Manakala nasi kotak ‘Sederhana’ itu dibagikan, orang-orang makan dengan tingkat kelahapan yang membuat mata saya basah. Saya tak melihat kerakusan, yang terpampang di depan mata saya adalah kerinduan untuk makan sesuatu yang sekian lama tak pernah singgah di lidah.
JAKARTA— Sebagai napi, meski Ramadhan kami tak bisa sekehendak hati ikut taraweh di masjid besar. Di Masjid yang setiap pagi dan petang dilewati warga yang ber-‘thawaf’ sesuai niat masing-masing itu. Ada yang berolahraga serius, sampai-sampai niat melingkarkan semacam alat di pangkal lengan, katanya untuk mengukur langkah, detak jantung dan sebagainya. Ada yang berolahraga laiknya masih jogging di sekitaran Gelora Bung Karno, dengan sepatu mahal yang masih baru, dengan celana olahraga panjang dan kaos yang bling-bling dan mahal. Sudah bisa dipastikan, mereka para penghuni blok Tipe-3.
Namun tak jarang yang hanya berkolor usang tanpa baju, dengan kaki nyeker tak beralas, bersicepat melampaui mereka yang sangat serius tadi. Yang dominan sih normal-normal saja: pakai baju, entah kaos atau bahkan baju koko, dan sarung sisa subuh tadi. Kebanyakan, berjalan-jalan mengelilingi lapangan itu tak lebih untuk melemaskan urat, melancarkan aliran darah yang mungkin tak lancar akibat terbatasnya posisi tidur di sel. Atau mencari udara yang jauh lebih segar, mengingat jendela sel hanya sebuah lobang berjeruji yang besarnya tidak proporsial dengan dinding kamar.
Taraweh memang diatur. Bergiliran antar-blok. Dari—kalau tak salah, empat atau lima blok, kebagian sepekan satu atau dua kali. Foreman mencatat siapa saja yang—maaf, layak ikut taraweh. Maksud layak di sini, dianggap tak akan berbuat anah-aneh di masjid, dan mampu berpakaian layak di dalam masjid. Sebab, banyak juga napi yang sekian lama hanya mengenakan celana, dan itu itu saja tanpa terlihat berganti.
Karena dianggap terlihat mirip ustadz—apalagi kalau iseng memakai ghamis panjang yang di rumah jarang dijamah, saya dan Setiyardi dipastikan selalu berada dalam daftar peserta taraweh itu, manakala blok kami dapat giliran. Biasanya Pak Heri—brengos namun pembina mushala blok, mulai memutari blok sekitar pukul 16, mengumumkan siapa saja yang ikut taraweh. Mengapa harus Pak Heri langsung? Selalu saja ada warga blok yang protes namanya tak tercantum. Taraweh di penjara bukan soal relijiusitas semata. Peserta taraweh adalah juga peserta buka bersama, yang pasti dapat fasilitas makan gratis dari nasi yang bukan cadong, tapi nasi dari luar penjara yang disebur warga ‘nasi reman’, dengan lauk pauk yang pasti lebih baik dibanding cadong, yang bungkus—atau kotak, makanan itu kadang disisipi pencuci mulut semacam pisang, atau kue-kue manis dari jenis yang tak ada di warung teroris, dan….lain-lain. Kalau Pak Heri yang mengumumkan, siapa mau protes?
Yang lain? Kalau memang serius mau taraweh, masih ada mushala blok. Di sanalah mereka bisa bertaraweh, dengan imam-imam mushola mereka sendiri. Karena jarak antar blok begitu dekat—lantai di atas sel kita adalah blok lain tersendiri, pengeras suara antarblok sering terkesan berkompetisi, saling bersikeras, saling berusaha melampaui. Pokoknya, di bulan biasa pun, saat-saat maghrib-isya adalah momen-momen persaingan di antara mushala blok. Apalagi di bulan Ramadhan!
Oh ya, tentang makanan dari luar, ada yang membuat kami berdua terharu. Di awal masuk blok, sekalian mengenalkan diri sebagai warga baru, saya dan Setiyardi—atau bolehlah dibolak-balik, berniat menggelar syukuran. Waktunya bada maghrib. Melibatkan sebanyak mungkin warga blok yang saat itu kami hitung sekitar 100-an orang. Alhamdulillah, permohonan izin kepada petugas pun diberikan.
Karena melihat nasi ransum sedemikian kondisinya, kami sepakat untuk berbagi makanan dari luar. Dipilihlah Restoran Padang ‘Sederhana’. Biayanya lumayan kalau kami tanggung sendiri. Namun tak disangka, ada sumbangan besar dari teman-teman kuliah di Fakultas Ekonomi UNPAD. Saya lupa, apakah berupa uang yang ditransfer ke dalam, atau saat itu sahabat saya Ridha Hassan Roshid yang sengaja datang membawa sekian banyak nasi kotak ‘Sederhana’ itu masuk penjara. Lupa.
Antusiasme warga blok sungguh di luar dugaan. Mushala penuh hingga ujung kedua lorong. Banyak yang saya dengar dari obrolan dan seloroh, mereka yang sekian tahun tak pernah ke mushala—kalau jamaah melimpah saat magrib dan isya, lorong di depan sel kita bisa langsung jadi area mushala–, saat itu pada memastikan diri datang.
Manakala nasi kotak ‘Sederhana’ itu dibagikan, orang-orang makan dengan tingkat kelahapan yang membuat mata saya basah. Saya tak melihat kerakusan, yang terpampang di depan mata saya adalah kerinduan untuk makan sesuatu yang sekian lama tak pernah singgah di lidah. Dan mereka yang begitu, di penjara banyak sekali. Mereka ini umumnya kaum ‘abal-abal, ‘anak ilang’, yakni para napi yang sejak masuk penjara tak pernah sekali pun ditengok, di-bezoek keluarga atau kenalan mereka.
Cerita tentang nasi kotak itu masih sesekali mampir ke telinga saya, baik langsung mendengarnya dalam obrolan dan bisik-bisik, atau diceritakan orang kepada kami, sampai kami pulang. Momen itu sempat kami ulang, dua kali. Terakhir, sekitar dua hari sebelum kami berdua resmi masuk Cuti Bersyarat (CB) dan bisa pulang ke rumah. Tak pernah ada nasi dari luar yang akan tersia-sia dalam penjara. “Di penjara, tak ada yang akan menolak nasi reman,” kata Atma, pernah berkata suatu hari. Nasi reman disukai karena masih berasa nasi. Katanya dibandingkan nasi cadong, jauhnya bagai rasa ketan sama bekatul.
Setelah menjadi bagian dari kelompok ‘ngustad’, belakangan saya pun diminta pengurus Masjid Jami Baitur Rahman—masjid utama di Lapas Cipinang, untuk memberikan kuliah singkat sebelum Dhuhur. Kalau tak salah sepekan sekali, bergantian dengan pengurus masjid jami dan sekitar empat orang napi santri lainnya. Karena bicara langsung di mimbar utama dan disalurkan melalui sistem pengeras suara, kuliah singkat itu menyebar bergaung di udara, ke seluruh pelosok penjara. Lhadalah, barangkali karena saya lebih sering berdiri di hadapan massa dengan TOA di tangan, dibanding memberikan ceramah agama, beberapa menit saya bicara, dari atas mimbar saya saksikan orang-orang mulai berkerumun di luar masjid, saling meninggikan leher, ikut ‘menonton’ kuliah singkat alias kultum itu.
Paginya, saat saya menuju ruang Bimker (Bimbingan Kerja) untuk mencucikan beberapa pakaian kotor, seseorang berteriak-teriak. Arahnya dari sekelompok ‘abal-abal’ yang biasa berkerumun di pojok lapangan bola, saling berbagi isapan dari sebatang dua rokok, sembari menunggu barangkali ada napi yang dibezoek mau berbaik hati dibawakan barang-barangnya ke sel. Itu sebuah peluang tersendiri, pasti. Orang sebiadab mana yang tega sama sekali tak memberikan ungkapan terima kasih telah dibawakan barangnya, bukan?
“Tuan Guru! Tuan Guru!”
Saya sama sekali tak punya pikiran sapaan itu ditujukan buat saya. Saya ngeloyor begitu saja, melanjutkan langkah.
“Tuan Guru!” Kali ini disertai kedatangan seseorang, berlari mendapatkan saya.
Oh, ternyata seseorang berbaik hati menyapa saya dengan ‘Tuan Guru’.
“Tuan Guru, mau kemana?” Pertanyaannya biasa saja, sapaan itu yang membuat saya kikuk.
“Ke Bimker, Bang. Nyuci.” Bukan karena sok punya uang—pelor istilahnya, saya memilih mencuci di laundry Bimker yang dikelola sesama napi. Kalau mencuci sendiri, itu artinya harus menunggui jemuran, atau harus membayar orang untuk menunggui jemuran. Jemuran harus ditunggui, karena memang banyak kejadian. Bukan perkara gampang juga menelusuri keberadaan barang kita manakala dicuri. Ribet, yang pasti.
Jadi, bukankah lebih baik sekalian di-laundry saja langsung, tak usah mengeluarkan biaya untuk pekerjaan tanggung?
Saat ia mendekat, saya segera mengenali. Ternyata Alfin Sinaga, napi kasus perampokan di Pulomas, yang berujung tewasnya keluarga pemilik rumah karena disekap di WC. Kami cukup akrab, beberapa kali Sinaga yang saat itu berusia sedikit di atas kami itu datang ke sel kami. Awalnya saya dan Setiyardi yang kebetulan di-bezoek bareng-bareng, bertemu di pintu keluar ruang bezoek. Kondisinya menyedihkan.
Ada semacam luka bernanah yang nyaris membusuk di pangkal pahanya. Itu jelas membuat dirinya yang mencari peluang untuk segoceng-ceban dari membawakan barang-barang bawaan napi yang dapat bezoekan, sangat terganggu. Jalannya tertatih-tatih, membuat orang yang akan menitipkan padanya pun risau. Aih-alih membantu, malah mereka yang harus menunggu dirinya yang tak hanya berjalan lambat bagai keong, tapi juga mengenaskan.
Sebenarnya, sering kami melihat para napi yang baru masuk bui berjalan terpincang-pincang. Salah satu kakinya, entah di betis, tulang kering atau paha, bolong. Biasanya napi-napi begini urusannya tak jauh dari perampokan, jambret serta maling atau begal motor. Konon kabarnya sih, ditembak karena melawan, meski banyak napi bilang, kadang ditembak kaki itu seolah sudah jadi semacam ‘SOP’ yang dilakukan aparat bagi residivis sejenis.
“Kenapa?” tanya kami, belum lagi saling bertanya nama.
“Borok, Bos. Bisul,” katanya. Kita akan gampang dipanggil ‘bos’ di penjara, kalau kita sering terlihat dibezoek. Kami memeriksa, dengan mengangkat kolornya ke atas. Luka itu biru gelap, sangat kontras dengan paha Sinaga yang putih mulus. Tak bertatto, maksud saya. Luka itu mulai menguarkan bau tak sedap. Kami sangsi itu bisul.
“Diobati, kan?”
“Iyalah, walau pun antrenya memusingkan,” kata dia. Sudah jadi rahasia umum, klinik penjara memang selalu penuh dan antre. Saya belum pernah sampai harus ke sana, Alhamdulillah. Tapi banyak cerita, dokternya disebut-sebut datang seenaknya, lalu pulang di bawah jadwal. Kadang tak peduli bahwa para napi masih mengantre. Segera Sinaga menambahkan,”Hanya obatnya kosong. Obat agak mahal, harus dibeli di luar.”
Saya melirik Setiyardi. Saya segera tahu, kami sepakat.
“Ada Abang catat nama obatnya?” tanya saya.
“Ntar, Bos. Saya bawa kemana-mana kok.” Dirogohnya saku celana kolornya, lalu secarik kertas diberikan kepada kami. Catatan resep.
“Ya sudah, paling cepat lusa datang ke kamar kami ya. Mudah-mudahan istri kami di luar bisa segera dapat obatnya.”
Itulah perkenalan awal kami dengan Sinaga. Obat itulah yang menurut dia telah menyembuhkan lukanya. Kami berdua ya bersyukur, tentu saja.
Nah, kini, tiba-tiba dari ‘bos’ panggilannya berubah menjadi ‘Tuan Guru’. Saya tak tahu apakah itu sebuah promosi atau demosi. Bos bagi saya lebih ‘sip’, ada kesan bisnis di sana. Setidaknya sesuatu yang dekat-dekat uanglah…Tuan Guru?
Tapi mau apa lagi? Untuk apa pula di sini kita mempersoalkan apa panggilan orang kepada kita. Masih dipanggil, lalu bercakap dengan akur pun sudah harus disyukuri. Di sini hampir setiap hari ada orang berkelahi. Hanya jadi tontonan sebelum dipisahkan petugas dan kalau serius, ‘digulung’—dihajar beramai-ramai sampai kadang terampun-ampun. Setelah itu nyaris pasti, masuk sel tikus atawa sel isolasi.
Sorenya, usai Ashar berjamaah di masjid Jami, dalam perjalanan pulang ke sel saya ceritakan kejadian tadi pagi. Soal panggilan ‘Tuan Guru’ dari Bang Sinaga itu.
“Wah, hebat juga, Wan,” respons Setiyardi. “Banyak juga kau ambil posisi dan gelar di awal-awal Ramadhan ini. Imam taraweh, ustad kultum, sekarang Tuan Guru. TGB, dong.” Ia merujuk inisial seorang ulama cum penguasa daerah di Nusa Tenggara.
Saya terkekeh. Tapi hanya lima menit dia diam dalam perjalanan ke blok itu, tiba-tiba Setiyardi berkata.
“Kau tahu, Wan, apa beda ‘TGB’-mu dengan Tuan Guru Bajang?”
Saya menggeleng.
“Kalau TGB yang di Lombok itu Tuan Guru Bajang, TGB-mu itu, yaaa…mungkin Tuan Guru Bajingan!” kata dia, tertawa. [bersambung]