Pengalaman Menghuni Penjara Cipinang* (7): Napi Reaksi Cepat Divisi Pemburu Janda
Bantuan itu lebih jauh lagi mampu menguatkan hati saya. Membantu saya menegaskan rasa percaya diri bahwa saya tidak dibiarkan sendiri. Saya selalu merasa, itu utang yang tak akan pernah bisa terbayar hingga mati.
JERNIH– Bila kaki kita masih berpijak di bumi, tampaknya tak ada area tempat uang tidak punya harga. Apalagi bila tempat itu hanya penjara, yang terpisahkan dunia luar cuma oleh dua atau tiga lapis tembok batu bata dan selingkar dua belitan duri-duri kawat saja.
Bahkan, barangkali sesungguhnya di penjaralah uang menemukan tempat ia diagungkan lebih dari semestinya.
Warga penjara umumnya menyebut uang dengan pelor. Barangkali agar tak terdengar vulgar bila urusan itu dibicarakan di tengah kerumuman orang. Maklum, susah untuk menemukan tempat yang benar-benar sepi di sini. Bahkan ruang sepribadi WC pun kadang tak lagi menjanjikan privacy manakala demand alias orang-orang yang membutuhkannya, sedang banyak-banyaknya.
Misalnya, pagi hari. Bila isi perut Anda tergolong pemalu, ia tak akan mampu segera keluar karena mungkin saja begitu seringnya pintu peturasan digedor saat Anda baru saja membengkokkan lutut untuk berjongkok.
Jika saya mengatakan mungkin justru di penjara uang dihargai lebih dari semestinya, diagungkan begitu tingginya, tentu itu bukan tanpa argumen. Sejak hari pertama masuk, bukan sekadar bahasa verbal yang datang kepada saya untuk mengingatkan—atau mungkin lebih tepat ‘mengajari hidup di sana’, tentang posisi uang dalam kehidupan baru saya itu. Saya mengalami atau setidaknya menyaksikan sendiri bahwa memang itulah yang berlaku.
Anda masuk penjara dan perlu bantal untuk sedikit memberi kenyamanan tidur, itu hanya bisa diperoleh kalau Anda bisa membayar orang untuk mencarikan. Bila belakangan ternyata bantal yang Anda bayar itu tak hanya bau tapi juga ‘bertumbila’ alias menjadi sarang kutu busuk, jangan segera naik darah. Lebih baik anggap saja itu bonus!
Bahkan–kata orang yang mengalaminya karena saya tidak–untuk mendapatkan sebidang ruang yang bisa Anda klaim selama tinggal di sana–sel yang masih harus berbagi dengan sesama penghuni lain-–cukup banyak yang hanya bisa mendapatkannya dengan merogoh isi kantong. Apalagi yang lebih masuk akal, misalnya tak mau makan jatah harian yang diberikan penjara alias cadong, apa pun alasannya, jelas tangan harus siap terkokang masuk ke dalam saku, dan pelor harus lebih sering keluar.
Persoalannya, dari mana para warga penjara mendapatkan pelor untuk keperluan mereka sehari-hari? Pada titik ini, bila Anda percaya rejeki manusia di tangan Tuhan dan setiap hamba-Nya akan dibagi sesuai keadilan-Nya, bisa jadi penjara akan memberi tambahan besar bagi kepercayaan itu, hingga menjadikan Anda benar-benar true believer.
Sumber pertama dan paling gampang dari mana para napi mendapatkan pelor, tentu pemberian keluarga atau kenalan saat mereka membezoek. Mereka biasanya tak hanya datang, tapi dengan membawakan berbagai keperluan, makanan, dan hampir bisa dipastikan, juga uang.
Mungkin masih ingat, selain istri, kenalan yang pertama kali memberi uang kepada saya di penjara adalah Mas Budi Sulistianto, senior saat saya aktif di Masjid UNPAD semasa kuliah. Belakangan, saya tahu betapa banyak rekan-rekan dan teman yang saya kenal saat kuliah atau dalam aktivitas masa muda, menolong saya.
Tidak hanya teman-teman di Masjid UNPAD yang kemudian bergabung dalam grup WA, namun teman-teman semasa di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bandung dan teman kuliah di FE Unpad yang sempat satu zaman, juga kelompok-kelompok senior yang saya kenal zaman mahasiswa, banyak menolong saya dan keluarga.
Masing-masing kelompok itu, tanpa tahu aktivitas satu kelompok dengan lainnya, urunan di antara mereka. Hasilnya, tiap bulan masing-masing grup itu mengirimkan sumbangan mereka ke istri saya di rumah. Penuh, sampai saya bebas dan keluar penjara.
Tidak sedikit pula para senior yang tak pernah bertemu semasa di kampus, menitipkan amanat mereka kepada beberapa teman dekat, yang akhirnya sampai kepada saya atau keluarga.
Sampai kapan pun saya tak akan pernah melupakan jasa-jasa mereka. Bagi saya, bantuan itu tak hanya secara materi telah membantu keluarga saya—ekor yang kehilangan kepala seiring masuknya saya ke lapas. Bantuan itu lebih jauh lagi mampu menguatkan hati saya. Membantu saya menegaskan rasa percaya diri bahwa saya tidak dibiarkan sendiri. Saya selalu merasa, itu utang yang tak akan pernah bisa terbayar hingga mati.
Soal bantuan itu, susah bagi saya untuk melupakan satu nama: Azwan Martin. Lebih setahun lalu ia berpulang. Azwan datang di hari kedua bersama para kawan dan senior di FE Unpad dan HMI pada Sabtu, 10 Mei 2018.
Tentu saja tak bisa masuk karena Sabtu dan Minggu adalah hari libur kunjungan. Dua hari berikutnya ia datang bersama Syaiful Rahman yang datang dari Bandung. Saat bertemu di ruang kunjungan yang padat, Azwan memeluk saya, lama. Begitu ia lepaskan, saya melihatnya agak limbung sehingga kembali saya peluk. Dari Syaiful kemudian saya tahu, Azwan baru saja terkena stroke untuk kedua kali. Saat hendak pulang, dikeluarkannya segepok uang kertas lima ribuan dari balik bajunya.
“Buat Lu di sini. Orang bilang, pecahan lima ribuan begini lebih berguna, benar?” Saya hanya bisa mengangguk dan berkaca-kaca. Setelah itu hampir sebulan sekali ia datang berkunjung. Kadang bersama Syaiful atau Edi Pohan, namun tak jarang datang sendirian. Selalu, di tiap akhir kunjungan ia akan melesakkan segumpal besar uang lima ribuan.
Saya tak akan pernah lupa langkah-langkah kakinya yang sedikit limbung, bertelekan tongkat keluar dari ruang kunjungan. Langkah kakinya goyah, namun ia seolah yakin bisa mengalahkan sisa-sisa penyakit yang sedikit demi sedikit menggerogoti tegak tubuhnya.
“Aku nggak sakit, Dar. Aku sehat. Aku menyetir sendiri ke sini dari rumah.” Selalu itu jawabannya atas kekuatiran saya.
Allah masih memberi saya kesempatan berjumpa. Sekeluar penjara, Azwan kembali masuk rumah sakit. Bersama teman-teman alumni FE UNPAD, saya sempat menjenguk dirinya di RS Fatmawati. Kondisinya terlihat bugar waktu kami datang. Almarhum bahkan memaksa mengganjal tubuhnya dengan bantal, untuk lebih tegak saat berfoto bersama. Foto terakhir kami. Dua hari kemudian Azwan berpulang.
***
Sumber pemasukan napi kedua adalah jualan. Jualan apa saja. Kondisi dan pengalaman akan membuat napi tahu, apa yang bisa dijual, pada kesempatan mana.
Saya telah bercerita tentang Kuro yang membantu membuatkan kami WC sederhana. Ia menjual tenaganya. Waktu telah membuat Kuro menjadi seorang professional untuk komunitas dan kondisi yang ada. Pernah WC kami mampet, dan Kuro tak hanya membobok lantai WC untuk memperbaikinya, tapi juga sempat menyedotnya dengan selang!
Para teroris dan santri-santrinya berjualan keperluan sehari-hari di lapak yang mereka bikin. Sayur mayur, tempe, barang kelontong, semua yang diperlukan, laku dijual, dan bisa mereka sediakan. Bahkan sampai jasa penitipan transferan uang dari luar.
Napi-napi yang sadar dan berada di jalan lurus, biasanya akan terlibat banyak pekerjaan yang disediakan Lapas. Di Lapas ada bagian Bimbingan Kerja, atau Bimker. Ada banyak pelatihan di sana, dari urusan tata boga alias latihan masak memasak, latihan mencukur rambut, bikin kerajinan tangan, hingga laundry.
Napi yang menggeluti tata boga biasanya akan terlibat di kantin atau warung-waung penjara. Saya tak yakin pada saatnya mereka tak berhonor. Hanya besarannya yang tak saya tahu. Begitu pula napi-napi yang mengurusi barber penjara, yang biasanya lulusan pelatihan mencukur.
Barber penjara selalu penuh, antre. Bayarannya murah, Rp 15 ribu. Dengan sedikit tips kita akan merasakan kenyamanan yang mewah: pijat kepala. Kalau melihat penampilan mereka, saya yakin para napi tukang cukur punya honor lumayan, yang kalau ditabung bahkan bukan tak mungkin bisa menjadi bekal saat mereka bebas keluar.
Tamping (tahanan pendamping) kunjungan punya proyek kecil sebagai sampingan: membantu membawakan barang-barang napi yang didapat dari kunjungan pembezoek. Untuk itu ia dipastikan dapat uang terima kasih.
Tamping dapur—yang mengurusi keperluan makan cadong napi tidak kali sehari, bila “kreatif” bisa sembunyi-sembunyi menyediakan sayur, potongan pisang ransum, dan bahkan bubur kacang yang lebih baik daripada yang bagikan sebagai cadong, kepada napi yang mampu membeli.
Saya dan Setiyardi pernah berlangganan ‘katering’ dari dapur umum ini, sekitar tiga bulan. Murah, jauh lebih enak daripada cadong yang juga mereka bikin, kualitasnya pun lain. Sayang—atau tepatnya Alhamdulillah, praktik yang konon telah berlangsung lama itu ketahuan, dan semua tamping dapur kemudian diganti. Sedikit rugi bagi kami, uang pembayaran yang diberikan di awal bulan, tentu tak mungkin kembali.
Buat napi yang ‘gemar’ mencuci, mencucikan pakaian napi lain, dan menungguinya saat dijemur dari basah hingga kering di sore hari, bisa dilakukan untuk menjamin pemasukan. Upahnya lumayan buat sekadar pembeli rokok atau lauk pauk manakala lauk cadong kurang memenuhi selera. Misalnya, kalau lauk cadong terus-terusan ‘ikan berjaket’—goreng ikan asin yang dibaluri tepung yang membuat dia bosan–upah bisa ia belikan lauk lain di warung.
Atau sekalian menjadi pembantu napi lain alias korve. Dengan menjadi korve, semua keperluan makan, minum, rokok, bahkan kadang ruang (space) untuk tidur, menjadi tanggungan napi yang jadi majikan.
Pekerjaan yang cukup menghasilkan banyak pelor di penjara, adalah tukang pijat. Di Lapas Cipinang saat itu, tak banyak yang menekuni profesi ini. Yang saya lihat cukup professional—berpenampilan rapi, berpakaian bersih, saya kira cuma Pak De. Saya menyebutnya demikian sebagaimana yang lain. Ia pernah menyebutkan nama saat saya tanya, namun belakangan saya lupa karena luput dicatat.
Saya berlangganan Pak De, minimal dua pekan sekali, di luar kalau harus dikerok karena masuk angin. Ia tak menentukan tariff. Hanya orang-orang semacam bikin konvensi, memberinya Rp 75 ribu sekali memijat. “Kalau di Tipe 3, kadang ada yang ngasih sampai 300 ribu,” kata Pak De saat saya tanya. Saya memberinya Rp 100 ribu sekali pijat yang lamanya bahkan kadang sampai dua jam tersendiri. Saya bukan penghuni Tipe 3, namun tak ingin memberinya hanya sebagaimana rata-rata. Jadi mungkin Rp 100 ribu tak terlalu buruk.
Pernah saat Pak De sakit, saya mencoba seorang pemijat lain yang lebih muda. Hanya satu kali itu, karena menurut saya badannya bau. Entah berapa lama ia tidak mandi.
Sayang sekali, kabar burung sih menyatakan tak jarang ada pula napi yang masih melakoni pekerjaan lama, bahkan saat dia dalam penjara. Napi narkotika, terutama. Beberapa kali saya mendengar rumors tentang seseorang yang ‘kuda’nya di luar kena garuk polisi. Kuda adalah istilah untuk kurir narkoba. Kalau sudah begitu, bisa dipastikan kita akan melihat orang itu penuh kecemasan, dihantui was-was, karena bagaimana pun hanya tinggal soal waktu ia akan didatangi petugas, bahkan mungkin petugas polisi.
***
Tetapi ada pula cara meraup pelor yang meski tak unik, namun menarik. Salah besar jika Anda berpikir semua napi itu bau dan malas mandi. Tidak. Bahkan beberapa yang saya lihat lebih pesolek dibanding pria-pria bebas di luar gerbang penjara. Terutama, bila mereka siap untuk datang ke ruang kunjungan karena dibezoek.
Biasanya bahkan mereka agak-agak lebay. Tak hanya akan mandi dulu, mereka akan berkemeja dan berparfum, sementara sehari-hari kadang tak berbaju sama sekali. Rambut tak lupa dioles pomade dan tersisir rapi. Mengkilat berminyak. Jarang saya melihat mereka ini datang ke ruang kunjungan hanya dengan memakai sandal. Pasti bersepatu.
Awalnya, saya sempat kaget manakala di ruang kunjungan saya menemukan seorang napi yang saya kenal tampak begitu mesra dengan seorang perempuan. Sementara, di kesempatan lain sebelumnya, kemesraan yang sama pun saya lihat dilakukannya dengan pasangan berbeda. Ah, mungkin ia beristeri dua, pikir saya.
Belakangan, saya dapat cerita dari banyak orang. Bukan tentang dia, tentang modus menghasilkan pelor selama dalam penjara. Ternyata, ada banyak napi, yang entah dengan cara bagaimana, memegang alat komunikasi masa kini: telepon selular. Seiring waktu, tentu saja smartphone. Tentu saja sembunyi-sembunyi karena barang itu terlarang.
Perangkat itu memungkinkan mereka membuka laman media sosial, Facebook terutama. Akun baru pun dibikin. Dengan nama dan identitas abal-abal. Mulailah napi-napi jenis ini berselancar, mencari sebanyak mungkin kenalan. Lawan jenis tentunya.
Dalam soal identitas, mungkin saja mereka sengaja bikin nama dan profil abal-abal. Tapi ada satu hal yang pasti: mereka jujur tentang kondisi meeka yang tengah dipenjara. Pasalnya, kalau tidak jujur bagaimana mereka dapat meraup pelor?
Komunikasi, rayuan sekian lama—makanya tak heran kalau di dini hari napi-napi jenis ini bisa dipastikan tengah bertelepon atau setidaknya saling membalas pesan– akhirnya si perempuan luluh juga. Datanglah mereka menjenguk. Itulah peluang mendapatkan bawaan, makanan, atau yang lebih berharga; pelor.
Menurut seorang pelaku, teman satu blok, seringkali para jandalah yang lebih mudah untuk dirayu, dan akhirnya diporoti napi-napi ini. Kalau itu sudah terjadi, biasanya si napi akan kerepotan membagi waktu kunjungan antara si ‘korban’ dengan istri resmi yang selama ini bertahan setia untuknya.
Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana cara para pelaku curi-curi kesempatan seperti itu memperhitungkan untung rugi aksi yang ia lakukan. Sudah jelas, kedua sisi itu tak akan pernah bisa balance, akan jomplang. Bagaimana mungkin bertaruh begitu besar kehilangan seorang istri setia, hanya untuk—kalau pun dapat, uang yang tak seberapa?
Selain janda, yang juga sering menjadi target mereka adalah para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah berada di luar negeri. “Mereka royal, Pak,” kata seorang teman satu blok juga yang khusus menargetkan kalangan tersebut. “Asal bisa-bisanya SSI kita.” SSI adalah kependekan dari ‘speak-speak iblis’, alias jadi Pe Ha Pea atau Pemberi Harapan Palsu . Bahasa generasi 1970-an mungkin ‘rayuan gombal’.
Dia sendiri mengaku pernah dapat kiriman transfer dana sebesar Rp 4 juta dari seorang TKI sasarannya yang tengah bekerja di Taiwan. “Alasan saya, HP rusak. Jadi kalau mau telepon-teleponan, harus beli baru dan tak punya uang,” kata dia.
Lalu benar, uangnya buat pembeli HP baru? Karena bagaimana pun tak mudah membeli HP yang terlarang itu di penjara. “Kalau mau sih bisa. Hanya ya, habis-habis juga akhirnya. Uang setan, ya, yang makan jin juga,” kata dia. [darmawan sepriyossa]
*Mulai Kamis, 31 Desember 2020, setiap hari–kecuali berhalangan, Jernih akan memuat tulisan pengalaman pribadi menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kami berharap pembaca memetik hikmah, atau setidaknya penulisnya bisa mengambil ibrah dari pengalamannya.