Mengenal Kanal dan Banjir Besar Pertama di Batavia
Dikala musim hujan Jakarta adalah muara kerinduan bagi banjir yang selalu mengunjunginya sebelum larut di laut Jawa. Dalam riwayat disebutkan banjir di Jakarta setidaknya sudah diakali 4 abad lalu oleh VOC, yaitu setelah Jan Pieterszoon Coen meresmikan Kasteel Batavia milik VOC di muara Sungai Ciliwung pada 12 Maret 1619. Kastil tersebut merupakan kota yang dilindungi dinding, didirikan di atas tanah Pangeran Jayakarta. Sudut-sudut dinding diberi nama macam-macam permata seperti parel, diamant, saphir dan robijn. Kota tersebut dinamakan kota Inten. Sedangkan tanah di luar kastil adalah hutan lebat yang banyak binatang buasnya dan dijadikan lahan perburuan kaum bangsawan .
Ketika VOC menghancurkan kekuasaan Pangeran Jayakarta tahun 1627 maka J.P Coen mulai memperluas kota yang semakin padat dan tidak sehat dengan membangun pemukiman di luar kastil. Untuk mengingatkan kepada Amsterdam, maka J.P Coen menyuruh Simon Steiven untuk merancangnya seperti Amsterdam. Maka dibangunlah parit-parit mengelilingi kota lengkap dengan kanal-kanal untuk mengatur aliran air dari sungai-sungai yang mengalir ke Jayakarta. Sungai Ciliwung kemudian di luruskan untuk membagi kota dan disebut Kali Besar.
Kawasan diluar kasteel merupakan rawa-rawa yang selalu tergenang air dan meluap saat banjir. Pada 1647 dibangun Kanal Ancol disebelah timur kota oleh Jendral Fransisco Caron dan Fariek Silvenagel. Tahun 1667 dibangun Kanal Sunter oleh Pieter Anthonijs Overwater untuk menghubungkan kali Sunter dengan Kanal Ancol. Wilayah Batavia yang merupakan dataran rendah dan dikelilingi rawa menyebabkan air meluap pada musim hujan dan menjadi sarang penyakit malaria. Maka atas saran J.P. Coen, tahun 1648, Kapitein Phoa Bing Am (ketua komunitas masyarakat Cina di Batavia) membangun Kanal Molenvliet untuk menyalurkan genangan air di rawa-rawa.
Biaya pembuatan kanal tersebut digalang dari kamar dagang Tionghoa dan swadaya masyarakat Tionghoa. Penggalian dimulai dari Harmoni dan berakhir di pos keamanan Bantenburg. Karena medannya sangat berat serta di kanan-kiri jalur kanal banyak berdiri penggilingan gula, maka Kapitein Phoa Bing Am melibatkan tenaga kerja sebanyak 210 orang dari Desa Sindang Cirebon yang dianggap cakap dan berpengalaman dalam menggali kanal. Ketika selesai, kanal itu dinamai Bingamvaart (Kanal Bing Am) yang kemudian pada tahun 1661 diganti menjadi Molenvliet (artinya kincir air) karena di sepanjang kanal tersebut banyak kincir air milik pabrik penggilinga tebu, arak, dan pabrik pembuatan mesiu.
Pada tahun 1678 sampai 1689 dibangun Kanal Mookervaart sepanjang 13 kilometer dan lebar 25 meter untuk menghubungkan Kali Angke dan Cisadane .Airnya dialirkan ke kanal-kanal di kota Batavia. Untuk mengatasi pasang surut air laut maka dibangun Kanal Niuwersloot atau Never Ditch yang saat ini dikenal Kanal Gunung Sahari, difungsikan pengalihan aliran Ciliwung yang sejalur dengan Postweg dan bertemu kembali di Sentiong. Kanal Gunung Sahari kemudian dihubungkan dengan Kanaal Molenvliet lewat kanal lainnya, yaitu antara Noordwijk (Jl. Juanda) dan Rijswijk (Jl. Veteran). Kanal tersebut dibangun tahun 1681 oleh Kapitein Phoa Bing Am untuk mengatasi kanal Molenvliet yang sempat kering saat air laut surut.
Awal abad 18 merupakan masa gemilang bagi VOC karena mendapat untung berlimpah dari hasil perniagaanya. Dari keuntungan tersebut berhasil membangun Kota Batavia dengan kanal yang lebar, bersih dan indah. Selain itu kanal tersebut juga dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan, tempat rekreasi, pengendali banjir dan penanda status. VOC juga membangun Jalan dan bangunan megah sehingga Batavia memiliki pesona luar biasa dan dijuluki Ratu Dari Timur (Koningin van het Oosten). Innigo de Biervillas Pada tahun 1718 menuliskan pujian tentang Batavia yang sehat dan indah lingkungannya lingkungan, makanan yang berlimpah dan iklim yang sehat. Sastrawan Belanda Eddy du Perron dalam karyanya De muze van Jan Companie (1939) menggambarkan tentang Batavia dalam kalimat … tidak ada kota tandinganmu di Belanda..
Namun keindahan dan pujian terhadap Batavia perlahan-lahan berubah drastis di tahun 1730, De Haan mencatat populasi penduduk Batavia mencapai 20.000 dan sub urban 15.000. Pola hidup tidak sehat mulai menjadi kebiasaan. Ekologi menjadi rusak saat perkebunan tebu semakin merambah luas, banyak pohon ditebang, sampah dan limbah-limbah industri dibuang ke kanal-kanal yang semakin dangkal akibat lumpur dan pasir yang mengendap dan terhambat oleh laut saat sedang pasang.
VOC sudah sejak tahun 1630 mengeluarkan peraturan untuk menjaga kebersihan kota, termasuk sungai. Bagi yang membuang sampah ke sungai akan didenda sebesar 6 riksdalders (360 sen). Namun aturan tersebut tetap dicuekin oleh warga kota. Maka tahun 1730 denda dinaikan menjadi 25 riksdalders dan bagi warga yang tinggal di dekat kali atau kanal diwajibkan membersihkan yang diawasi oleh lurah (wijksmeester) setempat. Lagi-lagi warga lokal kota Batavia tetap membandel. Kegiatan mandi, nyuci, ngojay, buang air besar, secara berjamaah tetap dilakukan di kanal.
Keadaan bertambah parah ketika Kanal Mookervaart dikeruk tahun 1732 atas perintah Gubernur Jenderal Diederik Durven. Hal itu menyebabkan air tergenang dan tidak mengalir sehingga dijadikan sarang hama penyakit. Maka timbulah wabah malaria, tipus, desentri, kolera dan beri-beri yang menimbulkan kematian. Pada pertengahan abad 18 Maseh, kanal-kanal berubah mengerikan. Lambat laun Kota Batavia menjadi kota hantu, kota kuburuan, makam bagi orang Belanda (Graf der Hollander).
Untuk mengantisipasi keadaan semakin buruk maka sekitar tahun 1750 dilakukan pembersihan secara masal terhadap kotoran di selokan dan lumpur dengan mendatangkan orang-orang Cirebon. Pasukan tempur pembersih kanal itu terkenal dengan istilah de modder Javanen (orang-orang Jawa yang penuh lumpur). Pembiayaannya ditanggung 2/3 kas kota dan 1/3 kas VOC. Pembersihan juga meluas ke arah selatan (voorstaad) (Ary Sulistyo dalam Lohanda, 2007: 153-154).
Seramnya Batavia di pertengahan abad 18 dipaparkan Euis Puspita Dewi dalam makalah “Bersih Dan Kotor” Kanal Batavia Dan Transformasi Spasial Masa Kolonial dengan menuliskan pernyataan Stockdale (yang mengutip Stavorinus,1812 dalam Blackburn, 2011) : …. Kanal-kanal ini kadangkala dibersihkan…Lumpur hitam yang diangkat dari dasar dibiarkan bertumpuk di tepi kanal di tengah-tengah jalan…Lumpur ini sebagian berisi kotoran manusia yang secara rutin dibuang ke kanal setiap pagi sebagai kebutuhan harian di seluruh kota… Kadangkala, bangkai babi atau kuda terdampar di bagian kanal yang dangkal, dan karena tidak ada ditugaskan untuk menyingkirkannya, maka bangkai tersebut dibiarkan saja.
Pada tahun Oktober 1770 seluruh awak kapal Kapten Cock saat tiba di Batavia dalam keadaan sehat, kemudian pada Desember sebagian besar dari mereka jatuh sakit dan beberapa orang meninggal: Orang-orang Eropa lebih banyak yang meninggal karena udara yang tidak sehat. (Euis Puspita Dewi dalam Captain Cook’s Journal, 1768-1771, Adelaide, Libraries Board of South Australia, 1968, hlm.364).
Kesemrawutan Kota Batavia terus berlangsung sampai kemudian datanglah Herman Willem Daendels yang diangkat sebagai penguasa Hindia Timur. Ia menerima kekuasaan dari Gubernur Hendral AlbertusHenricus Wese pada 14 Januari 1808. Pada 1 April 1810 Deandels mengeluarkan instruksi perbaikan infrastruktur di Batavia yang berisi 17 pasal. Diantarnya memulihkan kembali Batavia dan memindahkan pusat pemerintahan. Maka kemudian parit-parit yang kotor dan busuk ditimbun, tembok kota, benteng bangunan kastil dan gudang-gudang dibongkar dan bongkarannya diboyong ke daerah Weltevreden untuk digunakan membangun Weltevreden menggantikan Batavia yang sudah tidak layak ditinggali.
Walau keadaan Batavia sudah lebih baik, namun banjir saat itu sudah rajin mengunjungi Batavia. Puncaknya terjadi pada tahun 1876 ketika Kali Ciliwung meluap dan merendam rumah-rumah penduduk disekitarnya, termasuk benteng VOC di Pasar Ikan. Kelak kejadian ini terulang kembali satu abad kemudian, yaitu tahun 1976 yang merendam area seluas 11000 ha. Banjir tahun 1976 merupakan banjir 100 tahun. (Pd)