POTPOURRI

Tahajud dan Karunia Qaulan Sadiida

Dalam obrolan santai di ruang sekretariat Masjid UNPAD, sekian puluh tahun lalu, ketika saya bertanya kepadanya, beliau menjawab dengan banyak bercerita. Dari pertemuan itu tahulah saya bahwa sejarahwan berambut gondrong ini sejak SMA hingga berkeluarga, sampai sekarang, setiap malam beliau shalat tahajud.

Oleh  : Jonih Rahmat

JERNIH– Seorang kawan dari Komunitas Salman Menulis baru saja pulang dari dinas di Kolbano, Nusa Tenggara Timur. Dia meneruskan tulisan yang sangat bagus dan sangat unik. Tulisan itu antara lain memuat kata Ciomas dan Shaolin.

“Mungkin ini tulisan teman Kang Jonih atau nama pena Kang Jonih?” tanya dia.

 “Saya pernah baca artikel ini. Padat, berisi, bagus sekali! Bukan saya, tentu.  Ciomas ada di Bogor, Sukabumi, dan Banten. Yang paling dikenal adalah Ciomas Banten.”

“Mengapa Ciomas Banten bisa terkenal?”

“Daerah itu punya produk yang laris manis di pasaran, yaitu alat pemotong: golok Ciomas.”

Saya pernah shalat di salah satu musholla mungil, cantik  dan bersih di Ciomas, Banten. Tempat pertapaan Buddhisme ada juga di Ciomas, Bogor. Ia berlokasi di Puncak bagian bawah, arah ke Sentul. Saya pernah mengantar tamu dari Malaysia suatu hari dan dari Rusia pada hari lain. Mereka mau bersemedi di sana. Ada juga saya minat mencoba, tapi tak bisa meninggalkan HP.

“Masih di Kolbano?” ganti saya yang bertanya ke kawan itu.

“Sudah pulang ke rumah, di Nyangkolot, Karawang.”

Mendengar nama Karawang, saya teringat seorang sahabat, aktivis masjid yang rendah hati.   Dulu waktu kuliah ada sahabat saya dari sana, namanya Iwan Badar. Ia kuliah di Fisip UNPAD yang suka dipelesetkan sebagai Unipersitas Palebah Dipati Ukur — Universitas Sebelah Dipati Ukur.  Kalau bicara, suaranya berat.

“Hey, berapa kali dalam seminggu kamu tahajud?” saya bertanya pada Iwan Badar.

 “Tahu dari mana?”

 “Saya tahulah.”

Iwan tiap hari shalat malam. Karena itu ia dikaruniai qaulan sadiida. Perkataan yang berat. Maknanya: suaranya padat berisi, penuh makna, dan enak didengar hati.

Waktu masih mahasiswa di Bandung, di pelatihan keagamaan di masjid-masjid kampus awal tahun 1980-an teman-teman pasti sering mendengar ceramah Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, ahli sejarah dari alma mater yang sama dengan Iwan. Tentu kawan-kawan masih ingat suara dan cara bicara Pak Mansur: runtut, pelan-pelan, jelas, mencerahkan, enak didengar dan perlu, juga suaranya berat. Itu dia qaulan sadiida, perkataan yang berat.

Dalam obrolan santai di ruang sekretariat Masjid UNPAD, sekian puluh tahun lalu, ketika saya bertanya kepadanya, beliau menjawab dengan banyak bercerita. Dari pertemuan itu tahulah saya bahwa sejarahwan berambut gondrong ini sejak SMA hingga berkeluarga, sampai sekarang, setiap malam beliau shalat tahajud.

Teman-teman yang pernah mengikuti renungan bersama Mas Bambang Pranggono pasti merasakan setiap kata dan kalimat yang diucapkannya: padat, berisi, penuh makna, dan menyentuh hati. Beliau ahli tahajud.

Bu Karmila,  guru SMA dari Cisarua, Bandung Barat, bertanya kepada saya, “Minta resep agar bisa menulis seperti Kang Jonih.” Dia cerita di sekolahnya sedang digalakan program literasi, tapi para siswa membuat tulisan tak jadi-jadi.

Saya menjawab, “Kata Kiai Abdu resepnya adalah tahajud tiap malam.”

Dahulu sekali Pak Miftah Faridl pernah bercerita di Masjid Salman ITB ada orang kehilangan KTP. KTP kelihatannya sepele, tapi pada waktu-waktu tertentu saat perlu digunakan. Kartu kecil itu sangat vital! Orang yang kehilangan surat penduduk itu malam harinya setelah bangun tidur shalat tahajud, memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat benda itu berada. Ketemu!

Suatu hari di kantor saya ada dokumen yang harus segera diproses dari sebuah perusahaan minyak berkantor pusat di Eropa ternyata hilang. Meja kerja yang ditumpuki sangat banyak kertas saya buka-buka. Laci berkali-kali diulur dan ditarik. Seluruh isi tas kerja dikeluarkan. Tetap tidak ada. Bikin panik tentu saja. Padahal saya tak rajin melakukan shalat tahajud.

Semua usulan pekerjaan dari para kontraktor production sharing perlu segera diproses ada di dokumen itu. Dan itu ada time line-nya. Waduuh, bagaimana ini!?

Setelah semua tempat, di kantor dan di rumah diacak-acak, tetap saja barang yang dicari tak tampak. Malam hari saya meminta kepada Dia.

Pagi harinya, begitu masuk kantor, benda itu ada di tumpukan kertas di posisi paling atas. Allahu Akbar! Saya sujud syukur.

“Bagaimana kalau tahajud dilakukan pada bulan Ramadhan?”

“Akan lebih mantap!”

“Apanya?”

“Pelaksanaannya bisa lebih khuysuk. Hasilnya, silakan rasakan!” [ ]

 Ciomas, 14 April 2022

Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.

Back to top button