Ngangon Kerbau di Cibasale, Dari Pacuan Gila Sampai Gila Kecubung
JAKARTA— Di waktu kecil, keluarga saya tak punya kerbau, tentu. Terlalu mahal buat keluarga sederhana yang bergantung pada penghidupan yang dibiayai gaji guru SD Inpresnya Ibu dan pendapatan Ayah dari hasil kerja serabutan. Tapi saya masih bisa menyebut diri sebagai penggembala kerbau di waktu kecil. Setidaknya penggembala paruh waktu.
Saya bukan mengembala karena ‘paroan, dengan pemilik kerbau. Saya ikut menggembala di saat-saat kelas 5-6 SD itu karena satu-dua sahabat saya memang menggembalakan kerbau. Bukan milik keluarga mereka juga. Mereka hanya paroan dengan pemilik yang biasanya ‘orang kota’, alias warga Kota Majalengka.
Setidaknya tiga hari dalam sepekan saya ikut menggembala. Ngangon, kata urang Sunda. Waktu sekolah hanya sampai pukul 12 siang, dan meski waktu itu saya tinggal di Cibasale, sementara bersekolah di Kadipaten, kecamatan yang jaraknya belasan kilometer, paling telat pukul 13 sudah ada di rumah. Padahal itu termasuk berjalan kaki dari sekolah ke jalan raya dan dari jalan raya menyusur pematang sepanjang sekitar 2 kilometer untuk sampai rumah.
Usai salat Duhur dan ngawadang (makan siang. Arti harfiahnya makan wadang atau nasi sisa pagi) biasanya saya lalu membaca buku. Kala menginjak kelas 5 SD, saya sudah jadi anggota Perpustakaan Pemerintah Daerah, yang koleksi bukunya kebanyakan buku-buku tahun 1950-60-an plus terbitan baru saat itu dari penerbit Pustaka Jaya. Saya sudah lancar membaca buku-buku lama berejaan Van Opuijsen yang memakai ‘oe’ untuk ‘u’, ‘tj’ untuk ‘c’ dan ‘j’ untuk ‘y’ itu sejak kelas 3 SD. Jadi tak ada urusan dengan ejaan lama.
Buku-buku yang saya baca kala kelas 5-6 itu saya ingat betul. Saya sedang menamatkan serial petualangan Old Shatterhand di pedalaman Amerika dan Timur Tengah, karangan Karl May di tahun-tahun awal 1980-an itu. Generasi kami sempat satu tahun ajaran mengenyam 18 bulan, gara-gara mendiang Menteri P dan K Daoed Joesoef menerapkan test diagnostik. Penerbitnya mulai dari Nordhoff Kolff NV–yang setelah nasionalisasi tahun 1955 berubah menjadi NV Noor Komala, hingga versi-versi terbitan yang lebih ‘kini’, Pradnja Paramita, tahun 1960-an hingga 1980-an. Belakangan penerbit Djambatan juga kalau tak salah menerbitkan serial Karl May ini.
Tiap judul biasanya terdiri dari tiga jilid, masing-masing sekitar 120-an halaman. Kalau tak salah, serial Old Shatterhand di Amerika (di Timur Tengah namanya disebut Kara Bin Nemsi atau Karl dari Jerman) itu meliputi 20-an judul, dari ‘Winnetou Ketua Suku Apache’ hingga ‘Wasiat Winnetou’. Artinya ada sekitar 60 buku untuk seri Amerika. Kalau di seri Amerika sahabat Old Shatterhand adalah Winnetou, di seri Timur Tengah Kara bin Nemsi ditemani Haji Halef Ahmad. Ada sekitar 15-an judul pada seri ini, mulai dari ‘Kara ben Nemsi’ hingga ‘Kara Nirwan Khan di Albania’. Sama, masing-masing judul terdiri dari 3 jilid dengan rata-rata halaman 120-an.
Jadi selalu saya ikut menggembala itu dengan tangan memegang satu jilid buku Karl May. Biasanya teman-teman para gembala ‘asli’ akan bertanya tentang buku yang saya bawa dan baca. Saya akan menjelaskannya pendek, sambil memancing mereka untuk ikut menyukai bacaan. Sayang sekali, tak banyak menangguk hasil.
Justru sayalah yang banyak terwarnai aktivitas teman-teman gembala. Saya masih bisa bertahan duduk di punggung kerbau sambil terus terbius bacaan. Mengikuti kemana pun kerbau merumput, sementara anak-anak gembala meniup suling bambu untuk membunuh waktu. Saya masih bisa tak ikut nyebur ke sungai manakala teman-teman bermain air dan mencari ikan untuk dibakar bersama. Tapi banyak aktivitas teman-teman selama menggembala yang tak bisa saya tak acuhkan. Aktivitas-aktivitas yang membuat saya selalu tergoda dan akhirnya ikut serta.
Saya tak bisa bertahan terus membaca, meski masih deg-degan mengikuti setiap gerak merayap Old Shatterhand di rumput yang harus kembali ia tegakkan manakala langkah bertambah, saat berusaha menculik Tangua, kepala suku Kiowa, langsung di wigwam atau tendanya. Saya akan segera menutup buku, menandainya dengan melipat pinggir halamannya, lalu bersama-sama mencabut ubi kayu untuk dibakar. Ubi kayu di ladang siapa, sungguh saat itu tak ada di antara kami yang bertanya-tanya.
Yang paling pasti, saya tak akan alpa manakala para gembala itu mengajak saling berpacu kerbau asuhan mereka. Biasanya saya dipersilakan memilih kerbau mana saja untuk saya tunggangi.
Jangan pernah berpikir kerbau selalu jadi makhluk woles yang tak bisa diajak berpacu. Duduklah agak ke belakang agar bisa memegang ekor alias buntutnya. Lipat buntut itu dalam genggaman. Semakin kita mengeratkan genggaman yang membuat buntut itu kian erat terlipat, semakin gila kerbau yang kita tunggangi berlari ke depan. Sebenarnya kami pun tak kurang gila, karena tak jarang pacuan kerbau itu kami lakukan di ladang bekas panen tanaman kacang kedelai, yang dipanen dengan memotong batangnya dengan arit dan kerap menyisakan batang yang runcing, siap menghunjam kaki atau badan siapa pun!
Namun hiburan yang paling menarik saat ngangon munding itu, menurut saya, adalah menyaksikan teman-teman teler karena kucubung (kecubung). Telah lama orang tua kita kenal Kecubung (Datura metel) sebagai tumbuhan terong-terongan yang mengandung alkaloid yang berefek halusinogen. Para gembala pun tahu. Hanya sikap sok jago yang membuat mereka justru berlomba kuat-kuatan makan rujak kecubung. Tak berbeda dengan anak-anak muda zaman now saling adu kuat minum oplosan minuman keras bercampur insektisida!
Saya tak tahu bagaimana rasanya kecubung yang dirujak seadanya dengan asam Jawa, gula enau, garam dan seraup cabe rawit ambilan dari ladang orang itu. Saya selalu dilarang teman-teman.
“Ulah Sep, maneh mah. Ke urang dicarekan Bu Iyos,” kata mereka, membawa-bawa nama ibu saya. “Kamu sih jangan, Sep. Nanti kami yang dimarahi Ibu Yos.” Ibu saya guru SD. Meski anak-anak Cibasale itu tidak diajar Ibu yang mengajar di SD Inpres Lapangsari, Kadipaten, mereka—sebagaimana anak-anak zaman old lainnya, sangat hormat kepada guru.
Biasanya selama makan rujak, anak-anak itu saling mengejek dan adu banyak melahapnya. Usai rujak ludes berpindah ke perut anak-anak gembala itu, baru kita bisa mulai menikmati kemeriahan. Para pelahap yang tak kuat akan segera ‘berkicau’ tentang apa saja. Mendengarkannya menyenangkan dalam ketiadaan radio atau Sony walkman yang saat itu tak mampu kami beli. Kadang, kami bisa tahu apa yang ada di hati mereka, harapan, angan-angan, juga kebencian yang disembunyikan. Seperti kutilang (Pycnonotus aurigaster), mereka akan terus meracau sampai efek zat dalam kecubung itu hilang.
Dari situ saya tahu arti peribahasa Sunda ‘siga nu weureu kucubung’, alias seperti orang mabok kecubung karena perkataan yang aneh bin ngelantur. Di zaman ini, saya tak banyak lagi mendengar orang makan kecubung untuk main-main. Meski begitu, tanpa makan kecubung pun kita tahu, kian banyak orang yang bicaranya ngelantur macam orang ngelindur. [dsy]
[dsy]