Romantika Naik Kereta Kuda
Pada Hari Minggu ku turut Ayah ke kota, naik delman istimewa ku duduk dimuka, ku duduk samping pa kusir yang sedang bekerja, mengendarai kuda supaya baik jalannya. Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk suara sepatu kuda.
Lagu Naik Delman diatas sangat familier sampai saat ini. Itulah salah satu lagu kebangsaan anak-anak disamping Satu-satu dan Cicak-cicak di Dinding. Mudah dihapal dan membuat suasana ceria kembali. Dengan kekuatan imajinasinya anak-anak dengan mudah dapat membayangkan naik delman dan duduk di samping pa kusir. Delman dan alat transportasi konvensional lainnya memiliki riwayat menarik untuk dikenang.
Dalam perjalanan sejarahnya yang lebih dari satu setengah abad, kereta kuda beroda dua masih tetap bertahan di beberapa kota Pulau Jawa dan Sumatra. Dengan datangnya kendaraan bermotor yang lebih modern lambat laun membuat kereta kuda terpinggirkan. Sekarang kereta kuda sudah jarang terlihat. Tetapi dibeberapa kota-kota kecil kita masih bisa melihatnya. Meski dengan nama, model, dan modifikasi yang agak berbeda.
Tio Ie Soei dalam biografi ‘Lie Kimhok 1853-1912 menuturkan kereta kuda atau kerbau sebagai alat tranportasi darat sangatlah membantu, baik sebagai alat angkut hasil tanaman ataupun sebagai alat angkut manusia. Sejak awal abad ke 19, penduduk pribumi di wilayah Priangan mulai menggunakan gerobak pedati yang dihela kerbau sebagai alat transportasi.
Demikian pula J.A.J Vermaat Jr dalam Het Vervoer op Java voor den Aanleg van Spoorwegen menuliskan, selain berjalan kaki atau ditandu manusia dan menaiki rakit di sungai, binatang tunggangan seperti kuda dan kerbau telah lama digunakan orang sebagai sarana angkutan di Priangan.
Menurut F. de Haan dalam Priangan (1910), roda pedati kala itu terbuat dari lempengan kayu tebal, masih tanpa jari-jari roda. Untuk penguat roda lingkarannya dilapisi plat besi. Sedangkan di wilayah Jawa Timur yang banyak terdapat pabrik gula.
Pada masa yang sama, gerobak pedati telah menggunakan roda berjari-jari kayu dihela kuda. Jari-jari kayu dan velg besi (pelek) atau rim sudah digagas pada milenium 1 SM. Pelek besi digunakan di sekitar roda kereta kayu untuk meningkatkan kekuatan roda pada permukaan jalan yang kasar
Adapun orang yang mencipta kendaraan delman adalah Ir. C.T. Deeleman, seorang ahli bangunan irigasi yang kemudian menjadi pemborong bangunan. Deeleman datang ke Indonesia pada tahun 1845. Sebagai pemborong bangunan, ia memiliki bengkel konstruksi besi (Ijzerconstructie werkplaats). Di bengkel besinya, yang terletak di pinggiran Kota Batavia, Ir. Deeleman membuat kereta kuda. Oleh masyarakat kereta kuda itu kemudian disebut delman.
Lain halnya dengan kereta kuda ‘Dos a Dos’ yang diambil dari Bahasa Prancis. HJ de Graaf dalam Wagenweelde in Oud-Batavia (1979) menjelaskan tentang Dos a Dos, yaitu : dus een rijtuig, waarin koetsier en passagier gezellig rug aan rug zaten. Yang artinya : kereta tempat duduk si kusir dan penumpang dengan nyaman dengan saling memunggungi alias diuk patonggong tonggong. Dari nama Dos a Dos ini kemudian menjadi sados atau sado dan sebagian menyebutnya bendi.
Transportasi kuda lainnya yang dikenal adalah dokar. Ternyata nama dokar diambil dari nama sejenis kereta di Eropa yang disebut Dog Car (kereta anjing). Pada tahun 1862 di Jakarta (Batavia) kemudian muncul kereta kuda beroda empat, namanya Eerste Bataviasche Rijtuig-Onderneming alias EBRO.
Namun EBRO bukan kereta roda empat yang pertama . Karena tahun 1549 telah ada kereta kencana Singa Barong yang dibuat oleh Panembahan Losari sebagai kendaraan resmi raja dan sultan Cirebon. Tak lama kemudian Keraton Kanoman merilis Kereta kencana Paksi Naga Liman tahun 1608.
Kereta yang sedikit lebih besardari EBRO disebut kereta pelangki, asal katanya dari Palankijn yang artinya tandu tertutup dengan daun pintu setinggi 70 cm. Kereta ini ditarik 2 ekor kuda dan mampu memuat 6 orang penumpang . Pelek nya terbuat dari besi sehingga menimbulkan suara berisik.
Di Batavia juga pernah ada trem yang ditarik kuda, disebut tramway. Peresmian tramway terjadi pada 10 Agustus 1869 melayani trayek dari Amsterdam Poort (kini Kota Inten) – Binnen Nieuwpoort Straat (Jl Pintu Besar Utara), trem terus menyusuri Molenvliet (Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk) dan berakhir di Harmonie.
Munculnya tramway melahirkan istilah jaman kuda gigit besi. Hal itu karena rute perjalanan yang berat mengakibatkan banyak kuda yang mati, terutama jurusan Harmoni menuju Tanah Abang yang menanjak. Untuk mengendalikan kuda maka di mulutnya dipasang besi melintang yang ujungnya di tambatkan ke tali kekang. Sepanjang tahun 1872, dikabarkan 545 ekor kuda mati akibat kelelahan. Untuk mengatur kuda
Selain delman, sado dan EBRO, terdapat kereta-kereta kuda lainnya seperti cidomo yang menjadi kendaraan khas pulau lombok, dan pedati atau orang belanda menyebutnya ossenkar (gerobak sapi) yang umum digunakan di pulau jawa sebagai alat angkut hasil bumi.