“King” juga mengajak pembaca untuk melihat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hanya akan membuat pelakunya menjadi bahan tertawaan di masa depan. Kita tahu betapa dalam kebencian Direktur FBI saat itu, J. Edgar Hoover, terhadap Pendeta Martin Luther King. Seiring waktu, terkuak bahwa Hoover telah membangun beragam alat pengawasan, penyadapan dan gangguan ekstensif yang dirancang untuk menghancurkan King. Hoover memang dapat masa jabatan tanpa batas. Hanya jangan salah, Presiden Johnson menamai anjingnya J. Edgar. Mungkin sebuah canda. Mungkin pula di mata Presiden, Hoover memang hanya laiknya (seekor) anjing.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Buku yang disebut–setidaknya oleh– The Washington Post, The Millions, dan Literary Hub sebagai “buku yang paling dinantikan tahun 2023” itu akan terbit pada 16 Mei mendatang. Ditulis oleh penulis biografi kenamaan yang sebelumnya sukses membuka hitam-putih “The Greatest” Muhammad Ali kepada publik, Jonathan Eig tak hanya membuka pula segala detil persoalan, kehidupan, keseharian rumah tangga serta perlakuan kejam yang dialami Martin Luther King, Jr (MLK). Buku ini pun membuka borok-borok pemerintah AS di era yang disebut Eig,”Episode paling meresahkan dalamsejarah penegakan hukum Amerika…”
Situs Amazon.com mengulas bahwa “King: A Life” boleh jadi merupakan biografi paling representatif dari ikon hak-hak sipil AS tersebut. Apalagi buku itu juga yang pertama memasukkan file Biro Penyelidik Federal AS (FBI) yang baru-baru ini dideklasifikasi. “King”, menurut Amazon, memberi kita pandangan yang intim tentang manusia pemberani yang sering bermasalah secara emosional, yang menuntut cara damai pada gerakan protes yang ia gulir dan kembangkan, tetapi tampaknya tak pernah bisa berdamai dengan dirinya sendiri itu.
Eig, menurut situs jual-beli itu, berhasil mengungkapkan sisi manusiawi MLK dengan cara paling sublim. Dengan begitu, buku itu berhasil “mengungkap seorang minister yang bergulat dengan kelemahan dirinya yang manusiawi, dalam suasana hatinya yang kelam.” Wajar, karena bagaimanapun MLK secara ironis adalah seorang warga negara yang diburu oleh pemerintahnya sendiri, dan seorang pria yang bertekad untuk memperjuangkan keadilan, bahkan menjadikan perjuangan itu sebagai pertarungan dirinya sampai mati.
Bahkan barangkali buku ini ‘terlalu’ lengkap. Tidak hanya mengungkap sisi baik yang umumnya diangkat sebuah biografi tokoh yang telah lama mati, “King” pun tak canggung membuka sisi-sisi kelam pribadi MLK. Dan itu, menurut Publisher Weekly, tak hanya seputar perseteruannya dengan sesama tokoh hak-hak sipil AS, Malcolm X, yang menyebut MLK sebagai “Uncle Tom”, melainkan pula soal plagiarisme serta pribadinya yang cenderung sebagai womanizer alias—sederhananya—penakluk wanita.
Soal “abuse of power”
Melalui sebuah artikel yang ditulis Eig di The New York Times, 12 April lalu, “King” juga mengajak pembaca untuk melihat betapa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hanya akan membuat pelakunya menjadi bahan tertawaan di masa depan.
Kita tahu betapa dalam kebencian Direktur FBI saat itu, J. Edgar Hoover, terhadap Pendeta MLK. Seiring waktu, terkuak bahwa Hoover telah membangun beragam alat pengawasan, penyadapan dan gangguan ekstensif yang dirancang untuk menghancurkan King, selain membuat jurang pemisah antara King dan Presiden Lyndon B. Johnson, sahabat King sekaligus orang yang dijilat Hoover.
Hoover pula yang tak kunjung henti menggunakan segala cara untuk menjatuhkan karakter MLK di mata publik. Satu contoh saja. Dengan menyadap rumah dan kantor MLK, Hoover tak hanya memberikan laporan per pekan tentang segala hal dan aktivitas MLK, sejak 1963 hingga pembunuhan King pada tahun 1968. FBI yang berada di genggaman Hoover pun mengirimi berbagai media besar, termasuk The New York Times, The Los Angeles Times, The Chicago Daily News, Newsweek dan The Atlanta Constitution— – file cabul tentang perselingkuhan King.
Untunglah, tidak sebagaimana media massa kita yang kian bias, media-media besar AS itu tak satu pun yang mempublikasikan rincian rahasia dari hasil penyadapan FBI itu. Hanya, sayangnya, pada saat yang sama pun tidak ada dari mereka yang memilih untuk melaporkan bahwa FBI tengah melakukan kampanye melawan hukum: menyadap secara gila-gilaan seorang warga negara Amerika yang taat hukum!
Saking bencinya Hoover kepada MLK, ia percaya bahwa MLK dipengaruhi Komunis—pas seperti cara berpikir senator picik Joseph McCharty satu dekade sebelumnya. Hoover bahkan menekan para agen FBI untuk ‘menemukan’ bukti soal itu. Hoover–yang menyebut King sebagai “the burrhead“– kian benci melihat King semakin mendapatkan rasa hormat dan pengaruh di publik.
Wajar bila bawahannya pun setali tiga uang, bahkan mungkin lebih keji karena haus puji. William Sullivan, asisten direktur FBI, yang bertanggung jawab atas divisi intelijen domestik di bawah Hoover, menulis dalam sebuah memo tahun 1963 saat menyadap MLK di Hotel Willard, di Washington, DC. “Kita harus menandai dia sekarang sebagai orang Negro paling berbahaya buat bangsa ini.”
Dari beragam dokumen FBI yangtelah dideklasifikasi dalam beberapa tahun terakhir, serta arsip Presiden Johnson yang dirilis pada 2022 lalu, terlihat bahwa Presiden Johnson terlibat intens dalam kampanye busuk FBI tersebut. Dokumen Gedung Putih — bagian dari cache besar memo FBI– menunjukkan bahwa Johnson, dari awal masa kepresidenannya pada 1963, hingga pembunuhan King pada 1968, diberi tahu hampir setiap pekan oleh Hoover sendiri tentang penyadapan King. Johnson tidak melakukan apa pun untuk menghentikan aksi Hoover. Menurut Eig, itu kemungkinan besar karena Johnson melihat keuntungan strategis dalam mengetahui aktivitas King, saat dia bekerja dengan King dalam penyusunan Undang-undang Hak Sipil. Dia mungkin melihat lebih banyak lagi manfaat ketika King mulai mengkritik kebijakan presiden, terutama terkait Perang Vietnam. Pada saat yang sama, menurut para pembantu presiden, Johnson jelas menikmati akses kepada detail kehidupan King yang—maaf–cabul.
Oh ya, apa yang didapat Hoover dari upaya gigihnya mencoba membenamkan MLK? Tampaknya tak lain dari menduduki kursi kekuasaan lebih lama. Pada 1964, hanya beberapa hari sebelum Hoover bersaksi di tahap paling awal sidang Komisi Warren, Presiden Lyndon B. Johnson mencabut usia wajib pensiun pegawai pemerintah AS 70 tahun, yang memungkinkan Hoover untuk tetap menjadi direktur FBI “untuk jangka waktu yang tidak terbatas”.
Namun, jangan sangka hal itu tak mahal biayanya. Hoover pernah memberi Presiden Johnson anak anjing beagle, dan Johnson menamai hewan itu dengan J. Edgar. Mungkin sebuah canda. Mungkin pula di mata Presiden, Hoover memang hanya laiknya (seekor) anjing. [ ]