
Prinsip hidup saya: “Menulis bukanlah pelarian dari dunia, tapi cara untuk mengubahnya.” Dalam sorak dan tawa kecil, saya melihat masa depan literasi yang tidak lagi muram. Sebab, mereka yang mau membaca dan menulis adalah mereka yang diam-diam sedang menyiapkan revolusi sunyi: revolusi kesadaran.
JERNIH– Senja di Jalan Jatikusumo, Kecamatan Taman, Kota Madiun, menetes perlahan seperti cat air di atas kanvas hujan yang baru reda. Jumat, 24 Oktober 2025, TBM Omah Sinau dipenuhi manusia yang membawa cahaya di matanya. Mereka datang bukan hanya untuk membaca, melainkan untuk merayakan kehidupan melalui kata.
Di bawah cahaya lampu yang hangat, berlangsunglah Bincang Buku karya saya: kumpulan puisi “Melukis Peristiwa” dan kumpulan cerpen “Gubuk Kecil dan Rintik Hujan”. Dalam acara yang diselenggarakan oleh TBM Omah Sinau, Negeri Kertas, dan Forum TBM Kota Madiun, saya tidak hanya hadir sebagai penulis, tetapi juga sebagai saksi dari betapa literasi dapat menjadi jantung yang berdetak bagi peradaban.
Di ruang sederhana itu, kehadiran para peserta membuat udara penuh makna. Imam Nawawi, sang moderator, membuka acara dengan refleksi tentang “membaca” sebagai tindakan spiritual—sebuah cara manusia menafsirkan kembali dirinya di hadapan semesta. Dalam setiap tanya yang diajukan, tersimpan semangat untuk memahami, bukan sekadar mendengar. Nurul Hidayati, selaku ketua panitia, menyampaikan bahwa “acara seperti ini adalah upaya kecil yang bermakna besar, sebab setiap diskusi adalah api yang menyalakan lampu baru dalam pikiran masyarakat.”
Suasana semakin hangat ketika Amelia Nasution, ketua Forum TBM Kota Madiun, menambahkan, “TBM bukan hanya tempat membaca buku, melainkan ruang membangun kesadaran. Literasi bukan kegiatan elitis, tapi napas keseharian.”

Saya berbagi kisah tentang proses kreatif menulis puisi dan cerpen—tentang bagaimana “Melukis Peristiwa” lahir dari pengamatan terhadap dunia yang kerap terluka, namun tetap berusaha tersenyum; dan bagaimana “Gubuk Kecil dan Rintik Hujan” menjadi metafora kehidupan sederhana yang menyimpan kedalaman. Bagi saya, menulis adalah usaha untuk mendengarkan kembali denyut realitas yang sering diabaikan. Penulis sejati bukan hanya penggubah kata, melainkan penerjemah zaman. Dan mungkin, disinilah letak tanggung jawab moral seorang penulis sastra.
Diskusi berlangsung seru, bahkan melewati jeda waktu Magrib. Usai salat, suasana kembali bergairah. Para peserta muda bertanya tentang bagaimana menjaga konsistensi menulis di tengah dunia yang bising oleh media sosial. Saya menjawab dengan kalimat yang juga menjadi prinsip hidup saya: “Menulis bukanlah pelarian dari dunia, tapi cara untuk mengubahnya.” Dalam sorak dan tawa kecil, saya melihat masa depan literasi yang tidak lagi muram. Sebab, mereka yang mau membaca dan menulis adalah mereka yang diam-diam sedang menyiapkan revolusi sunyi: revolusi kesadaran.
Acara malam ini terasa istimewa bukan karena ramai, tetapi karena hangatnya ide yang berseliweran. Literasi, bagi saya, tidak bisa dipisahkan dari upaya membangun bangsa yang berpikir. Filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, “Orang yang memiliki alasan untuk hidup akan mampu menanggung hampir segala cara untuk hidup.” Membaca dan menulis memberi kita alasan itu—membangkitkan kesadaran akan eksistensi, sekaligus mengajarkan keberanian untuk berpikir mandiri. Di tengah derasnya arus informasi digital yang sering menyesatkan, literasi menjadi perisai agar kita tidak sekadar pintar membaca teks, tetapi juga konteks.
Dalam momen ini, saya menyadari bahwa TBM bukan sekadar lembaga sosial, melainkan simpul peradaban. Di ruang-ruang kecil seperti Omah Sinau, benih masa depan ditanam dengan tangan yang tulus. Amelia Nasution benar ketika mengatakan bahwa “setiap buku yang dibaca bersama adalah percakapan yang tak pernah usai.” Di Madiun, budaya diskusi buku perlu menjadi kebiasaan baru—bukan agenda musiman. Sebab, bangsa yang jarang berdialog tentang ide akan kehilangan arah menuju masa depan.
Dalam percakapan kali ini, saya menegaskan satu hal penting: literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi kemampuan untuk menafsirkan realitas dan mengubahnya menjadi kesadaran baru. Jean-Paul Sartre pernah menulis, “Kebebasan bukanlah apa yang kita miliki, melainkan apa yang kita lakukan dengan apa yang kita miliki.”
TBM, komunitas sastra, dan ruang diskusi seperti ini adalah bentuk kebebasan yang dijalankan dengan tanggung jawab—kebebasan untuk mencipta, menyebarkan cahaya, dan menolak kegelapan ketidaktahuan.
Imam Nawawi menutup sesi diskusi dengan refleksi: “Mungkin yang paling penting dari membaca bukanlah mengetahui lebih banyak, tapi memahami lebih dalam.” Kalimat itu menancap dalam benak saya. Sebab, di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat, membaca dan menulis adalah dua tindakan paling lambat yang justru mampu menyelamatkan kemanusiaan. Dari kelambatan itu lahir kedalaman, dan dari kedalaman inilah manusia bisa menemukan dirinya kembali.
Sebagai penulis dan pendidik, saya percaya bahwa kemajuan literasi bukanlah proyek instan. Ia adalah perjalanan panjang, yang harus dirawat oleh semua pihak—pemerintah, komunitas, guru, pelajar, dan masyarakat luas. TBM hanyalah satu pintu kecil menuju peradaban besar. Tapi setiap langkah kecil menuju cahaya, selalu lebih berarti daripada seribu langkah menuju kegelapan.
Acara malam ini berakhir pukul sembilan, namun percakapan terus hidup dalam benak para peserta. Di luar, langit Madiun meneteskan gerimis tipis—seolah ikut menandai keberhasilan malam yang penuh makna. Di wajah mereka, saya melihat keyakinan baru: bahwa menulis dan membaca bukan hanya kegiatan, melainkan cara merawat kemanusiaan.
Dan di titik inilah saya ingin mengajukan pertanyaan reflektif kepada siapa pun yang membaca esai ini: jika membaca mampu menyelamatkan pikiran kita dari kebodohan, dan menulis mampu menyelamatkan jiwa kita dari kebisuan, maka apakah kita masih punya alasan untuk diam di tengah dunia yang perlahan kehilangan makna?
Sebab mungkin, sebagaimana saya yakini, setiap kata yang kita tulis adalah doa, dan setiap buku yang kita baca adalah nyala kecil yang menunda padamnya peradaban. [Fileski Walidha Tanjung; penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional.]
