Kisah Patriotisme Abdul Wahid Azad, WNI Keturunan India, Pengusaha Tasikmalaya
Oktober 1944, ketika Tasikmalaya sedang digoncangkan peristiwa perlawanan KH. Zainal Musthafa di Cimerah Singaparna, Abdul Wahid ikut dijebloskan ke penjara oleh tentara Jepang. Berdasarkan informasi mata-mata Jepang, Abdul Wahid disinyalir terlibat dalam menyokong usaha pemberontakan kaum santri itu.
Oleh : Muhajir Salam dan Irfal Mujaffar
JERNIH—Pada akhir abad 19, warga Muslim berkebangsaan India mulai berdatangan ke Indonesia, sebagian dari mereka memilih kawasan Tasikmalaya untuk berdagang. Kesamaan keyakinan agama memudahkan pergaulan mereka dengan orang-orang Sunda pribumi.
Banyak di antara mereka menetap dan berbaur dengan penduduk pribumi. Selama menetap, mereka menjadi bagian di majelis-majelis agama yang diasuh para ulama besar Tasikmalaya, seperti Syekh Ahmad Sudja’i (Mama Gudang) dan Syekh Abdullah Mubarok Suryalaya (Abah Godebag).
Di antara generasi awal muslim India yang datang ke Tasikmalaya adalah Raheem Baks. Tiba di daerah Ciawi sekitar 1890-an, beliau adalah keluarga bangsawan dari Bassi Daulat Khan, Distrik Hoshiarpur, Provinsi Punjab, India.
Meski belum menetap di Ciawi, Raheem membuka usaha pabrik minyak sereh (Citronella java oil) untuk diekspor ke India. Pabrik penyulingan minyak sereh itu cukup maju, karena produknya bisa mengalahkan jenis minyak sereh jenis ceylon dari Sri Langka yang sebelumnya menjadi primadona pasar ke Timur Tengah, Eropa, dan India.
Beliau mengenalkan bisnis kepada anak-anaknya, khususnya Abdul Wahid. Sejak 1920-an, Raheem Baks sering mengajak Abdul Wahid, anaknya yang tinggal India, untuk mengunjungi pabriknya dan dilatih untuk bisa meningkatkan hasil produksi minyak sereh yang saat itu menjadi komoditas unggulan di Singapura dan India. Pada saat itu, Abdul Wahid masih berusia 14 tahun.
Sepeninggal Raheem Baks, 1930-an, Abdul Wahid meneruskan usaha ayahnya. Namun dalam menjalankan usahanya, Abdul Wahid tidak menetap di Tasikmalaya. Pabrik minyak sereh itu bertahan cukup lama, meski dihantam gejolak ekonomi akibat perang dunia kedua. Terjadi perebutan kekuasaan antara Jepang dan Sekutu di Singapura dan beberapa negara Asia Tenggara.
Pascakemerdekaan RI, 1945, pabrik sereh itu mulai meredup. Abdul Wahid mengorbankannya pabriknya untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan RI. Pada masa agresi militer Belanda, pabrik sereh itu dijadikan markas milisi Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Jendral A.H. Nasution.
Tentang Abdul Wahid Azad, ia yang lahir pada 1915 itu adalah seorang nasionalis yang memiliki andil cukup besar dalam memertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula adiknya, Abdul Majid, dikenal sebagai orang yang sangat berani ketika menghadapi orang-orang Belanda. Di tanah kelahirannya, India, keduanya aktif dalam pergerakan kemerdekaan India dari penjajahan Inggris.
Abdul Wahid memiliki latar belakang militer. Sementara Abdul Majid lebih pada perjuangan politik. Dia bergabung dalam Indian National Congress (NIC) yang merupakan organisasi pergerakan neo-nasionalis pertama yang melawan Kolonialisme Inggris di wilayah Asia hingga Afrika. Semenjak tinggal di Tasikmalaya, Abdul Wahid dan adiknya banyak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebelum kembali ke Tasikmalaya, 1941, Abdul Wahid dikenakan wajib militer. Beliau bergabung dalam Korps III India yang merupakan bagian British Indian Army. Korps III India ini adalah divisi tentara persemakmuran Inggris yang anggotanya orang-orang India. Korps ini dipersiapkan Inggris untuk menghadapi kekuatan Jepang di Semenanjung Malaya.
Pada pertengahan 1941, bersama korps III India, Abdul Wahid dikirim ke Pangkalan Militer Inggris Asia Tenggara di Singapura. Beliau harus rela meninggalkan isterinya, Aisha Sadiqah, dan anak sulungnya Nissar Ahmad, selama bertahun-tahun. Ketika itu, keluarganya masih menetap di India.
Sementara perjalanan Abdul Wahid dalam peperangan tidaklah mudah. Beliau menghadapi masa-masa paling sulit dalam kehidupannya. Terlebih dalam peperangan melawan Jepang, balatentara Inggris menderita kekalahan. Pada Februari 1942, Abdul Wahid bersama kawanan tentara Korps III India dilumpuhkan militer Jepang di Semenanjung Malaya. Abdul Wahid bersama kawanannya menjadi tawanan militer Jepang di Singapura.
Nasib Abdul Wahid dan tentara Korp III India mujur. Pada 1943, tokoh kemerdekaan bangsa India bernama Chandra Bose menyelamatkan Abdul Wahid dan kawanan tentara Korps III India dari kebengisan tentara Jepang. Chandra Bose yang bersekutu dengan Jepang, datang dari pelariannya di Jerman.
Dengan dukungan senjata dan dana dari Jerman, Italia dan Turki, Abdul Wahid membawa misi untuk mendirikan Pemerintahan India Sementara, yang dikenal dengan sebutan Azad Hind yang artinya India Merdeka, Chandra Bose membebaskan Korps III India dari tawanan tentara Jepang. Sejak saat itu, Abdul Wahid bergabung dalam Indian National Army (INA) yang dipimpin Chandra Bose untuk meraih Azad Hind.
Pada Oktober 1943, Abdul Wahid menjadi bagian dari tentara Pemerintahan India Sementara yang berpusat di kepulauan Andaman dan Nicobar. Di bawah komando Chandra Bose, Indian National Army memiliki tugas untuk merebut Burma dan Borneo dari tangan Inggris. Namun pada saat akan dikirim ke Borneo, Abdul Wahid batal pergi karena terkena wabah penyakit kulit. Abdul Wahid kembali selamat dari ancaman kematian, karena dalam misi itu tentara INA menderita kekalahan dan semuanya tewas dalam pertempuran.
Pada 1944, kekuatan militer Inggris dan sekutu berhasil mengalahkan Jepang dan kembali menguasai Semenanjung Malaya. Kekuatan Indian National Army (INA) hancur porak poranda. Abdul Wahid terdesak untuk menyelamatkan diri dari ancaman tentara Inggris dan sekutunya. Dalam benak Abdul Wahid, Tasikmalaya adalah satu-satu rumah terbaik agar menjadi orang yang merdeka. Apalagi pada saat itu, Tasikmalaya masih dikuasai oleh tentara Jepang.
Pada 1944, sesampainya di Tasikmalaya, Abdul Wahid meneruskan kembali usaha orang tuanya dan membuka toko di kawasan pertokoan Cihideung. Meski telah meninggalkan pertempuran, namun jiwa patriotik yang menghendaki kemerdekaan dalam diri seorang Abdul Wahid masih tetap membara. Ia mengabadikan semangat dan cintanya akan kemerdekaan pada tokonya, dengan menyematkan nama “Azad” yang berarti “merdeka“.
Di Tasikmalaya, diam-diam Abdul Wahid juga ikut bergaul dengan kalangan muda pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia bersahabat sangat erat dengan Soedarpo Sastrosatomo, adiknya dr. Sapuan Sastrosatomo yang menjabat kepala Rumah Sakit Tasikmalaya. Soedarpo adalah aktivis muda yang tengah sibuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sahabat Abdul Wahid itu berjejaring dengan tokoh-tokoh muda pergerakan Indonesia, seperti Syahrir, Soebadio, Soedjatmiko, dan S. Parman. Setelah merdeka, Soedarpo menjadi Duta Besar Indonesia pertama untuk Amerika Serikat. Dalam catatan Biografi Soedarpo, sosok Abdul Wahid Azad dipandang sebagai orang paling berjasa yang ikut membantu perjuangan dan membangun bisnis keluarga Soedarpo.
Dalam autobiografi Soedarpo yang berjudul “Bertumbuh Melawan Arus” ada satu bagian khusus yang menceritakan sosok Abdul Wahid sebagai orang yang berperan dalam memberikan saran dalam peristiwa Rengas Dengklok, melindungi para pejuang yang dicari Jepang ataupun Belanda, dan jasanya memutarkan usaha Soedarpo yang kemudian dananya digunakan Soedarpo untuk berbisnis pascaberhenti dari diplomat.
Pada 2006, Majalah Forbes menempatkan Soedarpo sebagai orang terkaya ke-36 di Indonesia dan putri sulungnya, Shanti L. Poesposoetjipto, yang namanya diberikan langsung oleh Abdul Wahid, menjadi wanita paling berpengaruh di Indonesia tahun 2007, 2008, dan 2009 versi majalah Globe Asia dan meraih Kartini Award pada 2003.
Oktober 1944, ketika Tasikmalaya sedang digoncangkan peristiwa perlawanan KH. Zainal Musthafa di Cimerah Singaparna, Abdul Wahid ikut dijebloskan ke penjara oleh tentara Jepang. Berdasarkan informasi mata-mata Jepang, Abdul Wahid disinyalir terlibat dalam menyokong usaha pemberontakan kaum santri itu. Hanya satu minggu Abdul Wahid mendekam di penjara, karena beliau sangat fasih berbicara dalam bahasa Jepang.
Pada 1945, Abdul Wahid yang bersahabat dengan Soedarpo mengetahui betul rencana angkatan muda yang hendak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Setiap hari, Abdul Wahid memantau perkembangan politik dan pergerakan perang dunia melalui saluran radio.
Terlebih, beliau menguasai beberapa bahasa diantaranya Inggris, Jepang, Urdu, juga tentunya Bahasa Indonesia dan Sunda. Beliau rajin mendengarkan siaran berita BBC yang berpusat di London dan mendiskusikannya dengan rekan-rekan seperjuangannya guna mencari langkah dan strategi fisik maupun non-fisik.
Pada saat itu, penduduk Kota Tasikmalaya masih jarang yang mengikuti perpolitikan melalui radio, khususnya radio international. Sebagai jajahan Belanda, orang Tasikmalaya lebih menguasai bahasa Belanda ketimbang bahasa Inggris. Berita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus tahun 1945 disiarkan oleh saluran Radio BBC.
Di tengah kota Tasikmalaya, Abdul Wahid adalah orang pertama yang mengetahui informasi mengenai kemerdekaan Indonesia. Dengan semangat dan penuh kegembiraan, pada hari itu Abdul Wahid mengajak orang-orang di tengah kota Tasikmalaya untuk turun ke jalan merayakan kemerdekaan.
Sontak, kota Tasikmalaya riuh dengan kegembiraan. Pada saat memimpin iring-iringan, Abdul Wahid berteriak “Azadih… Azadih… Azadih” yang berarti merdeka. Sejak saat itulah Abdul Wahid dikenal dengan panggilan tuan Azad.
Pasca1945, sepanjang perang revolusi, Abdul Wahid aktif terlibat dalam usaha memertahankan kemerdekaan Indonesia. Bersama adiknya, Abdul Majid, ia melibatkan diri dalam Divisi Siliwangi pimpinan Jendral A.H. Nasution. Kepada divisi Siliwangi, Abdul Wahid menyerahkan bangunan pabrik sereh di daerah Ciawi untuk dijadikan markas tentara.
Toko Azad yang berada di zona aman pasukan NICA seringkali dimanfaatkan untuk persembunyian para gerilyawan. Sebagai mantan British Indian Army, Abdul Wahid sangat disegani oleh orang-orang Belanda, karena beliau adalah tentara pemberani, berpengalaman dan antikolonial.
Akhir tahun 1948, ketika agresi militer Belanda menekan seluruh wilayah Pulau Jawa, Abdul Wahid aktif melakukan propaganda untuk memecah kekuatan tentara asal India yang ikut bergabung dengan pasukan NICA. Ia memanfaatkan fasilitas Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung yang tengah mengungsi di Gunung Ladu Tasikmalaya. Dengan menggunakan bahasa Urdu, Abdul Wahid mengajak tentara asal India untuk berbelot dan mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Alhasil, tentara India Muslim pun berbalik arah mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Mereka berbalik mendukung gerilyawan memerangi tentara NICA. Abdul Wahid dan rekan Pakistan lainnya, menampung banyak tentara India Muslim di rumah dan tokonya.
Setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan mutlak, Abdul Wahid Azad beserta adiknya Abdul Majid, ikut menggagas berdirinya sebuah monumen untuk mengenang perjuangan kemerdekaan Indoensia di Tasikmalaya. Monumen itu bernama Tugu Otonom yang terletak di depan eks halaman Setda Kabupaten Tasikmalaya, yang hari ini menjadi Taman Kota.
Abdul Wahid yang merupakan veteran pejuang perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sempat ditawari dana pensiun. Beliau menolak, karena cita-cita perjuangannya lillahi ta’alla demi tujuan merdeka secara fisik dan jiwa.
Pada 1979, Abdul Wahid wafat, meninggalkan istri dan sepuluh anak. Beliau berbaring dengan kemuliaannya di kompleks pemakaman Cieunteung, Tasikmalaya. Anak-anak Abdul Wahid Azad adalah Nissar Ahmad, Ahsen Servia, Syarful Nissa, Mukhsin Nissar, Kemal Nissa, Weqar Nizar, Huseena, Chand Parween, Chand Parwez Servia, dan Zareena Servia.
Kini, mereka telah menjadi orang sukses dan memberikan kontribusi untuk Kota Tasikmalaya dalam bidang perekonomian, sosial, dan keagamaan. Salah satunya menghibahkan tanah seluas 6,3 hektare untuk tempat pemakaman umum di daerah Tamansari, Kota Tasikmalaya. Nama pemakaman tersebut adalah Aisha Rashida. [ ]
Dari Soekapoera Institut Indonesia