Mengenang “Soundrenaline” 2009: Gaung Cadas di Padas Ungasan
Di ruang terbuka yang terhimpit dinding cadas GWK setebal sekitar delapan meter —hasil pemotongan gunung padas–itulah ribuan massa metal berjejalan. Mereka ber-mashing–gerakan saling membentur-benturkan badan dengan sesama penonton–, rampak, rancak, seolah ada pertautan kuat antarjiwa.
JERNIH– Sebagaimana nasib bunyi, musik tidak akan pernah mati. Apalagi musik metal yang dengan kasat mata pun di negeri ini masih melahirkan para penggemar. Jangan terlalu banyak berkaca pada layar kaca, karena yang terhidang di sana umumnya titah pemilik dunya brana.
Simaklah gelegar yang berdentam di perbukitan cadas Ungasan, Jimbaran, Bali, Ahad (15/11/2009). Bergaung, memantul dari satu tebing padas ke dinding cadas Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang padat. Sepadat puluhan ribu penonton yang datang untuk menyatakan dukungan kepada band-band yang mereka cintai. Ah, barangkali bahkan bukan buat band. Sejatinya mungkin lebih tepat buat musik, karena dengan ringan mereka bisa berganti mendatangi empat panggung pertunjukan yang malam itu digelar. Mereka berjejal di pesta musik tahunan Soundrenaline, yang untuk tahun ini telah menginjak tahun kedelapan.
Di ruang terbuka yang terhimpit dinding cadas setebal sekitar delapan meter —hasil pemotongan gunung padas–itulah ribuan massa metal berjejalan. Mereka ber-mashing–gerakan saling membentur-benturkan badan dengan sesama penonton–, rampak, rancak, seolah ada pertautan kuat antarjiwa.
Mungkin terkesan liar, dengan tampilan dan aksesoris yang juga tak kalah gahar. Tetapi dari senyum yang terpasang di setiap wajah, dari acungan dua jari tangan membentuk ‘V’ untuk victory, meski tak ada kata terlontar, setiap orang tahu semua mencari hiburan untuk jiwa yang kadang terkekang. ”Piss, Bro, kita semua datang buat musik!”
Itu terbuktikan ketika Burgerkill naik ke atas pentas Festival Park Area. Tampaknya, di panggung itu, grup indie yang memiliki pamor besar di Asia Tenggara, itu laiknya raja. Hentakan musik yang mengiringi suara parau yang menerjang dari kerongkongan Vicki, membelah massa dalam mashing. Sebuah ritual heavy metal yang sekilas tak beraturan dan potensial memancing keributan. Tidak ternyata, bahkan sampai pertunjukan berakhir lewat tengah malam buta.
Tak hanya Burgerkill yang dengan apik mengobati kerinduan massa metal. Di panggung Festival Park Area, grup-grup underground lain saling mengisi dan melengkapi bahagia yang didapat massa—penulis tak tega menyebut mereka ‘penonton’, karena mereka memag tak datang hanya untuk menonton.
Serangkai grup band yang selama ini tak mendapatkan cukup ruang di layar kaca, menjadikan malam itu benar-benar milik para metal. Ada Superman Is Dead, Koil, Pass Band, Seringai, hingga The Sigit. Band band itu begitu hidup, memberi ruh sekaligus diberi ruh mereka yang berjingkrak di bawah. Musik metal, sekali lagi tak gampang mati meski ruang berkreasi tak seluas genre lain.
“Kami bangga menjadi band panggung, dan biarlah itu menjadi cap kami!” teriak Sandy, pentolan PAS Band. Sandy benar untuk rasa bangga itu. Di Bandung, misalnya, pernah dalam sebuah kesempatan band-band musik cadas itu mampu mengalahkan pamor grup band pop semacam TheRock.
“Musik yang kami pilih barangkali tidak seramah musik-musik yang lazim menghiasi di televisi. Tetapi semua ini pilihan, dan kami sangat menyukainya,” ujar Otong, vokalis Koil, usai tampil.
Tapi Soundrenaline memang bukan hanya milik penyuka musik rock. Ada warna-warna ’teduh’ dalam musik d’Masiv yang tak kurang sambutan dan ‘applause’. Bersama Ari Lasso, Ungu, Andra and The Backbone, Nidji, hingga Slank yang menjadi penampil pamungkas di panggung Lotus Ponds, erangan sendu d’Masiv tak kalah mendapat tempat.
Sementara di Amphitheater, yang memungkinkan interaksi penampil dan hadirin dalam kolaborasi, Balawan and Friends barangkali layak didaulat menjadi raja. Membuka kebekuan setelah jeda Magrib, Balawan dengan gitar dan perangkat musik tradisionalnya menggebrak dengan lagu lawas, “Still of The Night”. Kemudian berlanjut dengan “Black Dog” dan “Rock and N Roll” dari Led Zeppelin, serta “The Trooper” dari Iron Maiden. Nomor-nomor lama para dedengkot rock dunia. Tak tersangkal, peran vokalis Bali, Dananjaya, sangat menentukan penampilan Balawan dan kawan-kawan.
Sementara Balawan raja di panggung ini, sukar untuk melupakan peran besar Maliq & D’Essensials, KSP dan Naif. Bahkan boleh dibilang, cum Balawan hanya segaris kecil di atas Maliq yang sanggup menggoyang seluruh —sekali lagi, seluruh penonton Amphitheater.
Mungkin karena tak ada pembatas antara panggung dan tempat duduk, hubungan music mania dengan para artis pun mendapatkan kimianya sendiri.
“Di sini kita bisa lebih intim,” kata Uchy Amyrtha, vokalis KSP, usai membawakan lima lagu. “Kami merasa mendapat energi lebih ketika bisa membaur langsung.”
Uchy benar. Malam itu, di semua panggung pertunjukan, penampil dan pemuja musik memang saling memberi tenaga dan harapan. [dsy—Republika, Selasa 17 November 2009]