POTPOURRI

Pauzan, Mahasiswa Suku Anak Dalam dengan Beban Masa Depan Kaumnya

Tapi saya tak perlu memaksanya lebih lanjut, karena beberapa menit kemudian Pauzan telah mendatangi meja saya, mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Ia mengenakan kaus turtle-neck putih yang telah menjadi gading, dibalut jaket denim biru muda. Tak ada orang Bogor yang akan menyangka bahwa ia seorang warga Suku Anak Dalam (dulu disebut Suku Kubu), warga pedalaman wilayah Jambi-Sumatera Selatan, yang bagi orang-orang yang kurang up-date masih dianggap suku terasing.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH—Perlu satu layangan pesan WA, plus sekali langsung meneleponnya guna memaksa Pauzan, mahasiswa Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor, untuk segera mendatangi saya yang telah menunggunya di sebuah kafe di dalam Mal Botani, Bogor. Entah mengapa, mahasiswa warga Suku Anak Dalam (SAD) itu sebelumnya kukuh meminta saya bertemu di sekitaran Tugu Kujang, yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari area mal terbesar di Kota Bogor itu. Ia bahkan memfoto tugu itu, mengirimkannya melalui pesan WA. “Saya di sini,” tulisnya.

Apakah tiga tahun hidup di Yogya, plus sekitar dua tahun di Bogor belum cukup membuatnya pede untuk berkutat secara sosial dengan ‘kaum terang’?

Tapi saya tak perlu memaksanya lebih lanjut, karena beberapa menit kemudian Pauzan telah mendatangi meja saya, mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Ia mengenakan kaus turtle-neck putih yang telah menjadi gading, dibalut jaket denim biru muda. Tak ada orang Bogor yang akan menyangka bahwa ia seorang warga SAD (dulu disebut Suku Kubu), warga pedalaman wilayah Jambi-Sumatera Selatan, yang bagi orang-orang yang kurang up-date masih dianggap suku terasing.

“Benar namamu MT Pauzan? Apa sih MT-nya?” tanya saya penasaran, sebelum mengobrol lebih jauh. Sebelumnya kami telah memesan makan-minum. Saya memesan sop buntut, sekoteng  dan es teh tawar, sementara Pauzan meminta sate ayam dan jus mangga.

“Ah, kesalahan saat di akte, Pak,”kata dia menjawab. Saya tak memprotes panggilan itu, menyadari satu dua helai janggut dan kumis saya memang sudah berwarna putih.

warga SAD di awal abad 20, koleksi Tropenmusium, Belanda.

Menurut Fauzan—itu nama asli pemberian Kodir, sang ayah—entah bagaimana bisa sampai nama yang didiktekan ayahnya pada petugas Kantor Catatan Sipil beberapa waktu setelah dia lahir itu bisa salah. Alih-alih menuliskan Ahmad Fauzan di surat kenal lahir, yang ada malah MT Pauzan. Nama itu yang akhirnya tercatat di ijazah SD, SMP, SMK dan KTP Pauzan sampai hari ini. “Panggil saja Fauzan, Pak, tapi tulis nama saya sebagai Pauzan, agar sesuai dengan semua catatan nama saya,”kata dia. Saya tak bisa menerka senyum yang terkembang di bibirnya, apakah itu senyum tulus dan pasrah, atau sinis terhadap entah siapa oknum petugas pemerintah local di masa lalu yang telah sedikit menyulitkan hidupnya. “Semua orang selalu menanyakan “MT” itu, yang saya sendiri pun tak tahu.”

Ini adalah saah satu dari sekian banyak stereotipe ‘kaum terang’—kita semua yang mengaku berbudaya—di mata warga SAD. ‘Orang atau kaum terang’, kata banyak warga SAD, memang gemar mempersulit mereka. Membabat hutan, membawa adat baru yang tak selaras kebiasaan lama, melarang ini-itu khusus buat warga SAD karena buat mereka sendiri boleh, mengenalkan ‘Honda’ (sepeda motor) yang membuat para pemuda SAD jadi gemar rantang-runtung, membius pemuda SAD dengan hand-phone, dan lain sebagainya.     

Pauzan adalah sedikit dari sekian banyak warga SAD yang beruntung bisa mengecap pendidikan tinggi. Bersama dia, setidaknya tercatat ada Besiah dan Bejujung, rekan yang lebih muda 1-2 tahun dibanding dirinya. Sebelumnya, ketiganya menempuh sekolah yang sama, yakni SMK Perkebunan Yogyakarta, yang berada di Umbulharjo. Di sekolah yang telah berusia tepat 70 tahun di hari kemerdekaan itu, ketiganya menuntut ilmu hingga tamat.

“Setengah tahun kami sempat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Pangkalan Bun, Kalimantan,”kata Pauzan. Ia mengaku banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman dalam enam bulan PKL tersebut. Begitu selesai, tempat kuliah memisahkan mereka bertiga. Pauzan tetap memilih kuliah di Jawa, Bogor tepatnya, sementara Besiah dan Bejujung memilih meneruskan studi di Universitas Jambi, mengambil program D3 Pertanian.

“Saya mengajak mereka kuliah di sini, sama-sama. Tapi kata mereka, keluarga tak mengizinkan mereka sekolah jauh-jauh,”kata Pauzan.

Di kalangan warga SAD, ketiganya banyak dikenal. Bukan sekadar karena tampaknya saat ini hanya ketiga pemuda itulah warga SAD yang tengah berkuliah. Ketiganya juga terkenal sebagai warga SAD yang pernah dirangkul hangat Menteri Pendidikan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, saat Menteri melakukan kunjungan kerja dan bermalam di permukiman warga SAD di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, September 2021 lalu.

                                                ***

Perjalanan Pauzan untuk sampai di Polbangtan tidak bisa dimetaforakan sebagai jalan lurus berhotmix. Ia bahkan mengaku sempat mengira dirinya hanya akan menjadi bagian dari pemuda pengangguran yang menjadi pemandangan umum di kalangan sukunya.

“Saya sempat menganggur tiga tahun setelah tak menamatkan SMP di kelas terakhir,”kata dia. Untunglah, kakeknya, Temenggung Tarib, tokoh SAD yang dituakan di banyak rombong, peduli akan cucunya itu. Dirayunya sang cucu untuk kembali bersekolah.

Menteri nadiem bersama tiga mahasiswa warga SAD, Besiar, Pauzan dan Bejujung, September 2021.

“Kalau kau ndak sekolah, ke depan kau bisa susah, Nak,”kata Pauzan menirukan petuah kakeknya. Bagi Temenggung Tarib, bersekolah itu layaknya membabat hutan, membuka ladang dan menanaminya hari ini. “Berat dan susah, tapi ke depan, kau akan menikmati hasilnya.”

Untunglah Pauzan bukan pemuda keras kepala. Tiga tahun rantang-runtung tak karuan juga cukup membekaskan pelajaran bagi dirinya. “Saya terima permintaan kakek, tapi saya pun punya permintaan,”kata Pauzan. Dia tak ingin bersekolah di kabupaten yang sama, tak hendak adik-adik kelasnya di masa lalu justru menjadi seniornya saat ini.

Pucuk dicinta, saat itu PT Sari Aditya Loka (SAL), anak perusahaan Astra Agro Lestari, tengah menawarkan beasiswa kepada banyak anak-anak dan pemuda SAD.  Pauzan terpilih sebagai salah seorang dari puluhan anak muda SAD waktu itu. Berangkatlah ia ke Merangin, kabupaten sebelah, dan menuntaskan pelajaran SMP-nya selama delapan bulan kemudian.

“Enak sih,”kata Pauzan mengakui. “Kami tinggal di mes yang PT SAL buat untuk kami. Makan tiga kali sehari, baju-celana-buku gratis. Uang sekolah dibayarkan, dan tiap bulan dapat uang saku.” Besarnya saat itu Rp 1 juta. Tentu lebih dari cukup buat anak muda yang makan sehari-harinya sudah dijamin.

Namun begitu melangkah ke jenjang SMA, satu persatu kawan-kawannya sesama pemuda SAD tak lagi ikut dalam bea siswa. “Mereka tak tahan,”kata Pauzan, meski mengaku tidak begitu paham alasan kuat di balik itu. “Mungkin karena banyak lulusan sekolahan akhirnya tetap saja jadi penganggur, atau balik juga kerja di kebun seperti yang lain.” Sambil tak menutup kemungkinan adanya para pemuda SAD lain yang meneruskan sekolah ke SMA, seingat Pauzan hanya dirinya, Besiar dan Bejujung yang melanjutkan ke SMK Perkebunan di Yogya itu.      

Kuliah di Bogor membuat Pauzan kerasan. Udara Bogor yang relative lebih sejuk dibanding hawa Yogyakarta turut menambah sisi plus kota itu bagi Pauzan. Belum lagi, meski terdengar kikuk saat mengutarakannya, bagi Pauzan gadis-gadis Yogya lebih ‘nakal’.

“Apa maksudmu, dengan ‘nakal’?”tanya saya mengejar.

“Mereka pada berani pacaran, lebih bebas gitu,”jawabnya. Saya tersenyum, tak berusaha terus mengejar apa yang dimaksud ‘bebas’ oleh Pauzan. Biarlah itu jadi berbeda pada setiap orang, sesuai ukuran yang mereka pakai. “Hanya, di sini biaya hidup lebih mahal. Terutama makanan, jauh lebih mahal dibandingkan Yogya,” kata Pauzan.

Untunglah, seiring meningkatnya jenjang pendidikan, meningkat pula besaran uang saku yang diterima Pauzan dan kedua rekannya. Bila dulu saat di SMK mereka menerima Rp 1 juta sebulan, uang saku itu kini bertambah menjadi Rp 1,5 juta. Selain juga menerima laptop sebagai fasilitas pendidikan, sekali setahun, pada saat menjelang Lebaran, Pauzan menerima tiket pesawat bolak-balik Jakarta-Jambi plus uang saku perjalanan. Hal yang tentu tidak diterima Bejujung yang saat ini bernama Faizul Mubaraq, dan Besiar yang kuliah di Jambi.

“Kalau makan, semua ditangani kampus. Saya makan tiga kali sehari,”kata Pauzan.

Di pundak ketiga pemuda itulah, sebagian masa depan warga SAD berada. Pasalnya, ketiga pemuda itu masih sangat dekat dengan elit SAD. Artinya, boleh jadi para temenggung SAD belum mampu mengajak warga yang lain untuk bersemangat menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang perguruan tinggi. Sebagaimana Pauzan yang merupakan cucu dari Temenggung Tarib, Besiar dan Bejujung pun memiliki ikatan yang dekat dengan para temenggung SAD.  Bejujung adalah putra Temenggung Njalo, sementara Besiar merupakan anak Temenggung Grib — dua tokoh warga SAD di Kecamatan Air Hitam.

“Ada niat langsung kuliah S2?”tanya saya, beberapa saat setelah Pauzan mengelap bibirnya dari sisa minyak yang datang dari bumbu sate ayam. Iseng, saya sempat menanyakan bagaimana rasa ayam pada sate itu dibanding rasa ayam hutan yang hidup liar di rimbo bungaron raya.  Ternyata Pauzan tak begitu sering menikmati ayam hutan, karena unggas liar itu pun kini langka, seiring makin menghilangnya rimbo bungaron raya alias hutan rimba yang lebat.

Saat tinggal di pinggiran hutan Muara Tembesi, Sarolangun, sekitar awal 1970-an, ayah kerap membawakan daging kijang, trenggiling atau kancil untuk ibu masak. Tampaknya saya masih lebih sering makan kancil dibanding Pauzan, pemuda SAD yang lahir di saat rimba telah punah dijajah dan dijamah ‘orang terang’. “Saya pernah makan satu dua sayat daging monyet,”kata Pauzan. Ia tak secara khusus merujuk monyet itu pada beruk, siamang, oa atau apa pun. “Dagingnya serasa daging ayam.”  

Pertanyaan saya akhirnya dijawab Pauzan dengan tegas. Tidak, katanya. Ia belum berniat melanjutkan sekolah ke S2. Pauzan lebih memilih bekerja lebih dulu, syukur-syukur menjadi penyuluh pertanian, sebagaimana jurusan yang dipilihnya saat ini.

“Saya harus banyak-banyak menggugah semangat adik-adik di SAD untuk meneruskan sekolah. Saya harus melawan pandangan umum di sana bahwa bersekolah itu tak banyak mengubah kehidupan. Itu salah. Menurut saya, sekolah banyak mengubah orang. Paling tidak saya merasakannya,”kata sulung dari tiga bersaudara dengan adik bungsu yang baru kelas dua SD itu. Pauzan melihat, persoalan yang dihadapi warga SAD masih banyak, terutama dalam soal semangat untuk bersekolah.

“Waktu SD, yang bersekolah itu bisa 90 persenan anak warga SAD. Namun saat ke SMP, yang melanjutkan paling hanya 20-30 persen. Ada tarikan besar dari pergaulan, ada pendapat, buat apa juga melanjutkan kalau nantinya hanya menganggur,”kata dia. Yang membuat Pauzan bersyukur, menurut dia, tak ada kebiasaan di adat SAD untuk bermabuk-mabukan.

“Mengemis juga bukan adat kami. Kalau pun ada pengemis, itu pasti karena terdesak. Susah cari pekerjaan, sukar cari makan.”

Kini tinggal beberapa semester lagi bagi Pauzan bisa menyelesaikan kuliahnya. Sampai saat ini, prestasi belajarnya pun tergolong bagus. “Semester kemarin IPK saya 3,15. Saya ingat betul, karena terbiasa melapor di akhir semester kepada mentor saya, Ibu Fenty,”kata Pauzan. Mungkin Ibu Fenty pula yang akan bisa memengaruhi Pauzan untuk memilih langkah di simpang jalan. Nanti setelah pemuda itu menuntaskan termin pertama pendidikan tingginya. [dsy]

Back to top button