
“Keramahan adalah cara kita keluar dari diri kita sendiri. Ini adalah langkah pertama untuk meruntuhkan sekat-sekat dunia. Keramahtamahan adalah cara kita membalikkan dunia yang penuh prasangka, satu hati pada satu waktu.” (Sr. Joan Chittister).
Penulis: P. Kimy Ndelo, CSsR
JERNIH-Seorang pria yang menghadiri perayaan Ekaristi di Gereja menolak melepas topinya ketika diminta oleh para para petugas liturgi. Yang lain juga memintanya untuk melepas topi, tetapi ia tetap keras kepala.
Pastor juga merasa terganggu, tetapi dia menunggu pria itu setelah misa. Selesai misa ia mendatangi pria itu dan memberitahu bahwa Gereja cukup senang menyambutnya sebagai umatnya dan mengundangnya untuk selalu menghadiri Ekaristi. Tetapi ia menjelaskan tata krama tradisional mengenai topi yang tidak boleh dipakai di dalam gereja. Pastor itu berkata, “Saya harap Anda akan mengikuti praktik itu di masa mendatang.”

“Terima kasih,” kata pria itu. “Dan terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbicara dengan saya. Anda baik hati mengundang saya untuk bergabung sebagai jemaat. Sebenarnya, saya bergabung tiga tahun yang lalu dan telah datang secara teratur sejak saat itu, tetapi hari ini adalah pertama kalinya ada yang memperhatikan saya. Setelah tidak dikenal selama tiga tahun, hari ini, hanya dengan tetap mengenakan topi, saya merasa senang dapat berbicara dengan para petugas, beberapa umat dan Pastor sendiri. Terima kasih! Akhirnya ada yang memperhatikan dan menyapa saya.
**
Injil hari ini berkisah tentang dua pribadi, sahabat dan murid Yesus, Maria dan Marta. (Luk 10,38-42). Maria duduk mendengarkan pengajaran Yesus, dan Marta sibuk bekerja melayani Yesus dan murid-muridnya. Ini tentang dua sikap utama murid Yesus: diam mendengarkan dan bekerja berbuat baik.
Menariknya, kisah ini diapit oleh dua kisah sebelum dan sesudahnya yang juga mempunyai nuansa yang sama: Kisah tentang orang Samaria yang berbuat baik dan kisah tentang Yesus mengajar murid-murid-Nya berdoa.
Disini kita melihat sebuah KESEIMBANGAN dalam hidup. Gabungan sikap keduanya adalah ideal seorang pribadi.
Nampaknya Yesus mencela perbuatan Marta dan memuji Maria. Tetapi jika kita membaca kisah sebelumnya (Luk 10,1-18), dimana Yesus dan para muridnya ditolak, maka Marta adalah pahlawan karena menerima Yesus di rumahnya dan melayani dengan sepenuh hati. Marta adalah tokoh utama sedangkan Maria ‘hanya’ saudari Marta.
Sikap Maria dipuji karena begitulah seharusnya sikap seorang murid. Setia mendengarkan dan menaruh perhatian. “Manusia hidup bukan dari roti saja melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah”.
Orang yang mendengarkan dan melaksanakan sabda Tuhan adalah sungguh ibu dan saudara Yesus. Sikap Maria bertolak-belakang dengan sikap ahli taurat dan orang Farisi yang menolak mendengarkan Yesus.
Kedua wanita ini adalah pahlawan. Yang satu menerima Yesus di dalam rumahnya dan yang satu setia mendengarkan apa yang dikatakan Yesus. Kerja dan doa saling melengkapi.
Bekerja tanpa berdoa tak ada artinya. Doa tanpa bekerja juga sia-sia. Hidup harus ada keseimbangan. Jika hidup menjadi terlalu berat karena memiliki banyak, baik harta maupun persoalan, maka beban itu akan menjadi ringan jika kita duduk tenang, merenung di hadapan Tuhan, melepaskan diri dari segala bentuk ikatan.
Kedua wanita bersaudara ini menerima Yesus dalam rumah mereka. Keramahtamahan dan keterbukaan adalah pintu pertama yang harus dilewati sebelum mendengarkan dan melayani. Mereka yang siap menerima orang lain dengan ketulusan, mendengarkan kata-kata mereka dan melayani dengan kasih persaudaraan adalah gabungan dua pribadi Marta dan Maria, yang mana keduanya adalah sahabat Yesus. Pada orang dengan kepribadian macam ini Yesus tak segan untuk datang dan tinggal seperti di rumah sendiri.
“Keramahan adalah cara kita keluar dari diri kita sendiri. Ini adalah langkah pertama untuk meruntuhkan sekat-sekat dunia. Keramahtamahan adalah cara kita membalikkan dunia yang penuh prasangka, satu hati pada satu waktu.” (Sr. Joan Chittister).
Siapkah kita menerima Yesus dengan gabungan sikap seperti Marta dan Maria? Siapkah kita menyapa satu sama lain dalam gereja sebagai saudara dalam Kristus?
(SETETES EMBUN, ditulis Rumah Retret Redemptoris “Nava Spoorthi Kendra” Bangalore India)