Profil Bendungan Bener Yang Tak Sesuai Sila Kedua Pancasila
Jaya bilang, hanya mereka yang pernah digusur mampu merasakan penderitaan dalam penggusuran. Sementara yang tak pernah mengalami, akan gagal paham kenapa ada rakyat menolak digusur meski atas nama pembangunan demi kepentingan umum.
JERNIH-Proyek pembangunan Bendungan Bener yang terletak di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN) yang digagas Preisden Jokowi. Melansir kpip.go.id, penanggung jawab proyek tersebut adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan anggaran sebesar Rp 2,06 triliun.
Rencana konstruksi bendungan ini, sudah dimulai tahun 2018 lalu dan direncanakan beroperasi pada 2023 mendatang. Seluruh biaya pembangunan, diambil dari APBN dan APBD setempat, dan nantinya memiliki daya tampung air sebesar 100,94 meter kubik dan mampu mengairi lahan pertanian seluas 15.069 hektar.
Selain itu, Bendungan Bener juga disebut mampu menyediakan pasoka air sebanyak 1,60 meter kubik perdetik dan menghasilkan listrik sebanyak 6 mega watt. Selanjutnya, debit banjir mampu diurangi hingga 210 meter kubik perdetik.
Proyek ini, dikerjakan salah satu perusahaan BUMN yakni Pt Brantas Abipraya dan akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia yang mencapai 159 meter, dengan panjang timbunan 543 meter dan lebar bawah 290 meter.
Melalui Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018, Presiden Jokowi menetapkan proyek tersebut sebagai PSN.
Direktur Operasi 1 PT Brantas Abipraya, Catur Prabowo mengatakan, nantinya bendungan ini akan menambah deretan tempat wisata dan mampu mengembangkan sektor perikanan, sehingga manfaatnya bisa dirasakan masyarakat setempat.
“Brantas Abipraya berkomitmen akan rampungkan proyek ini dengan tepat waktu, tepat mutu dan kualitas, kami optimistis Bendungan Bener dapat selesai tepat waktu sesuai target di akhir tahun 2023,” kata Catur.
Jika keluhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta tak dilebih-lebihkan, Jaya Suprana, pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan, dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa bisa disimpulkan bahwa yang terjadi di Desa Wadas, merupakan satu di antara sekian banyak konflik agraria di Indonesia.
Pada hakikatnya, dia bilang kalau pengukuran tanah dengan pengawalan aparat Kepolisian, sebagai bagian dari penggusuran secara paksa dan tak sesuai dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang sudah disepakati para negara anggota PBB, termasuk Indonesia.
Jaya bilang, hanya mereka yang pernah digusur mampu merasakan penderitaan dalam penggusuran. Sementara yang tak pernah mengalami, akan gagal paham kenapa ada rakyat menolak digusur meski atas nama pembangunan demi kepentingan umum.
Tentunya, penggusuran secara paksa terhadap tanah yang sudah menjadi pemukiman rakyat tak selaras dengan sila kedua Pancasila yakni, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Apalagi, mengingat pemerintah dipilih rakyat dan sudah sewajibnya bukan malah menggusur, namun menghormati dan melindungi hak azasi rakyat atas pemukiman mereka.[]