POTPOURRI

Redenominasi Rupiah: Upaya Efisiensi Moneter di Tengah Stabilitas Ekonomi

Redenominasi (penyederhanaan nominal) Rupiah kembali menghangat, menjadi bagian dari agenda strategis pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Redenominasi ini bukan sekadar pergantian mata uang, melainkan sebuah kebijakan moneter ambisius.

JERNIH – Wacana mengenai redenominasi Rupiah kembali mengemuka dan kini telah masuk dalam rencana strategis pemerintah. Kebijakan ini, yang digagas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Bank Indonesia (BI), bertujuan utama untuk menyederhanakan nilai nominal mata uang tanpa sedikit pun mengubah nilai tukar riil atau daya beli masyarakat.

Rencana redenominasi ini ditargetkan rampung dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2027, menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memodernisasi sistem moneter nasional.

Redenominasi adalah proses penyederhanaan jumlah digit, atau penghapusan angka nol, pada nominal mata uang. Kebijakan ini adalah langkah teknis untuk efisiensi, bukan kebijakan pemotongan nilai uang yang merugikan

 Redenominasi berbeda total dengan Sanering. Sanering adalah pemotongan nilai uang secara drastis (biasanya dilakukan saat krisis atau hiperinflasi) yang secara langsung mengurangi daya beli masyarakat.

Redenominasi dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil, di mana nilai riil uang tetap sama. Harga barang dan jasa juga akan disederhanakan secara proporsional.

Contoh sederhana redenominasi: Jika saat ini Anda berbelanja dengan uang kertas Rp100.000, setelah redenominasi, nominalnya akan menjadi Rp100. Uang tunai Rp1.000 akan menjadi Rp1. Uang tunai Rp10.000 akan menjadi Rp10. Jika harga sebuah barang saat ini adalah Rp5.000, maka setelah redenominasi harganya akan menjadi Rp5.

Daya beli Anda terhadap barang tersebut tidak berubah; hanya penyebutan dan penulisannya yang menjadi lebih ringkas.

Ada beberapa alasan pemerintah mendorong redenominasi. Antara lain;

Meningkatkan Efisiensi Transaksi: Nominal yang terlalu banyak angka nol (seperti jutaan, miliar) seringkali menyulitkan dan memperlambat proses pencatatan akuntansi dan transaksi keuangan skala besar. Penyederhanaan nominal akan meminimalisir kesalahan input dan mempercepat proses bisnis.

Memperkuat Citra Mata Uang: Secara psikologis, nominal Rupiah yang terlalu besar (misalnya Rp15.000 per Dolar AS) dapat memberikan kesan mata uang yang lemah di mata internasional. Redenominasi diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas dan citra Rupiah sebagai mata uang yang lebih efisien.

Dukungan Digitalisasi: Nominal yang ringkas sangat penting untuk mendukung integrasi dan kecepatan sistem pembayaran digital dan teknologi keuangan modern.

Kebijakan redenominasi membawa dampak positif, tetapi juga mengandung risiko besar yang harus dikelola dengan hati-hati. Potensi keuntungannya antara lain memudahkan perhitungan dan pencatatan sehari-hari bagi masyarakat dan pelaku usaha. Meningkatkan efisiensi infrastruktur sistem IT perbankan dan keuangan. Meningkatkan kepercayaan investor global terhadap mata uang Indonesia.

Sedangkan potensi kerugiannya, misalnya; terjadi risiko Inflasi. Kekhawatiran terbesar adalah para pedagang akan melakukan pembulatan harga ke atas selama masa transisi. Misalnya, harga Rp4.900 dibulatkan menjadi Rp5 (baru), bukan Rp4,9, yang bisa memicu inflasi jika terjadi secara meluas.

Pelaksanaan redenominasi memerlukan biaya sangat besar untuk mencetak uang baru, dan memprogram ulang seluruh mesin ATM, kasir, dan software akuntansi di seluruh negeri.

Karena merupakan kebijakan ambisius, maka diperlukan sosialisasi yang sangat masif dan jangka panjang agar tidak menimbulkan kepanikan atau kebingungan di masyarakat, terutama di daerah terpencil.

Keberhasilan redenominasi sepenuhnya bergantung pada stabilitas ekonomi makro dan ketepatan waktu serta strategi sosialisasi pemerintah dan Bank Indonesia.(*)

BACA JUGA: Berikut Ini Uang Rupiah yang Sudah Tidak berlaku

Back to top button