan berdagang itu bisa disejajarkan dengan para mujtahid terkemuka. Namun Sufyan tak hanya pakar di bidang hukum Isam semata, ia juga terkenal sebagai pakar hadits yang menuturkan banyak sabda Nabi SAW. Tidak mengherankan pula, karena kepakarannya di bidang terakhir itu, ulama yang sangat berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunah itu mendapatkan julukan “Amirul Mukminin” di bidang hadits. [  ]

Dari “Islamic Golden Stories: Tanggung Jawab Pemimpin Muslim”, Ahmad Rofi’ Usmani, Penerbit Bunyan, 2016, dengan sedikit perubahan.   

Back to top button