Mungkinkah ASEAN Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2034?
Ada yang tak biasa dalam ASEAN Summit di Bankok, Thailand, beberapa waktu lalu. Gianni Infantino, presiden Federasi Asosiasi Sepakbola International (FIFA), memberikan jersey ke seluruh dari sepuluh kepala negara ASEAN.
Seremoni singkat itu menandai dimulainya kerjasama formal ASEAN dan FIFA untuk mengembangkan sepakbola dan pembangunan masyarakat di Asia Tenggara, serta memberi dorongan bagi negara-negara di kawasan ini untuk menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2034.
Dalam pertemuan menteri-menteri olahraga ASEAN bulan lalu, lima negara Asia Tenggara; Indonesia, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Singapura, akan menjadi leading bidders. Jika FIFA menghendaki, lima negara di Asia Tenggara akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034.
Indonesia, Filipina, dan Thailand, pernah menjadi tuan rumah perhelatan besar Asian Games. Tahun lalu, Indonesia sukses menggelar Asian Games, dan akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-10 tahun 2021.
Tahun 2020, Vietnam akan menjadi negara Asia Tenggara ketiga yang menggelar Formula 1, menyusul Malaysia dan Singapura. Artinya, negara-negara Asia Tenggara punya pengalaman menggelar event olahraga tingkat dunia.
Namun, menyelenggarakan Piala Dunia mungkin sesuatu yang berbeda. Setiap negara di dunia berambisi menjadi tuan rumah perhelatan yang menyita perhatian 3,5 miliar penduduk dunia. Setiap negara akan sangat hati-hati memperhitungkan biaya dan keuntungan yang diperoleh dari penyelenggaraan.
Menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah kebanggaan. Pemimpin calon tuan rumah akan berbicara tentang promosi pariwisata negaranya, kemungkinan masuknya investasi, daya serap tenaga kerja, dan manfaat ekonomi jangka panjang.
Andrew Zimbalist, ekonom dari Smith College, punya bukti menarik. Menurutnya, menjadi tuan rumah perhelatan olahraga tingkat dunia tidak selalu menguntungkan bagi tuan rumah.
Brasil, misalnya, menghabiskan 15 miliar dolar AS untuk membangun stadion, fasilitas olahraga, jaringan transportasi dan lainnya, untuk Piala Dunia 2014. Saat ini, Stadion Mane Garrincha — dibangun dengan biaya 550 juta dolar AS — menjadi tempat parkir.
Rusia menghabiskan 14 miliar dolar AS untuk Piala Dunia 2018 untuk membangun dan memperbarui fasilitas olahraga dan stadion. Kini, pembayar pajak harus menanggung biaya perawatan stadion.
Afrika Selatan menggunakan Piala Dunia untuk merevitalisasi kota. Orang miskin diminta menyingkir dari pusat kota, dan menjadi masyarakat pinggiran.
Setelah Piala Dunia 2010 usai, dan Afrika Selatan dianggap sukses sebagai tuan rumah, negara itu harus menanggung beban luar biasa besar untuk memukimkan kembali masyarakat yang terpaksa menyingkir demi Piala Dunia.
Usai menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, saat itu Cina menghabiskan 40 miliar dolar AS, BirdNest Stadium — stadion di Beijing yang sangat dibanggakan — nyaris tak terurus dan mulai kumuh. Cina harus mengeluarkan banyak dana untuk pemeliharaan.
Beijing, dan kota-kota lain di Cina, baru menikmati berkah Olimpiade 2008 beberapa tahun kemudian. Sektor pariwisata Cina melonjak hebat, dengan wisatawan memadati kota-kota yang memiliki identitas budaya.
Bagaimana dengan negara-negara ASEAN? Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, diperkirakan akan bernasib seperti Cina. Keempatnya memiliki daya tarik sejarah dan budaya, yang bukan tidak mungkin mengalami booming setelah Piala Dunia.
Infantino mengatakan; “Orang-orang di ASEAN berinvestasi di sepakbola Eropa ketimbang di Asia Tenggara. FIFA perlu berinvestasi di Asia Tenggara.”
“Saat ini, setengah populasi Asia Tenggara terdapat di Indonesia, Vietnam, dan Thailand. Seluruhnya adalah setengah dari 1,6 miliar penonton Piala Dunia 2018,” lanjut Infantino.
Seluruh dari lima negara Asia Tenggara calon tuan rumah Piala Dunia 2034 memiliki stadion bertaraf internasional. Indonesia punya dua; Gelora Bung Karno dan Gelora Bandung Lautan Api, yang berkapasitas 77 ribu dan 72 ribu kursi.
Malaysia punya dua stadion; Bukit Jalil dan Shah Alam, dengan kapasitas 87 ribu dan 80 ribu kursi. Thailand, Vietnam, dan Singapura, masing-masing punya satu, dengan kapasitan kursi 64 ribu, 50 ribu, dan 55 ribu.
Jika lima negara serius, mungkin sudah saatnya pemerintah masing-masing secara intensif bertemu untuk membicarakan soal perencanaan infrastruktur, komitmen, kepemimpinan yang kuat, rencana bisnis komprehensif, serta berbagai masalah teknis.
ASEAN menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034 bukan sesuatu yang tidak mungkin, dan memang sudah saatnya perhelatan itu hadir di sekeping wilayah Asia paling gila sepakbola.