POTPOURRI

Perjalanan dan Karya Penyair Sapardi Djoko Damono*

Salah satu sajaknya yang berjudul “Pilgrimage” (Suddenly the Night, 1988: 13) yang merupakan terjemahan dari “Ziarah” (Duka-Mu Abadi, 1975:30-31) pernah dikutip dalam suatu konferensi internasional oleh Narasimha Rao, perdana menteri India

JERNIH— “Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi,

        tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri.

        Pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi,

        tapi di antara larik-larik sajak ini.

        Kau akan tetap kusiasati,

        pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi,

        namun di sela-sela huruf sajak ini,kau tak akan letih-letihnya kucari.”—“Pada Suatu Hari nanti”, Sapardi Djoko Damono

‘Suatu hari’ yang disebut Sapardi itu, ternyata hari ini.  Tadi pagi, beliau berpulang. Menandai akhir hidupnya di dunia, dan awal perjalanan panjang etape selanjutnya.

Siapakah Sapardi Djoko Damono? Sapardi Djoko Damono dilahirkan di rumah kakeknya dari pihak ayah yang terletak di Kampung Baturono, Solo. Ia merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sapardi yang lahir pada tanggal 20 Maret 1940 M ini berdasarkan kalender Jawa bersamaan dengan bulan Sapar.

Mungkin atas dasar itulah orangtuanya memberinya nama Sapardi. Ibunya juga lahir di bulan yang sama sehingga tak heran jika ibunya kemudian bernama Sapariah. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam keyakinan.

Sapardi menjalani masa kecilnya bersamaan dengan tengah berkecamuknya perang kemerdekaan. Sebagai anak yang tumbuh dalam situasi sulit seperti itu, pemandangan pesawat yang menjatuhkan bom dan membakar rumah-rumah besar merupakan hal yang biasa bagi Sapardi kecil.

Dalam bukunya, Sapardi mengisahkan bahwa awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya terbilang berkecukupan, namun nasib manusia memang bak roda pedati yang terus berputar, kadang di atas kadang di bawah, demikian halnya dengan keluarga Sapardi, saat Sapardi kecil hadir keadaan pun berubah, mereka harus menjalani hidup yang sulit. Masih segar dalam ingatan Sapardi, saking susahnya ia hanya makan bubur setiap pagi dan sore. Untuk menafkahi keluarganya, ibunda Sapardi, Sapariah, berjualan buku. Sementara ayahnya, Sadyoko, memilih hidup mengembara dari satu desa ke desa lain untuk menghindari kejaran tentara Belanda yang kala itu kerap menangkapi kaum laki-laki. Sang ayah memang bukan seorang pejuang, tapi tentara Belanda kala itu berpikir tentara itu kebanyakan laki-laki.

Pak Sadyoko pada awalnya bekerja sebagai abdi dalem di Kraton Kasunanan, mengikuti jejak kakeknya. Setelah menikah, ia menjadi pegawai negeri sipil di Jawatan Pekerjaan Umum. Sementara sang kakek, selain bekerja sebagai abdi dalem Kasunanan Raja Kasunanan Surakarta, 1893-1939 Surakarta, ia juga punya keahlian menatah wayang kulit. Sapardi dan adiknya, Soetipto Djoko Sasono, mendapatkan seperangkat wayang kulit karya kakeknya sendiri. Tidaklah heran jika Sapardi bisa sedikit-sedikit memainkan wayang. Sayangnya, akibat zaman yang kacau, wayang itu tidak bisa terawat dengan baik.

Tahun 1943, keluarga Sadyoko memutuskan untuk memisahkan diri dari keluarga kakeknya. Saat itu kekuasaan atas Indonesia telah berpindah dari tangan Belanda ke Jepang. Mereka kemudian menyewa sebuah rumah di kampung Dhawung. Ketika itu, sang ibu hampir saja direkrut pasukan Jepang untuk menjadi prajurit. Beruntung ia bisa selamat dari perekrutan itu karena tengah mengandung adik Sapardi, Soetjipto.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tahun 1945, keluarga Sadyoko pindah ke Ngadijayan. Di desa itu Sapardi dan keluarganya tinggal di rumah orangtua dari pihak ibu. Rumah itu sangat luas. Tapi sayangnya sang kakek tak bisa menata hidup dengan baik hingga akhirnya rumah itu digadaikan tanpa bisa ditebus hingga akhir hayatnya. Tindakan sang kakek tidak diberitahukan kepada putra putrinya apalagi cucu-cucunya. Setelah kakeknya meninggal, rumah itu dilelang dengan harga rendah. Uang hasil penjualan dibagi pada tiga orang anaknya, yakni ibu Sapardi dan dua orang pamannya.

Pada tahun 1957, sang ayah memutuskan untuk meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke sebuah kampung bernama Komplang. Sapardi menafsirkan, pilihan ayahnya untuk pindah itu merupakan usaha untuk bisa mendapatkan tanah yang luas dan suasana yang lebih tenang.

Di tempat tinggalnya yang baru, saat itu belum ada listrik. Keadaan desa pun waktu itu masih sangat sepi, sehingga sempat menimbulkan perasaan aneh di hati Sapardi. Sebab, di kampung tempatnya tinggal sebelumnya, Ngadijayan, Sapardi kerap keluyuran untuk menonton pagelaran wayang kulit. Namun lambat laun, Sapardi mulai terbiasa dengan keadaan yang jauh berbeda itu. Meski demikian, ia memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. “Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang yang banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” kata Sapardi.

Walaupun memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati ‘kesendirian’, hobi keluyurannya tak lantas berhenti begitu saja. Namun, ‘keluyuran’-nya bukan dalam arti fisik di dunia nyata melainkan dunia batinnya sendiri.

Sambil menikmati masa ‘kesendirian’-nya itu, Sapardi mulai menulis puisi. “Saya belajar menulis pada bulan November 1957,” katanya. Sebulan setelah belajar menulis, karyanya berupa sajak dimuat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang. Tahun berikutnya, sajak-sajaknya mulai bermunculan di berbagai halaman penerbitan yang antara lain diasuh oleh HB. Jassin.

Kegairahan menulis didapat Sapardi dari hobinya membaca. Sejak kecil Sapardi memang sangat menyukai buku-buku petualangan. Ia pun sangat menyukai karangan Karl May, William Saroyan, WS Rendra, dan TS Eliot. Menurut Sapardi, buku-buku itu sangat populer di kalangan remaja yang suka membaca. Pada waktu itu Sapardi duduk di kelas 2 SMA.

Untuk ukuran seorang pelajar SMA, buku drama puisi karya Eliot sebenarnya tidak terlalu gampang dicerna. Oleh karena itu Sapardi mengakui bahwa ia hanya bisa memahami sekitar 25 persen saja. Atau mungkin kurang dari itu. Sapardi memang orang yang memiliki rasa ingin tahu cukup besar. Uuntuk memuaskan rasa ingin tahunya, ia tak hanya membaca buku tapi juga membaca gejala-gejala alam.

Salah satu karya terjemahan Sapardi, “Murder in Cathedral” karangan TS Eliot yang bernuansa “Kristiani” sempat memunculkan dugaan bahwa Sapardi yang muslim menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Katolik. Tapi dugaan itu ternyata tidak benar, Sapardi tidak pernah masuk sekolah Katolik, hanya saja ia mengaku waktu kecil sering ikut Sekolah Minggu akan tetapi hanya main-main saja karena ia memang suka keluyuran.

Di samping itu, menurut pengakuan seorang guru besar Universitas Atmajaya, sewaktu mahasiswa hubungan Sapardi dekat sekali dengan Pater Theodorus Geldorp SJ atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pater Dick Hartoko. Kedekatan hubungan itu ada kaitannya dengan majalah kebudayaan Basis yang diasuh oleh pastor itu. Pada waktu Pater Dick menjabat sebagai pemimpin redaksi dan Sapardi mengasuh rubrik puisi. Pada peringatan satu tahun wafatnya Pater Dick, Sapardi memberikan uraian kenangannya berkaitan dengan kedekatan hubungan itu. Bahkan dalam menyelesaikan skripsinya tentang “Murder in the Cathedral”, ia mendapatkan pinjaman mesin tik dari Pater Dick.

Dugaan yang mengatakan bahwa Sapardi pernah bersekolah di sekolah Katolik menurut Sapardi mungkin didasari kumpulan puisi dalam buku Duka-Mu Abadi yang terbit di tahun 1969. Puisi-puisi dalam buku itu banyak menyajikan imaji-imaji yang menimbulkan asosiasi kekristenan.

Pada kenyataannya, Sapardi masuk Sekolah Dasar Kasatrian, yakni sekolah dasar yang khusus diperuntukan bagi kaum laki-laki para kerabat Kraton. Meski berdarah ningrat, jejak-jejak keningratan tidak tampak pada perilaku dan karya-karyanya. Ini menunjukkan sekolah itu hanya memberikan pendidikan formal saja. Bedanya, di sekolah itu Sapardi mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan menabuh gamelan dan menari tari Jawa. Meski demikian, yang tampak sejak SMA, Sapardi lebih suka main gitar daripada alat musik tradisional Jawa.

Setamat SD, ia melanjutkan ke SMP II di wilayah Mangkunagaran. Kemudian melanjutkan ke SMA II di Margoyudan. Sewaktu SMA, Sapardi menjalin pertemanan dengan Jeihan Sukmantoro yang kini dikenal sebagai pelukis ekspresionistik Indonesia terkemuka. Jeihan adalah salah seorang pengelola majalah dinding dimana Sapardi sering mengisi majalah dinding itu. Persahabatan itu masih terjalin hingga kini. Bahkan beberapa kegiatan puisinya didanai oleh Jeihan. Pada pameran lukisan Jeihan di Jakarta, 29 Juli 2005 lalu, Jeihan mempersembahkan sebuah patung Sapardi telanjang yang khusus diciptakannya.

Tak hanya bersahabat dengan sang pelukis, Sapardi juga memiliki bakat melukis. Lukisannya bahkan pernah dilelang untuk amal bersama dengan beberapa pelukis lain, di antaranya Danarto. Selain bakat melukis, ia juga berbakat menjadi seorang sutradara. Pentas drama yang pernah ditanganinya antara lain “Petang di Taman”, karya Iwan Simatupang. Di samping menjadi tokoh di balik layar, ia juga pernah beberapa kali tampil sebagai pemain saat tergabung dalam teater Rendra pimpinan WS Rendra.

Setamat SMA ia melanjutkan studi di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM). Catatan itu menunjukan Sapardi tidak pernah sama sekali masuk sekolah Katolik. Istilah-istilah yang lekat dengan umat Nasrani seperti Yesus, Golgota, Qain, dan Abil dalam karyanya diduga didapatnya dari buku-buku bacaan.

Sapardi menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Barat (sekarang Jurusan Sastra Inggris) pada tahun 1964. Sementara “Duka-Mu Abadi” ditulis pada 1967 dan 1968. Ini artinya, Sapardi sudah melewati pergulatan lebih intens dengan “Murder in the Cathedral” yang menjadi objek materi skripsinya. Seperti judulnya, lakon itu mengisahkan pembunuhan seorang uskup yang namanya Becket. Dari hal itu bisa dibayangkan cerita tersebut sarat dengan nuansa Kristiani. Untuk kepentingan penulisan sikripsinya itu, sudah pasti dibutuhkan pengetahuan yang cukup. Itu sebabnya Sapardi dipaksa tidak hanya membaca tapi mempelajari kitab suci, yang mungkin tidak hanya Injil tapi juga kitab-kitab dari agama lain.

Sebagai mahasiswa yang giat berkesenian, Sapardi sering pula mengisi acara semacam puisi. Ia sering ditemani sahabat-sahabatnya yang memiliki kecintaan seni yang sama di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Mereka antara lain Ramli Leman Soemowidagdo, Rachmat Djoko Pradopo, Niniek Koesoemowardhani, Widiati Saebani, Lastri Fardani, dan Ninies C.M Tri Sudarsi Widagdo.

Sapardi bisa dibilang seorang gitaris yang andal juga. Ia bermain band tatkala di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Budayawan, novelis, cerpenis, dosen Umar Kayam pernah bercerita bahwa saat masih menjadi Dekan di Fakultas Sastra UI, Sapardi selalu membawa gitar ke kantornya.

Dari berbagai kemampuannya di bidang seni, mulai dari menari, bermain gitar, bermain drama, dan sastrawan, tampaknya bidang sastralah yang paling menonjol dimilikinya. Ia dikenal sebagai penyair papan atas, tak hanya di dalam negeri tapi juga di dunia internasional. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Jawa.

Beberapa di antaranya menjadi lirik lagu-lagu cinta yang sering dinyanyikan paduan suara kelompok terkemuka pada pesta penikahan bahkan hingga ke Amerika. Salah satu sajaknya yang berjudul “Pilgrimage” (Suddenly the Night, 1988: 13) yang merupakan terjemahan dari “Ziarah” (Duka-Mu Abadi, 1975:30-31) pernah dikutip dalam suatu konferensi internasional oleh Narasimha Rao, perdana menteri India. Beberapa sajaknya yang lain sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dimasukkan ke dalam antologi puisi dunia.

Di dunia akademisi, pria berkacamata ini adalah seorang guru besar ilmu sastra yang beberapa periode menjabat pembantu dekan I, Dekan, serta ketua Program Pascasarjana yang semuanya dalam lingkup Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Sapardi sering memberikan pengarahan kepada mahasiswanya bagaimana cara membacakan puisi yang baik.

Dalam kegiatannya sebagai akademisi, Sapardi juga merupakan seorang penjelajah. Setelah awalnya ia mengambil kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, tapi perhatiannya pada sastra Indonesia juga sangat besar. Kepada dunia sastra akademik, Sapardi memang menunjukkan minat yang tinggi. Minat itu semakin tampak dengan didirikannya sebuah organisasi para sarjana sastra yang diberi nama Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) yang kegiatannya antara lain menyelenggarakan seminar di berbagai kota di seluruh Indonesia. Dalam perjalanannya, Hiski ini telah berhasil memberdayakan para sarjana kesusastraan Indonesia.

Sapardi juga banyak berbicara tentang sastrawan dan khususnya penyair Indonesia. Dan pada akhirnya memusatkan perhatiannya pada sastra Indonesia. Akan tetapi, ia menulis disertasi tentang sastra Jawa. Beberapa novelnya juga berbahasa Jawa.

Dalam proses menulis, Sapardi termasuk pengarang yang memulai tulisannya tanpa diawali ide atau dorongan hati, tapi karena begitu saja. Biasanya, entah bagaimana ia tiba-tiba menggoreskan penanya atau mengetik beberapa kata pada kertas atau pada layar monitor, baru kemudian ia mengembangkannya. Tetapi yang jelas, dari mana pun dan bagaimanapun ia memulai tulisannya, daya cipta Sapardi akan muncul apabila ia berada dalam suatu suasana tertentu.

Dalam tulisan “Permainan Makna” (Sihir Rendra, 1999:255-273) dikatakan oleh Sapardi, “Ternyata, kemudian, masa kecil yang sama sekali tidak istimewa itu menjadi sumber bagi sebagian puisi saya; setidaknya bisa dikatakan bahwa beberapa sajak yang saya sukai mengingatkan saya pada masa kecil tersebut”. Dari kalimat yang diucapkannya itu terlihat bahwa Sapardi ternyata sangat tertarik dengan kehidupan batinnya sendiri. Masa kecil rupanya menjadi sumber kreativitasnya.

Seperti saat pertama kalinya ia mengirimkan sebuah karangan berupa cerita ke sebuah majalah anak-anak berbahasa Jawa bernama “Taman Putra” yang merupakan suplemen untuk majalah berbahasa Jawa terkenal yang namanya Penyebar Semangat. Redaksinya adalah seorang tokoh jurnalistik terkenal bernama Subagio Imam Notodidjojo (Pak SIN).

Dalam cerita yang dikirimkannya, Sapardi mengisahkan salah satu peristiwa masa kecilnya, namun sayang karangan itu ditolak. Menurut Pak SIN, cerita itu tidak masuk akal. Tentu saja penolakan itu membuat Sapardi kecewa. Tapi yang lebih penting menurutnya adalah secara tidak langsung untuk pertama kalinya ia ‘diberi tahu’ dan selanjutnya menyadari bahwa ada peristiwa dalam hidupnya yang tak masuk akal.

Cerita yang ditulis Sapardi itu mengisahkan saat ia dan adiknya dilepas ibunya untuk pergi menginap bersama sang ayah di rumah ibu tirinya. Semua berjalan biasa saja, tapi ternyata cerita itu dikatakan tidak masuk akal. Padahal Sapardi menegaskan tulisan itu dibuat tanpa dilebih-lebihkan.

Pak SIN ternyata lebih percaya bahwa cerita anak-anak yang baik adalah yang masuk akal. Padahal menurut Sapardi, bukan hanya cerita, melainkan hidup dan peristiwa dalam kehidupan yang fantastis justru sangat menarik, indah, dan sangat bagus luar biasa. Yang lebih penting lagi, kisah-kisah fantastis itulah yang bisa merangsang daya imajinasi anak-anak untuk lebih gemar membaca, belajar dan melakukan penjelajahan untuk memperkaya pengetahuan dan memperluas wawasannya, serta mendewasakan hidup batinnya. Seperti kisah para penemu, ide-ide mereka pada awalnya dianggap tidak masuk akal namun dikemudian hari ide mereka dapat berguna bagi kehidupan bagi banyak orang di seluruh dunia.

Mungkin sebagian orang menduga, sangat sulit diterima akal sehat jika ada seorang ibu yang melepaskan anak-anaknya untuk menginap di rumah ibu tiri. Karena pada umumnya istri pertama sangat benci pada istri kedua, demikian juga sebaliknya. Suami mereka jadi rebutan. Akan tetapi tidak demikian dengan ibu Sapardi, Sapariah. Sang bundanya itu bahkan berkata pada Sapardi yang merupakan anak sulung, “Biarkan saja ayahmu. Nanti kalau sudah ‘waras’ akan kembali pulang.” Di sini letak kesabaran dan keagungan ibu Sapariah.

Bagi perempuan masa kini, apalagi mereka yang disebut feminis, sikap ibu Sapariah itu akan sangat disayangkan oleh sesama kaumnya. Akan tetapi segi positifnya, Ibu Sapariah telah mendidik Sapardi untuk memahami makna kesabaran dan makna menahan diri. Kesabaran untuk selalu menahan diri itulah yang akhirnya menjadi kekuatan luar biasa yang mengantarkan Sapardi menjadi salah seorang penyair kaliber dunia.

Menanggapi penolakan itu, ia hanya menulis “Bagi saya, cerita tersebut pernah benar-benar terjadi -tidak peduli apakah cerita itu masuk akal atau tidak.” Tampaknya, penolakan cerita karyanya tidak membuat Sapardi bergeming. Tapi, itu menumbuhkan suatu sikap baginya yang kemudian tampaknya menjadi semacam pandangan dunianya. Ini yang kemudian menjadi salah satu motor penggerak penulisan karyanya, terutama puisi.

Tanpa disadari, Pak SIN telah ikut menggembleng Sapardi. Mungkin Pak SIN dengan pandangannya yang demikian tidak sendirian, ia mewakili zamannya. Pak SIN telah menempatkan diri sebagai seorang pendidik yang menerapkan cara berpikir sebagaimana guru-guru sekolah dasar dan SMP yang harus mendidik murid-muridnya berpikir logis. Itu pula kemudian yang mengajarkan kepada Sapardi bahwa kenyataan dalam hidup tidaklah nalar, tidak masuk akal, tidak logis. Hal-hal yang dipandang logis adalah yang muncul dari rumusan logika yang rasional.

“Kemudian saya berpikir, barangkali dunia nyata boleh tidak masuk akal, tetapi dunia rekaan harus masuk akal. Dunia nyata lebih tidak masuk akal dibandingkan dunia rekaan. Segala peristiwa dalam dunia nyata terjadi begitu saja tanpa rancangan pasti sebelumnya, tetapi rangkaian peristiwa dalam dunia rekaan harus diatur sedemikian rupa agar jelas. Sebab, akibatnya agar masuk akal. Dengan demikian, dunia nyata harus diedit agar menjadi dunia rekaan. Hidup ini harus melalui proses pengguntingan, pemolesan, penghapusan, pemilihan dan penyusunan kembali agar bisa diterima sebagai cerita. Meskipun saya belum berpikir sejauh itu, sudah sepantasnya kalau waktu itu saya sama sekali tidak berusaha lagi menulis cerita. Saya merasa lebih tenteram menjalani yang tak masuk akal, setiap hari bermain-main dengan teman sebaya…” (Sihir Rendra, 1999:258)

Dengan mempersoalkan yang masuk akal dan yang tak masuk akal, Sapardi memisahkan antara puisi dan cerita. Jika orang menulis narasi yang tak masuk akal, segera muncul kritik; tetapi dalam puisi, hal-hal yang tidak masuk akal tidaklah mendapat gubrisan. Demikian kesan Sapardi terhadap kritik sastra kita selama ini. Itulah sebabnya, pada awal kariernya, sejak kasus Taman Putra, Sapardi tidak menulis cerita.

Karena ingin tentram di dunianya yang tak masuk akal, maka ia memilih puisi. Dunia atau jagat dan suasana masa kecilnya menjadi bagian penting dalam sajak-sajak yang disukainya. Di sana, dalam jagat dan suasana anak-anak itu, bermunculanlah peristiwa-peristiwa murni yang kebanyakan tidak masuk akal seperti yang pernah ditulis sewaktu kecil.

Pada tahun 2001, Sapardi menyatakan dalam sebuah surat kepada penyair perempuan Indonesia, Dorothea Rosa Herliany, “Bagi saya garis pemisah antara ketiga jenis karangan ini (yang dimaksudkannya adalah puisi, cerita dan esai-BS) tidak pernah pasti selalu bergeser ke sana-sini, itulah hakikat kebebasan kreativitas saya kira…” (“Semacam Pengantar” dalam Sapardi Djoko Darmono, Pengarang Telah Mati, 2001:ix).

Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas sangat penting bagi Sapardi. Walaupun ia berkali-kali menegaskan bahwa dalam penulisan puisi, cerita maupun yang lain senantiasa dibacanya kembali berulang-ulang sebelum dinyatakan “jadi”, ia juga mengakui bahwa dalam proses penciptaan ada sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dikendalikannya sendiri.

Dalam perjalanan hidup dan karier Sapardi, ia menikah dengan seorang perempuan dari Salatiga setelah tamat dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Istrinya adalah teman satu jurusannya di UGM. Selanjutnya, ia pun menjadi dosen di Madiun, Solo dan Semarang. Di sela-sela itu, ia juga sempat belajar di Amerika Serikat. Sesudah itu, pada tahun 1973, ia menetap di Jakarta. Pada tahun itu juga, ia diminta membantu Australian Film, membuat film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan di Solo, masing-masing selama dua bulan.

Ia pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun karena mengajar di Universitas Diponegoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja di majalah Horison, ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia.

Sapardi juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta dan pelaksana harian Pusat Dokumentasi HB Jassin. Pria yang rajin melakukan medical check-up ini bahkan pernah menjadi pengurus RT. Di samping pernah menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan Basis yang terbit di Jogja, ia pernah pula menjadi country editor untuk majalah Tenggara, yakni sebuah jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur.

Tugas lain yang pernah diembannya adalah menjadi koresponden untuk Indonesian Circle, sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Lepas dari Horison, ia membantu Kalam, sebuah jurnal kebudayaan. Bersama Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, dan John McGlynn, Sapardi mendirikan Yayasan Lontar yang lebih banyak menerbitkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Ia pun memprakarsai berdirinya Yayasan Puisi dan menerbitkan Jurnal Puisi.

Sapardi menyadari bahwa sajak dan ceritanya tidak bisa menopang hidupnya secara ekonomi. Namun, dengan karya kreatifnya, Sapardi bisa melanglang buana. Di samping itu, beberapa puisinya sering dinyanyikan pada pesta pernikahan, muncul di kartupos, kalender, poster, T-shirt, bloknot, topi pet dan kue. Ini yang membuatnya bahagia. Karya-karyanya dikenal tidak hanya di dalam negeri, tapi sudah mendunia. Salah satu buktinya, Perdana Menteri India, Narashima Rao pernah mengutip sajaknya yang berjudul “Pilgrimage” (terjemahan puisi “Ziarah”) dalam suatu pidato pada KTT Non-Blok. Hal itu jelas menjadi hal yang membahagiakan bagi Sapardi.

Sapardi tak hanya sastrawan, ia juga seorang pemikir dan kritikus sastra. Bukunya tentang sastra antara lain adalah: “Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas” (1978); Novel Indonesia Sebelum Perang (1979); Sastra Indonesia Modern, Beberapa Catatan (1983); Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990); Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999); dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999). Buku-buku ini banyak dikutip mahasiswa untuk mendukung pendapat dalam skripsi, tesis dan disertasi mereka.

Sapardi juga dikenal luas sebagai seorang penerjemah sastra yang piawai. Walaupun mungkin pada mulanya itu sekadar sebagai kegemaran, kemudian berkembang menjadi semacam profesi. Tapi mengenai hal yang satu ini, ia mengatakan imbalan pener-jemahan di Indonesia terlalu kecil.

Hasil terjemahannya antara lain adalah: “Puisi Klasik Cina”, “Puisi Parsi Klasik”, “Puisi Brazilia Modern”, “Serpihan Sajak George Seferis”, Mendorong Jack Kunti-kunti”, “Sepilihan Sajak Australia”, “Afrika yang Resah”, “Lelaki Tua dan Laut” (karya Hemingway),” Daisy Manis” (karya Henry James), kumpulan cerita pendek karya Albert Wendt dari Samoa, “Tiga Sandiwara Ibsen”, “Duka Cita Bagi Electra” (lakon karya Eugene O’Neill), “Shakuntala”, dan Amarah (The Grapes of Wrath karya John Steinbeck).

Beberapa karya terjemahannya ada yang belum sempat dibukukan. Tetapi sudah diterbitkan di majalah atau sudah dimainkan di beberapa tempat antara lain: “Pembunuhan di Katedral” (karya T.S Eliot); “Singa dan Permata” (karya Wole Soyinka); “Brown sang Dewa Agung” (sebuah lakon karya O’Neil); “Asap Musim Panas” (karya Tenesee Williams); dan “Di Bawah Langit Afrika” (kumpulan cerpen).

Satu hal lagi yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebut.

Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984. Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan – yang ditulisnya ketika ia sedang sakit – memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.

Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak.

Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. [ ]

*dari buku Bakdi Soemanto,”Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya”

Daftar Kumpulan Puisi/Prosa

“Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)

“Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)

“Mata Pisau” (1974)

“Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George Seferis)

“Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan)

“Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan)

“Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)

“Perahu Kertas” (1983)

“Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)

“Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn)

“Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988; translated by J.H. McGlynn)

“Afrika yang Resah (1988; terjemahan)

“Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)

“Hujan Bulan Juni” (1994)

“Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)

“Arloji” (1998)

“Ayat-ayat Api” (2000)

“Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen)

“Mata Jendela” (2002)

“Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)

“Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)

“Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an – 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)

“Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

“Kolam” (2009; kumpulan puisi)

Buku

“Sastra Lisan Indonesia” (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.

“Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”

“Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.

Pustaka Firdaus

“Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), salah seorang penulis.

“Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978).

“Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999).

“Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005).

“Babad Tanah Jawi” (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

Back to top button