Prof. Bambang Hero, Sang Pembela Hutan yang Kerap Diancam dan Diintimidasi
Kiprahnya dalam membela hutan dari pembalakan liar, perambahan, dan kebakaran hutan kerap menempatkannya dalam intimidasi dan ancaman kematian.
Jernih — Pakar forenik kebakaran hutan Indonesia, Profesor Bambang Hero Saharjo, seringkali bertindak sebagai saksi ahli dalam pengadilan kasus kejahatan lingkungan.
Tahun 2019, pria berusia 55 tahun tersebut mendapat penghargaan Sense About Science John Maddox atas jasa untuk menghentikan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembukaan dan pembersihan lahan illegal di Indonesia.
Namun, kiprahnya tersebut tak lepas dari intimidasi dan ancaman kematian, terutama yangterkait dengan kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, dan pembalakan liar.
Misalnya, tahun 2018 lalu ia digugat PT JJP yang merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit senilai 510 milyar rupiah (US $ 35 juta) dan memintanya agar mencabut semua kesaksian saat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memintanya menjadi saksi ahli. Karena perusahaan tersebut terbukti melakukan pembakaran hutan di Rokan Hilir, Riau.
Namun akhirnya pada sidang kedua, korporasi itu mencabut gugatan tersebut. Menurut Prof. Bambang, seperti yang dikutip dari CNA, ada banyak kasus serupa di Indonesia. Dan diperburuk oleh cuaca kering.
Kebakaran massif terjadi hampir setiap tahun menyebabkan kematian dan kerugian ekonomi, sekaligus menghambat upaya memerangi perubahan iklim.
Penegakan hukum yang tegas merupakan elemen kunci untuk menghentikan kebakaran. Karena untuk membuktikan siapa pelaku kebakaran hutan tidak mudah, peran seorang saksi ahli sangat penting ketika seorang terdakwa diadili.
Sebagai dosen perlindungan hutan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang berpegang teguh pada keyakinannya bahwa profesinya menuntut dirinya untuk mengajar dan melakukan penelitian serta melayani masyarakat.
Hal itulah yang menjadi alasan mengapa ia bersedia menjadi saksi ahli hamper di 600 pengadilan, dengan menggunakan bukti-bukti ilmiah. Namun pekerjaan tersebut selalu penuh resiko.
Terkadang, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal dan beberapa orang asing mencarinya ke universitas. Bahkan pernah keluarganya harus mengungsi karena keselamatannya terancam.
Terlepas dari kendala tersebut, Prof Bambang terus melanjutkan pekerjaannya dan mengunjungi wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi untuk menjadi saksi ahli dalam 20 tahun terakhir.
“Ilmu saya terapkan untuk kepentingan umum. Saya turun ke lapangan, melakukan pelatihan, dan bersaksi sebagai saksi ahli dalam kasus terkait kerusakan lingkungan,” kata Prof. Bambang.
Menggunakan Data Ilmiah Untuk Melacak Culprits
Setiap hari, Prof Bambang mengamati gambar dari dasbor khusus di Pusat Sumber Daya Menejemen Kabakaran Regional-Asia tenggara yang berada di salah satu ruang kampus IPB. Gambar itu bekerja dengan menggunakan tiga satelit berbeda dari Badan Antariksa dan Penerbangan Nasional (National Aeronautics and Space Administration/NASA) dan Badan Antariksa Eropa.
Tekhnologi tersebut dapat mendeteksi titik api serta sumber api, arah angin, dan kabut di Asia Tenggara. Tekhnologi ini juga dapat melacak data pada peristiwa yang telah terjadi.
Prof. Bambang mengirimkan data itu secara berkala kepada instansi yang bertanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan, serta Badan Bencana.
Ia memberi sebuah contoh kasus kebakaran besar yang baru-baru ini terjadi di Kalimantan Barat. Pihaknya menyampaikan informasi kondisi api yang telah mendekati suatu tempat kepada aparat setempat dan menghimbau agar segera bertindak karena api berada di lahan gambut.
Prof. Bambang turun ke lapangan untuk menyelidiki kasus dengan mengebor lahan gambut jika ada permintaan dari polisi, pemerintah, dan universitas.
Ia menjelaskan bahwa setiap langkah yang ia ambil tidak jauh berbeda dengan penelitian biasa. Mulai dari penentuan lokasi, kasus, sampel, metode, dan analisa, sehingga menjadi satu rantai yang sulit untuk diperdebatkan.
Atas karyanya, ia juga menerima penghargaan dari Universitas Freiburg Jerman yaitu penghargaan Kebakaran Lanskap Global pada September lalu.
Mengantisipasi Puncak Musim Kering
Mengingat Indonesia akan memasuki puncak musim kemarau yang biasanya meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, Prof. Bambang menjadi ekstra waspada.
“Pemerintah sudah sepakat untuk mengendalikan kebakaran secepatnya. Dan kerjasama dengan semua pemerintah daerah telah dilakukan dengan operasi seperti modifikasi cuaca dan video call meeting,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa tidak semua usaha itu berjalan dengan baik. Dan Direktorat Jendral Penegak Hukum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang mengejar kasus-kasus yang melibatkan investor dalam negeri dan dari negara tetangga
Saat menangani kasus di pengadilan, banyak tersangka yang membela diri dan mencari alasan. Contohnya, beberapa orang berpendapat bahwa lahan yang terbakar tidak rusak karena masih ada rumput yang tumbuh di atasnya.
Prof. Bambang mengeluhkan bahwa para pelaku itu tidak menyadari bahwa lahan gambut yang terbakar membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pulih. Selain itu, emisi gas rumah kaca dilepaskan dilepaskan selama kebakaran terjadi.
Tahun 2015, Indonesia harus menghadapi kebakaran terbesar dalam hampir 20 tahun yang menghanguskan sekitar 2,6 juta hektar lahan. Prof Bambang dan timnya bekerja sama dengan salah satu Universitas dari Amerika yang didanai oleh NASA untuk meneliti kebakaran lahan gambut.
Ketika mengambil sampel lahan gambut yang terbakar di Provinsi Kalimantan Tengah, mereka menggunakan detektor khusus yang diimpor dari Amerika. Detektor tersebut hanya ada satu, bahkan telah digunakan di Mars.
“Untuk pertama kalinya di dunia, sampel yang kami ambil menunjukan ada 90 jenis gas dalam asap. Ini diterbitkan dalam jurnal internasional pada tahun 2016. Sayangnya, lebih dari 50 jenis gas disana beracun.
Ia menjelaskan bahwa semakin lama api dibiarkan menyala, durasi orang terpapar bahan kimia beracun semakin lama dan ini mengancam kesehatan masyarakat. Maka dari itu semua harus peduli pada kebakaran hutan.
Menemukan, Memanggil, dan Menjadi Bagian Dari Solusi
Dedikasi Prof. Bambang dalam menjaga hutan dimulai lebih dari 35 tahun yang lalu saat masih duduk di bangku SMA. Antara tahun 1982-1983, terjadi kebakaran besar di sisi timur Kalimantan dan menghanguskan 3,6 juta hektar hutan.
Hal tersebut memicu rasa ingin tahunyya dan ia ingin tahu sebab dan solusinya. Dia kemudian mendaftar di IPB jurusan perlindungan hutan sebagai mahasiswa, lalu melanjutkan pendidikan master dan doktor di Jepang.
Sekembalinya dari studi di Jepang pada tahun 2000, seorang direktur dari Kementrian Lingkungan Hidup bertanya kepadanya, apakah ia tertarik untuk membantu mereka dalam kasusu kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Kalimantan Barat.
Dia setuju dan memenangkan kasus tersebut. Itu menandai perjalanan perjuangnya untuk menyelamatkan lingkungan.
Meski kebakaran hutan dan lahan telah terjadi selama beberapa dekade-termasuk di Provinsi Jambi tempat Prof. Bambang dibesarkan- dia telah melihat adanya pergeseran motif untuk memulai kebakaran dalam beberapa tahun terakhir.
Ia memberi salah satu gambaran fenomena yang tengah terjadi. Banyak motif pembakaran yang muncul untuk mengklaim asuransi yang nilainya mencapai belasan miliar rupiah.
Selain itu ada pula kasus membuka bidang tanah untuk dijual dengan harga yang tinggi. Umumnya mereka beroprasi dengan banyak mafia yang terlibat.
Ada sebuah peristiwa yang memotivasi dirinya untuk selalu melaksanakan pekerjaan ini meski banyak tantangan. Tahun 2015 saat terjadi kebakaran hutan, ia melihat seorang pria di Riau sedang memeluk putranya yang tewas akibat kebakaran tersebut, yang ia lihat dalam tayangan pemberitaan TV.
“Menurut saya, jika kita tidak menjadi bagian dari solusi, maka kejahatan lingkungan akan terus ada,” tandasnya. [ ]