La Tenri Ruwa, Raja Bone yang Digulingkan Karena Memeluk Islam
Tetapi Dewan Adat Pitu menolak ajakan Kerajaan Gowa yang disampaikan melalui raja mereka itu. “Lontara Akkarungeng ri Bone” juga menceritakan penolakan rakyat Bone tersebut.
JERNIH—Barangkali, ini salah satu dari banyak bukti bahwa di masa lalu Nusantara, demokrasi telah lama hidup. Mulai dari bunyi pepatah,” Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”, sampai gerakan rakyat untuk mendongkel kekuasaan sang raja. Tentu saja, tak harus karena raja lalim. Cukup karena ia berbeda dengan sebagian (besar) kehendak rakyat.
Misalnya yang terjadi pada Kerajaan Bone, Sulawesi, di abad 17. Karena menerima agama Islam, ia digulingkan.
Raja tersebut bernama La Tenri Ruwa, yang naik tahta sebagai Raja Bone XI pada 1611, menggantikan sepupunya, We Tenri Patuppu Matinroe ri Sidenreng. Ketika We Tenri Patuppu meninggal, orang Bone sepakat mengangkat La Tenri Ruwa menjadi raja di Bone.
Dalam “Lontara Akkarungeng ri Bone” disebutkan bahwa La Tenri Ruwa menikah dengan sepupunya We Baji atau We Dangke Lebae Datu Mario Riwawo. Dari pernikahannya itu lahirlah We Tenri Sui. We Tenri Sui menikah dengan To Lempe Arung Patojo, saudara kandung Datu Soppeng Beowe.
La Tenri Ruwa tampaknya hingga kini menjadi raja Bone dengan masa pemerintahan yang paling singkat, hanya tiga bulan, sebelum dilengserkan Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone.
Pasalnya, segera setelah La Tenri Ruwa memangku jabatan sebagai raja Bone, datanglah raja Gowa membawa Islam ke Bone. Sebagaimana kita tahu, di kawasan itu saat itu Gowa adalah kerajaan besar, dan –kemungkinan—Bone adalah kerajaan vasal dari Gowa.
Pada mulanya Penguasa Kerajaan Gowa meminta kepada Raja Bone La Tenri Ruwa menerima agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Bone. Pesan Raja Bone yang disampaikan para duta mereka kepada La Tenri Ruwa tampak sebagai sebuah tawaran. ”Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Karena hal itu menyangkut rakyat Banyak, La Tenri Ruwa merasa perlu terlebih dahulu menyampaikan hal itu kepada Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone. Konon, saat itu La Tenri Ruwa berkata kepada orang-orang Bone,”Kalian telah mengangkat saya menjadi raja agar membawa Bone kepada jalan yang baik. Raja Gowa datang membawa Agama Islam, yang menurutnya adalah kebaikan yang harus disebarkan. Sesuai dengan perjanjian kita sejak dulu, siapa yang mendapatkan kebaikan, dialah yang berkewajiban menunjukkan jalan. Karena itu saya mengajak kalian untuk menerima Islam.”
Tetapi Dewan Adat Pitu menolak ajakan Kerajaan Gowa yang disampaikan melalui raja mereka itu. “Lontara Akkarungeng ri Bone” juga menceritakan penolakan rakyat Bone tersebut.
Merasa tak ada gunanya berahasia, La Tenri Ruwa membuka masalah itu kepada rakyatnya. “Kalau kalian tidak menerima baik maksud Raja Gowa, padahal dia benar, dia pasti akan terus memerangi kita. Kalau kita kalah, berarti kita menjadi hamba buat mereka. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanjikan berdamai. Namun kalau kita mau melawan, itu pun wajar. Jangan kalian menyangkzassASBZN;a bahwa saya jeri untuk melawan.”
Ketika semua orang Bone menolak Islam, La Tenri Ruwa hanya diam. Ia mengerti mengapa rakyatnya menolak. Mereka umummya berpendapat, Gowa mengajak masuk Islam hanya karena akal-akalan supaya kerajaan besar itu bisa mendominasi kekuasaan di Sulawesi.
La Tenri Ruwa kemudian memilih mengungsi ke Pattiro. Masyarakat Pattiro sendiri kemudian juga menolak untuk memeluk Islam. Tak lama setelah pengungsian, datang utusan Dewan Adat Pitu Bone, isinya memberitahukan bahwa dirinya dilengserkan sebagai raja Bone karena dianggap melalaikan tugas sebagai seorang raja.
Ketika kabar tersebut sampai kepada Raja Gowa, ia sangat marah. Baginya perlakuan Dewan Adat Pitue Bone yang melengserkan seorang raja hanya karena menerima agama Islam, sangatlah berlebihan. Ia mengutus orang menemui La Tenri Ruwa, mengundangnya bertemu di Pallette. Di sinilah keduanya, Raja Gowa Sultan Alauddin dan La Tenri Ruwa bertemu. Sultan Alauddin meminta La Tenri Ruwa menyebut wilayah yang dikuasainya, setelah itu ia diminta mengucapkan dua Kalimat Syahadat.
Hanya berselang hari, mulailah Gowa melakukan invasi ke Bone secara massif, tak kenal henti. Peperangan ini kemudian dikenal sebagai Musu Assellengeng atau Perang Pengislaman.
Sementara Bone menjadi medan perang, La Tenri Ruwa mengungsi ke Makassar dan tinggal bersama Datu Ri Bandang untuk memperdalam Islam. Di sana ia diberi gelar dengan sebutan Sultan Adam. Setelah sekian lama tinggal di Makassar La Tenri Ruwa memutuskan berangkat ke Bantaeng untuk menyebarkan Agama Islam. Di sana ia menghembuskan napas terakhir pada 28 Oktober 1631. [sumber : attoriolong.com]