POTPOURRI

Rock N Roll Mom: episode 4

Pengantar:

Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.

Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.

Bab II

Nod Off

SAPARUA. Inilah lapangan kecil yang legendanya menembus batas-batas provinsi itu. Lapangan yang menjadi saksi tumbuhnya band-band lokal hingga bermetamorfosis menjadi jawara tingkat nasional, bahkan ikon di kawasan serumpun. Venue tempat para pemusik menampilkan aksi terbaik yang mereka bisa. Saparua, tempat yang sejatinya dikenal karena keterbatasan. Terbatasnya kepedulian pemerintah daerah terhadap kreativitas anak-anak mudanya sendiri.

Di Saparua kita bisa menemukan aneka rupa pemandangan, tergantung kapan kita datang ke sana. Suatu waktu kita akan menemukan sosok-sosok lelaki kurus, berambut panjang sepinggang, dengan kaos tangan panjang hitam bertuliskan nama band di sepanjang lengan. Hitam juga menjadi warna wajib celana, meski tak ada aturan itu jeans atau celana jenis kargo. Tentu saja asal jangan pantalon yang tersetrika rapi.

Di kali lain, kita akan menemukan remaja-remaja dengan koleksi lubang tindikan di sebanyak bagian tubuh yang bisa mereka sakiti. Telinga, cuping hidung, bibir, sudut pelipis, kening, bahkan tak jarang, lidah. 

Aku pernah mendengar dari seorang Slanker bahwa pada ‘maqam ‘ tertentu ada pula yang rela menindik bagian paling rahasia mereka. Tak peduli itu laki-laki ataupun perempuan.

Entahlah, aku sendiri hanya menganggapnya obrolan pembunuh waktu, saat itu. Tidak memberikan perhatian lebih.

Jenis ini biasanya ditandai dengan rambut gaya suku Indian Mohawk. Tegak lurus menunjuk langit.  Tapi tak jarang pula yang terlihat hanya pemandangan biasa-biasa saja. Sekelompok orang biasa yang bergoyang menggeolkan pinggul tatkala bunyi tepukan gendang bertalu merangsang, meningkahi tiupan suling. Itu waktu pentas dangdut digelar. Tetapi seiring waktu, kelompok ini kian lama kian jarang manggung di lapangan tersebut.

Pendeknya, di Saparua segala jenis musik dengan segala nama band mengekalkan kisah betapa tempat itu telah menjadi saksi jatuh bangunnya sekian banyak grup. Dan tentu saja maju atau terpuruknya personel band-band tersebut.

Dan kini, dengan hati berdebar kencang aku berada di sana.

Dari belakang panggung aku mendengar riuh-rendah penonton memberikan sambutan buat Gigi. Aku tahu, itu bukan hanya karena Gigi adalah grup band yang lahir dan besar di Bandung. Penampilan Gigi, terutama vokalisnya, Arman Maulana, malam itu memang memukau. Lima lagu telah mereka lantunkan, dan disambut penonton dengan antusias. Beberapa kali Arman mengekplorasi penonton dengan mengajak mereka bernyanyi bersama.

Ah, sekarang mereka mulai memainkan Janji sebagai lagu keenam, lagu terakhir yang dinyanyikan  Gigi sebagaimana urutan jadwal yang dibuat panitia. Artinya, setelah ini Slank pun akan segera diminta tampil di pentas.

“O o o o……,” teriak Arman, menyanyikan intro lagu tersebut. Serentak terdengar gemuruh suara penonton menimpali teriakan Arman.

Ah, sementara itu keringat dingin mulai jatuh satu-satu di leherku. Kok bisa-bisanya aku terkena demam panggung, sementara yang akan tampil ke pentas bukan diriku?

Tetapi jujur saja, aku merasa amat sangat khawatir. Ditunggu sejak sehari sebelumnya, Bimbim dan Kaka datang hanya sekitar satu jam sebelum mereka naik pentas. Satu jam sebelum giliran mereka tiba, bukan sebelum acara ini dimulai. Padahal, sejak sehari mereka memisahkan diri dari rombongan, tak pernah alpa kuhubungi keduanya lewat telepon.

Kemarin malam, begitu aku sampai di Bandung, nomor Bimbim segera kuhubungi.  “Udah di Jakarta, Ma,” kata dia, menjawab pertanyaan pendekku,”Dimana?”

“Ya pasti. Tetapi bukan di rumah, kan? Mama tadi telepon ke rumah, orang rumah bahkan balik tanya, bukannya sama-sama? Emang Bimbim pulang ke rumah siapa? Lagian bukannya cepat ke sini, ke Bandung.”

“Di rumah temennya Kaka, Ma.  Capek,  sekalian istirahat aja. Di rumah juga kan kosong.”

“Alah, rumahnya BD, kan?”

Tidak biasanya aku menuduh. Apalagi menudingnya telak-telak berada di rumah bandar narkoba.

“Suer Ma, baru dikenalin Kaka. Teman baiknya waktu SMA. Bukan BD. Dia nggak ada potongan.”

Ah, mengapa beberapa waktu terakhir ini betapa susahnya aku memercayai anakku sendiri? Tetapi memang kian hari aku pun semakin tidak mengenali anakku itu. Sejak kecil Bimbim memang cenderung tertutup, tak banyak bicara. Tetapi soal kejujuran, tak gampang menandingi anak itu. Sifat jujur dan apa adanya pula yang membuat Bimbim hingga dewasa pun terkesan tak acuh.

Dari obrolan singkat dengan  para Slankers, mereka yang datang ke rumah kami di Gang Potlot ataupun sekadar bertelepon, aku tahu rata-rata penilaian mereka terhadap Bimbim.

“Bimbim itu sedap. Cuek abis. Ngomongnya enak, enteng. Blas blas…”

“Mas Bimbim itu kalau ngomong, ya memang itu yang ada di hati dan kepalanya.”

Tetapi sejak akhir 1993 semua itu, kecuali sikap tak acuhnya, perlahan menguap. Dan bukan hanya itu, sifat pemarah yang sama sekali tidak alami sifatnya dari kanak-kanak, tiba-tiba datang. Suatu hari aku pernah melihatnya memarahi pembantu gara-gara persoalan yang kuanggap sepele. [bersambung]

Back to top button