(Semoga Bukan) Ramadhan Penghabisan
“Apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad,” ujar Rasulullah yang membuat para sahabat bertanya musibah apa yang akan menimpa mereka? Nabi s.a.w. (peace be upon him) menjawab, “Perginya bulan Ramadhan karena di bulan itu semua doa diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan semua siksa ditolak/dihentikan.” (Diriwayatkan dari Jabir r.a.)
Oleh : Akmal Nasery Basral
JERNIH—Bagaimana seorang Muslim menyikapi perpisahan dengan bulan suci? Imam Ibnu Rajab Al Hanbali (1335-1395) mengatakan, “Bagaimana bisa seorang Mukmin tidak meneteskan air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, sedangkan dia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi.”
Menangis. Bersedih. Gundah gulana. Sebab bisa jadi ini Ramadhan terakhir dalam hidup kita, sebagaimana Ramadhan tahun lalu adalah bulan suci terakhir bagi sejumlah kawan, kerabat, anggota keluarga yang masih sempat berlebaran tapi hari ini mereka sudah tak ada di tengah-tengah kita. Boleh jadi Ramadhan tahun depan giliran kita yang sudah tak ada di tengah-tengah keluarga, kerabat dan kolega yang bersuka cita merayakan hari raya.
Audit Ramadhan juga perlu dilakukan semua jiwa yang mendaku dirinya Muslim. “Apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad,” ujar Rasulullah yang membuat para sahabat bertanya musibah apa yang akan menimpa mereka? Nabi s.a.w. (peace be upon him) menjawab, “Perginya bulan Ramadhan karena di bulan itu semua doa diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan semua siksa ditolak/dihentikan.” (Diriwayatkan dari Jabir r.a.)
Mari kita lihat elemen-elemen yang disebutkan Nabi s.a.w. Pertama, semua doa diijabah. Artinya semua pinta dikabulkan. Apa saja doa dan pinta yang kita panjatkan sepanjang Ramadhan? Apakah semua hanya untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga saja? Pernahkah kita sungguh-sungguh berdoa untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara? Sebuah doa yang dikhususkan untuk kebaikan para pemimpin?
Apakah pada saat malam-malam Ramadhan penuh sujud dengan derai tangis tak kunjung henti membasahi sajadah, rangkaian pinta disampaikan kepada Allah Penguasa Semesta Raya agar para penguasa selalu dibimbingNya dalam mengambil setiap keputusan, seserius saat kita berdoa untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga. Pernahkah?
Imam Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab (dikabulkan Allah), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.” Yang dimaksudkan guru Imam Syafi’i ini adalah berdoa untuk diri sendiri maka hanya satu individu yang selamat. Berdoa untuk keluarga maka hanya satu keluarga yang terhindar dari sesat. Tetapi jika berdoa untuk kebaikan pemimpin maka satu bangsa akan mengalami peningkatan martabat.
Ulama kontemporer Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan (lahir 1933/1354 H) menulis, “Orang-orang yang tidak mendoakan kebaikan bagi pemimpinnya, maka ini adalah tanda bahwa mereka telah menyimpang dari akidah ahlus sunnah wal jamaah … Maka doakanlah bagi mereka agar mendapatkan kebaikan. Allah Ta’ala maha kuasa untuk memberikan hidayah kepada mereka dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Maka apakah engkau berputus asa dari turunnya hidayah untuk mereka? Ini adalah berputus asa dari rahmat Allah. ( At Ta’liqat Al Mukhtasharah, hal. 172-173).
Kedua, semua sedekah diterima. Mari audit lagi semua pengeluaran di bulan suci. Berapa rasio pengeluaran untuk sedekah dibandingkan pengeluaran untuk konsumtivisme beli baju baru, sepatu baru, kendaraan baru, rumah baru, investasi saham baru, atau untuk staycation dan liburan? Berapa banyak orang yang sudah kita bantu? Terutama yang menghubungi kita secara langsung mengharap pertolongan? Sudahkah kita menjadi rahmatan lil mukminin, rahmat bagi sesama orang beriman? (QS 10:57). Kalau belum, bagaimana bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta) yang lebih luas lagi cakupannya?
Audit di atas tak berlaku bagi para fakir, orang-orang miskin, gharimin (orang-orang yang masih punya utang dalam jumlah signifikan) dan kategori lain dari delapan kelompok yang berhak menerima zakat. Pertanyaan di atas hanya bisa dijawab oleh mereka yang sudah berada di fase kemandirian finansial (financial freedom) dan para aghniya (orang-orang kaya). Ini sungguh-sungguh pertanyaan fundamental bagi mereka yang mendaku pengikut Nabi Muhammad s.a.w. karena sifat kedermawanan Nabi yang menjadi-jadi di bulan Ramadhan sehingga “lebih cepat dari angin berembus” (Hadits diriwayatkan Ibnu Abbas r.a.).
Semua muslim hapal di luar kepala kisah kedermawanan para sahabat Nabi yang tak pernah hitung-hitungan dalam bederma melalui sedekah, infaq, dan wakaf. Namun tak semua Muslim—yang mapan dan berkecukupan—mengikuti teladan sahabat dan yang Nabi lakukan dalam hal kedermawanan. Padahal sesungguhnya jika ada seseorang yang menghubungi Anda untuk meminta bantuan, sejatinya orang itu adalah jalan pintas yang dikirimkan Allah bagi Anda untuk mendulang keberkahan, pelipatgandaan pahala kebajikan dan peningkatan derajat kemuliaan. Bayangkan betapa ruginya seseorang yang menampik akses spesial melalui sedekah itu hanya karena melampiaskan ego konsumtivisme dan hedonisme pribadi dan keluarga.
Ketiga, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Ini adalah kebaikan selain sedekah dan berdoa (mendoakan orang lain) yang sudah disebutkan sebelumnya. Kebaikan-kebaikan yang begitu luas jenis dan bentuknya. Di lingkungan tempat tinggal, di jalan raya dan ruang-ruang publik, di kantor dan tempat pekerjaan lainnya (pasar, pelabuhan, rumah sakit dan klinik kesehatan, dan sebagainya), di semua tempat tanpa pengecualian. Bukan hanya melakukan kebaikan kepada sesama Muslim, juga mengulurkan tangan memberikan bantuan kepada nonmuslim. Kepada semua orang tanpa membeda-bedakan latar belakang etnis, pendidikan, dan status sosial ekonomi. Bahkan kebaikan bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi makhluk Allah lainnya seperti tumbuhan dan binatang.
Dalam sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan Abu Hurairah, ada seorang lelaki (dalam riwayat lain disebutkan sebuah perempuan pelacur) yang sedang kehausan di bawah terik matahari dan mencari sumber air. Dalam pencarian itu dia bertemu seekor anjing yang sedang kehausan. Maka tanpa ragu dijadikannya terompah yang dia pakai sebagai cawan air untuk diberikan kepada anjing yang dahaga. Akibat perbuatannya itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Mendengar kisah itu para sahabat yang penasaran bertanya kepada Nabi, “Apakah kami akan diberi pahala dengan berbuat baik kepada binatang?”
“Ya,” jawab Nabi. “Di setiap kerongkongan basah, ada pahala.”
Menghilangkan dahaga semua makhluk hidup, mengenyangkan perutnya yang lapar—bahkan untuk hewan—adalah ladang pahala. Bayangkan, jika pada waktu-waktu umum saja seperti kisah di atas (karena tak disebutkan terjadi bulan Ramadhan), ganjaran sebuah perbuatan baik bisa menghapuskan dosa apatah lagi jika kebaikan itu dilakukan di bulan Ramadhan yang berlimpah pahala kebaikan.
Adapun tentang siksa yang ditolak/ditangguhkan selama Ramadhan tak diulas dalam tulisan ini karena merupakan topik bahasan tersendiri.
Kembali pada ucapan Imam Ibnu Rajab Al Hanbali di awal tulisan, bagaimana jika kita belum bisa menangis menjelang berpisah dengan Ramadhan? Bagaimana jika kita tak merasa sedih bahkan merasa biasa-biasa saja dengan berakhirnya Ramadhan? Jika itu yang terjadi, artinya ibadah Ramadhan belum optimal kita lakukan, baru ibadah formalitas di permukaan. Ini yang termaktub dalam perkataan Nabi s.a.w. “Betapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Imam Thabrani).
Frasa “betapa banyak” menunjukkan ukuran kuantitas yang “tidak sedikit”. Semua keutamaan bulan Ramadhan yang terhampar tak ada yang bisa diraih selain lapar dan dahaga yang dirasakan setiap hari, selama sebulan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Para ulama menjelaskan tiga penyebab berdasarkan hadits Nabi s.a.w.
Pertama, mereka yang berpuasa namun tetap berkata dusta (az zuur). Dalam masyarakat modern di era digital saat ini, dusta bukan hanya diucapkan melalui kata-kata melainkan juga disebarkan melalui berita hoax. Para ulama menyebutkan dosa mereka yang menyebarkan kabar hoax sama dengan pembuat kabar dusta itu. Ini menjadi penggugur pahala-pahala ibadah Ramadhan yang seharusnya bisa dituai namun lenyap tak bersisa jika sepanjang Ramadhan kerja tangan dalam menyebarkan hoax tetap dilakukan.
Kedua, mereka yang berpuasa namun tetap berkata laghwu (sia-sia) dan rafats (porno). Termasuk dalam kategori ini adalah menulis, membuat, menyebarkan komentar dan meme dengan konten di atas yang tak ada manfaat—meski bukan hoax–bagi umat dan bangsa.
Godaan media sosial, termasuk kemudahan berpendapat di WAG atau Telegram, membuat kanal komunikasi itu sering dipenuhi posting nirfaedah selain hanya sebagai ajang pamer untuk menunjukkan diri eksis. Seperti sebuah ungkapan klasik, “Ada orang yang punya sesuatu untuk ditulis, ada juga orang yang menulis agar dianggap punya sesuatu.” Kelompok kedua ini yang sering terjebak dalam mengeluarkan pendapat dan tulisan sia-sia.
Ketiga, mereka yang berpuasa namun tetap melakukan maksiat. Maksiat ini bukan hanya melakukan perbuatan yang sudah jelas merupakan bagian dari dosa besar seperti berzina, berjudi, membunuh, dst, melainkan juga korupsi, mark up anggaran, menimbun kebutuhan barang pokok rakyat (ihtikar), ghibah, fitnah, rumor, pembunuhan karakter, dan lain-lain.
Maksiat memiliki makna “sayyiah”, “khati’ah”, “dzanbun”, dan “itsmun” yang bermakna perilaku atau tindakan yang melanggar moralitas dan bertentangan dengan perintah Allah SWT. Saat ini, media sosial sering menjadi panggung pertunjukan agar seseorang terlihat alim dan saleh di mata publik. Pencitraan. Ayat Al Qur’an dan hadits Nabi sering dikutip.
Ibadah-ibadah yang seharusnya disembunyikan malah ditampilkan tanpa sungkan. Namun saat sendirian, dalam sunyi sepi, larangan demi larangan Allah diterabas tanpa beban. Inilah orang-orang yang disebutkan Nabi, “Mereka menghidupkan malam dengan ibadah, namun jika dalam sepi mereka robek tirai untuk bisa bermaksiat”. Merobek tirai adalah metafor untuk menghancurkan batas, menghilangkan penghalang.
Jadi, bagaimana kualitas puasa Ramadhan kita yang berakhir hari ini? Hati yang jujur akan mudah memberikan jawaban yang terbuka pula kepada diri sendiri untuk diperiksa. Hati yang selalu berpura-pura menolak menjawab, juga karena tahu kondisi sesungguhnya.
Semoga Allah Maha Penyayang menerima seluruh ibadah Ramadhan yang kita lakukan sehingga kita tak termasuk yang berpuasa namun hanya menjalani lapar dan haus saja. Semoga pula Allah sampaikan umur kita pada Ramadhan tahun depan agar bisa kita sempurnakan semua yang tercecer dan kurang sempurna dari Ramadhan kali ini agar tak menjadi Ramadhan Penghabisan.
Seri tulisan SKEMA [Sketsa Ramadhan] undur diri dan berhenti di sini. Semoga ada manfaatnya setelah selama sebulan, setiap hari, mengulas aneka topik dari banyak sisi.
Izinkan saya tuntaskan tulisan ini dengan menyampaikan ujaran kedamaian:
Taqaballahu minna wa minkum. Taqabbal ya Kariim. Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Selamat mensyukuri Idul Fitri 1 Syawal 1443 H bersama keluarga dan orang-orang tercinta. [ ]
PS: Masukan, kritik dan tanggapan terhadap topik apa pun yang pernah diulas SKEMA [Sketsa Ramadhan] silakan melalui DM IG: @akmalbasral atau e-mail: akmal.n.basral@gmail.com. Terima kasih.