SolilokuiVeritas

Believe in Yourself

Jika para pemimpin bilang cinta dan taat kepada Allah, maka ia harus cinta kepada rakyatnya. Jika ini diingkari, maka rasa cinta itu hanya palsu.

Oleh : Kurnia Fajar

JERNIH– Everything happens for a reason. Semua yang terjadi di muka bumi ini karena ada sebabnya. Semua tidak terjadi begitu saja.

Semua ada urutannya. Hukum sebab akibat adalah hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau peristiwa pasti memiliki sebab dan akibat. Hukum ini juga dikenal sebagai hukum kausalitas. Hanya Dzat yang memiliki Bumi, langit dan isinya yang mampu membatalkan hukum kausalitas. Seperti diterangkan dalam Qur’an surah Yaasiin ayat 82 yang berbunyi “Innama amruhu idza aroda syaian ayyakulalahu kun fayakun. Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah (sesuatu) itu.”

Dalam konsep tasawuf ada sebuah ilmu yang sering menjadi perdebatan para alim ulama dan cerdik cendikia yaitu yang disebut “manunggaling kawula Gusti”. Sebagian menafsirkan sesat, dan sebagian lagi mengatakan sebagai sebuah proses perjalanan menemukan Tuhan. Mengutip sebuah tulisan di caknun.com yang ditulis oleh Saratri Wilonoyudho, itu sebuah ungkapan filsafati-teologis yang luar biasa dahsyatnya. Manunggaling kawulo Gusti berarti, jika engkau mencintai Allah, berarti harus pula mencintai ciptaan-Nya. Jika para pemimpin bilang cinta dan taat kepada Allah, maka ia harus cinta kepada rakyatnya. Jika ini diingkari, maka rasa cinta itu hanya palsu.

Cak Nun juga mengingatkan agar Allah tetap dijadikan tuan rumah dan Rasululllah sebagai penjaga pintunya. Hanya Allah SWT yang boleh masuk dalam hati kita, sedangkan dunia dilarang keras memasukinya kecuali dalam relevansinya dengan Allah.

Jika kalimat di atas ditafsirkan sebagai rasa cinta dalam bentuk percaya dan yakin maka akan menghasilkan suatu energi yang dahsyat. Dunia modern menyebutnya “Law of Attraction” hukum tarik menarik untuk menghasilkan vibrasi dan frekuensi positif.

Jika kita yakin dengan doa kita, maka Ilahi Rabbi Yang Maha Agung akan mengirimkan sinyal positif kepada kita. Novelis asal Brazil Paulo Coelho dalam bukunya, “The Alchemist”, menulis, “When you truly want something, the whole universe conspires to help you achieve it.” Orang akan berproses dalam hidupnya sesuai persangkaan dalam dirinya. “Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” (HR. Bukhari no.7505 dan Muslim no.2675).

Nah! Sehingga modal atau asset terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Pikirannya, hati nurani dan akal budinya. Ia adalah khalifah di muka bumi. Namun di jaman ini semua berubah. Kita kehilangan kepercayaan diri. Semua rapuh, ambruk dan gelisah menghadapi jaman yang tak lagi ramah.

Beberapa waktu lalu saya mendapati tetangga, sepasang suami istri, datang ke rumah untuk menemui istri saya. Namun karena saya hadir jadi ikut terlibat dalam diskusi. Anaknya tidak diterima di SMA negeri. Ada tahap kedua katanya.

Tapi bagaimana jika di tahap kedua juga tidak keterima? Pilihan terakhir adalah swasta. Butuh Rp 18 juta untuk uang pendaftaran. Dan dia sedang tidak punya. Pandemi meluluhlantakkan hampir semua pendapatannya. Mereka sedang berusaha bangkit. “Susah sekali bisnis sekarang ini” katanya sambil menyalahkan pemerintah dengan segala kebijakannya. Istri saya memberikan uang terakhir yang ada, Rp 1,5 juta, sebagai pegangan. Hari Sabtu saya akan menjembataninya bertemu pengurus mesjid dan lembaga Zakat pinjam uang umat. Saya ikut menjadi garansi. Tadi di sholat dzuhur sudah saya mintakan Rp 18 juta ke Tuhan. Nanti sore dikasih, janji Tuhan.

Saya resah karena haqqul yaqin bapak ini tidak sendirian. Ada banyak bapak lain di luar sana yang problemnya sama. Saya pun pernah ada di posisi itu. Saya sedang resah. Tadi sudah ya. Begitulah, harus tersedia akses yang cukup untuk semua anak untuk sekolah. Kita tidak kemana-mana, tapi mereka punya masa depan. Honestly, kita sudah hampir afkir. Maka anak-anak harus sekolah. Biaya harus tidak menjadi penghalang. Tidak boleh seorang anak pun yang tidak sekolah. Bukan karena nanti akan ditagih di alam barzah, tapi karena kita membunuh harapannya.

Kita tidak perlu bicara yang tinggi-tinggi, yang hebat-hebat, yang masih belum bisa dijadikan aksioma. Fisika Kuantum, artificial inteligence, homo deus, sustainable development, jika pada akhirnya kita membunuh harapan anak-anak. Anak-anak harus sekolah. Anak-anak tidak boleh tahu bahwa bapaknya mungkin gagal menyekolahkannya. Tidak boleh.

Anak-anak harus gembira, sebab mereka masih anak-anak. Anak-anak harus banyak tahu sebab mereka masih anak-anak. Tapi anak-anak tak boleh banyak tahu karena mereka masih anak-anak.

Hidup adalah sekumpulan kontradiksi. Hayati Lelah, Bang! Kepada bapak tetangga, saya tenangkan dia. Selalu ada pelangi setelah hujan. Selalu begitu. Dan wajahnya mulai bertenaga. Saya yakin dia tak lagi salah rakaat. Sambil becanda saya bernyanyi refrain lagu “Stay The Same” dari Joe McIntyre :

“Believe in yourself
Reach down inside
The love you find will set you free
Believe in yourself
You will come alive
Have faith in what you do
You’ll make it through…”

Tinggallah saya dan istri, pelan-pelan ditelan gelisah. Dan resah. Begitulah zaman berjalan, ia merenggut harapan anak-anak. Merenggut rasa percaya diri kita makhluk dewasa. Seolah rejeki dari Tuhan tidak ada lagi. Jika sudah begini saya sering bertanya kepada kitab suci, kepada cerdik cendikia dan alim ulama. Tetapi semua diam, semuanya hening. Lalu muncullah kalimat-kalimat motivasi membosankan, saya menatap langit dan menengadahkan tangan. Ya Rabb, aku butuh “Kun fayakun-Mu”. []

Back to top button