Situs Liyangan, Kampung yang Terkubur Letusan Gunung Sindoro
Mengunjungi Situs Liyangan serasa menemukan serpihan kampung sepuluh abad yang lampau. Kampung di jaman Mataram Kuno ini sempat hilang dimuka bumi karena terkubur akibat erupsi Gunung Sindoro. Kondisinya mengingatkan pada Pompei yang hancur oleh Gunung Vesuvius pada 79 M. Selama 1600 tahun lamanya kota zaman Romawi itu hanya menjadi legenda, sampai kemudian ditemukan kembali abad 18 M. Demikian juga Liyangan, penggalian dan penelitian arekologi yang sudah dilakukan perlahan-lahan telah berhasil memperlihatkan wajah pemukiman kuno yang komplek dari timbunan material yang menguburnya merupakan jejak piroklastik atau awan panas Sindoro yang diduga meletus 1000 tahun yang lalu.
Bemmelen seorang peneliti Belanda mengatakan bahwa pada tahun 1600 – 1617 Sindoro pernah meletus dengan hebatnya dan meluluh-lantakkan desa-desa yang berada di kakinya, hal ini yang diperkirakan telah mengubur Situs Liyangan sedalam 10 meter di bawah permukaan tanah. Sedangkan Balai Arkeologi Yogyakarta berkesimpulan, pemusnahan peradaban akibat letusan Gunung Sindoro yang sangat dahsyat itu terjadi sekitar tahun 971 Masehi.
Berdasarkan data penelitian tim Balai Arkeologi Yogyakarta bahwa temuan benda arkeologis di Liyangan tidak hanya berupa candi, namun juga terdapat tempat peribadatan, perkampungan dan lahan pertanian kuno. Situs ini terletak di tempat penambangan pasir di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung dan berada di ketinggian 1.200 dpl pada lereng gunung Sindoro. Situs Liyangan secara tidak sengaja mulai tersingkap pada 2009 akibat penambangan pasir. keberadaan situs Liyangan ini menjadi kepingan puzzle untuk merangkai hipotesa bahwa kawasan Mataram kuno telah berkembang di deretan pegunungan Merapi, Sindoro, Sumbing dan Dieng pada abad 7-10 M.
Data arkeologi di situs Liyangan yang sudah ditemukan memiliki potensi tinggi untuk berkembang mengingat luasnya situs dan temuan artefak, ekofak dan fitur yang begitu beragam, seperti candi, talud, bekas rumah kayu dan bambu, struktur bangunan batu, jalan batu, lampu dari tanah liat dan tembikar berbagai bentuk. Sugeng Riyanto,Ketua tim peneliti Situs Liyangan Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan bahwa indikator adanya perkampungan dengan ditemukannya pala, arang, keramik, tembikar dan logam.
Sedangkan indikasi jejak pertanian kuno di zona F dengan ditemukannya arang-arang yang diduga buah kelapa, jagung dan pala. Selain perkebunan diperkirakan terdapat juga area pertanian setelah ditemukan tiga lajur gundukan tanah. Bulir padi yang terbakar awan panas dan ditemukan Balai Arkeologi Yogyakarta saat melakukan ekskavasi. Bulir-bulir padi yang menjadi arang itu terkubur material letusan Gunung Sindoro setebal 6-8 meter. Adanya temuan flora tersebut memerlukan keterlibatan arkeo botani untuk meneliti kawasan tersebut. Pun demikian dengan temuan-temuan di pemukiman yang berada di zona C, juga memerlukan keterlibatan ahli lainnya yang mendalami jenis-jenis temuan seperti logam dan keramik.
Niken Wirasanti, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, pernah merekontruksi pecahan keramik cina dari abad 8 masehi. Sedangkan gerabah yang ditemukan merupakan produksi lokal Liyangan yang tekhnik pembuatannya masih kasar. Demikian pula temuan arca yang belum jadi, pola hias yang sangat sederhana dan teknik pembuatan patung yang kasar menunjukkan peradaban Liyangan masih sangat awal. Adanya pola hias sederhana pada batu-batu candi di Liyangan lebih mirip dengan candi di Dieng yang dibangun sekitar abad ke-7 dan lebih tua dibandingkan dengan candi-candi di lereng selatan Gunung Merapi yang pahatan rumit dan halus.
Sedangkan Yusmaini Eriawati, arkeolog ahli keramik dari Pusat Arkeologi Nasional, mengungkapkan, 110 jenis keramik juga ditemukan di Liyangan. menurutnya Benda-benda keramik ini berasal dari Tiongkok, peninggalan Dinasti Tang, sebagian buatan abad ke-9 hingga ke-10 Masehi. Periode tersebut sezaman dengan masa peradaban Liyangan sekitar abad ke-6 hingga abad ke-10.
Terdapat 4 halaman candi yang ditemukan di Liyangan. Keempat bangunan candi tersebut menghadap ke arah tenggara. Candi terakhir yang ditemukan terletak di sisi tenggara dan timur laut yang dilengkapi jaladwara atau saluran. Candinya memiliki panjang 5,5 meter dengan empat jaladwara di bagian depan sisi tenggara dan di bagian timur laut terdapat enam saluran air yang menjadi bagian struktur bangunan candi. Bangunan candi yang merupakan bagian kaki dan di atasnya terdapat sebuah yoni yang unik karena memiliki tiga lubang. Sedangkan profil klasik Jawa Tengah pada kaki candi menandakan candi ini berasal dari abad 9 M.
Masih Di kecamatan Ngadirejo, yaitu di Desa Pringapus juga terdapat Candi Pringapus yang bersifat Hindu Sekte Siwaistis karena terdapat arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa. Menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932, Candi Pringapus dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi. Di Pringapus juga dulu ada reruntuhan Candi Perot (candi yang dulunya “di dalam pelukan” pohon besar).
Reruntuhan candi lainnya juga terdapat di Gondosuli Kecamatan Bulu, di Kecamatan Candiroto dan di Kecamatan Jumo. Kemudian disebelah barat kecamatan Ngadirjo, terdapat Mata Air Umbul Jumprit, sebuah petirtaan peninggalan Majapahit yang sampai saat bini banyak dikunjungi wisatawan maupun peziarah. Air jumprit juga digunakan sebagai Air Berkah untuk upacara Tri Suci Waisak setiap tahunya. di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, terdapat Prasasti Gondosuli (832 M) yang menggunakan bahasa Melayu Kuno dengan aksara Jawa Kuno.
Situs Liyangan yang berada di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung ini semakin melengkapi catatan sejarah Temanggung yang dikaitkan dengan kerajaan Mataram Kuno pada masa Rakai Pikatan. Sejarah Temanggung mulai tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi di mana salah satu wilayahnya bernama Pikatan.
Di Pikatan kemudian didirikan Bihara agama Hindu oleh adik raja Mataram Kuno Rahyangta I Hara, sedang rajanya adalah Rahyangta Ri mdang (Raja Sanjaya) yang naik tahta pada tahun 717 M (Prasasti Mantyasih). Oleh pewaris tahta yaitu Rake Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M, Bihara Pikatan dianugrahi bengkok di Sawah Sima. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli ada gambaran jelas bahwa dari Kecamatan Temanggung, memanjang ke barat sampai kecamatan Bulu dan seterusnya adalah adalah wilayah yang subur dan tenteram yang ditandai tempat Bihara Pikatan. (Pd)