POTPOURRI

Tentang Masa Depan “The Six Million Dollar Men/Women”

Sebagai seorang filsuf teknologi yang mengajar humaniora kepada para insinyur, dokter, dan perawat masa depan di Virginia Tech University, AS, Shew merasa seolah-olah prostetik barunya itu—dari “Prostesis” (Yunani Kuno: prósthesis, “tambahan, tempelan”, alat buatan) telah mengubah dirinya menjadi versi nyata dari manusia sintetis yang selama ini ia ajarkan. Dalam nada suram ia menggambarkan dirinya sebagai “penyandang disabilitas berteknologi”, seorang cyborg, bahkan “cripborg”—maaf, cripple cyborg.

JERNIH– Sejak lama, Ashley Shew adalah seorang dosen yang mengampu kelas cyborg, makhluk buatan yang di masa lalu juga dikenal sebagai android atau humanoid. Sampai tiba-tiba dirinya justru kemudian menjadi ‘makhluk’ yang menjadi pembahasan utama dalam kuliah-kuliahnya itu.

Pada tahun 2014, ketika dia berusia awal 30-an, dia didiagnosis menderita kanker tulang. Belakangan, ia menjalani amputasi pada sebagian kakinya, untuk kemudian dipasangi kaki palsu. Obat kemo yang mengiringi pengobatannya justru mempengaruhi pendengarannya, sehingga Shew juga diberi resep alat bantu dengar.

Sebagai seorang filsuf teknologi yang mengajar humaniora kepada para insinyur, dokter, dan perawat masa depan di Virginia Tech University, AS, Shew merasa seolah-olah prostetik barunya itu—dari “Prostesis” (Yunani Kuno: prósthesis, “tambahan, tempelan”, alat buatan) telah mengubah dirinya menjadi versi nyata dari manusia sintetis yang selama ini ia ajarkan. Dalam nada suram ia menggambarkan dirinya sebagai “penyandang disabilitas berteknologi”, seorang cyborg, bahkan “cripborg”—maaf, cripple cyborg.

Buku baru Shew,“Against Technoableism”–sebuah istilah yang ia ciptakan sendiri—adalah laiknya seminar pengantar tentang cara-cara era hiper-teknologi melakukan pendekatan pada disabilitas. “Saat saya diamputasi, orang-orang terus meyakinkan saya (sebenarnya, meyakinkan diri mereka sendiri) bahwa dengan teknologi prostetik yang canggih dan menakjubkan, saya akan kembali dengan lebih baik dari sebelumnya,” tulis Shew.

“Seakan saya akan segera menjelma manusia super dengan kemampuan yang ditingkatkan. Bionik woman bernilai 10 juta dolar AS,” kata dia, mungkin merujuk dua film seri tv tahun 1980-an, “The Six Millions Dolar Man” dengan pemeran Lee Major, dan “The Bionic Woman” yang dibintangi Lindsay Wagner.

Namun, belakangan ia sadar betapa terbatasnya teknologi cyborg, saat mendengar kalimat yang diutarakan pakar di satu institusi bionik futuristik MIT, Prof Hugh Herr,”Saya tidak melihat disabilitas,” kata Herr. “Yang saya lihat adalah teknologi yang buruk.” Herr sendiri adalah seorang yang mengalami amputasi ganda, selain pemakai dan pencipta prostetik bionik untuk dirinya sendiri. Ia salah seorang pemimpin di Yang Center for Bionics di MIT.

Shew mengakui peran transformatif teknologi dalam hidupnya. Di foto yang dijadikan foto penulis di buku itu, dengan penuh kasih sayang ia menggendong prostetiknya yang berujud laiknya ukulele. Namun dalam rangkaian esai singkat dan sangat gamblang di buku itu, Shew mengatakan bahwa technoableism-– penggambaran populer tentang teknologi sebagai obat untuk mengatasi disabilitas—justru menimbulkan kerusakan nyata dengan memposisikan tubuh penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang rusak secara fundamental.

Karena itulah, tampaknya, dalam “Against Technoableism,” Ashley Shew berpendapat bahwa yang perlu “diperbaiki” bukan hanya individunya, melainkan pula lingkungannya.

Tujuan dari teknologi yang ada seringkali membuat rehabilitasi menjadi hal yang umum–orang yang diamputasi harus berjalan “normal”, orang tuli bisa bicara, orang autis memiliki “tangan yang tenang”-– tergantung pada rekayasa untuk mewujudkannya. Dalam kerangka ini, segala kemungkinan kehidupan penyandang disabilitas yang menyenangkan, yang dijalani tanpa perlunya perbaikan, tampaknya tidak pernah dibayangkan.

Shew akhirnya menempelkan mata googly ke jari-jari kaki palsunya sehingga bisa “menatap balik” ke arahnya, dan cara yang sama dia menggunakan gaya konfrontatif dalam tulisannya. Gaya ini juga mencerminkan persimpangan jalan yang tengah dihadapi kaum disabilitas har ini: sebuah movement yang mendalami bahasa sehari-hari yang sangat online; bidang keilmuan yang sedang berkembang dengan kosakata akademisnya sendiri; seruan hak-hak sipil untuk perubahan kebijakan secara menyeluruh; dan identitas terpinggirkan yang setara dengan ras atau gender. Akibatnya, banyak tulisan mengenai disabilitas saat ini (“Year of the Tiger” karya Alice Wong; “Being Seen” karya Elsa Sjunneson) memadukan analisis struktural, kritik budaya khas dunia maya, tudingan pedas terhadap keadilan sosial, dan narasi pengakuan trauma medis. “Against Technoableism” adalah tambahan penting untuk genre yang tengah hits ini.

Tulisan Shew yang dibuat dalam bab-bab yang berdiri sendiri dapat dibaca dalam urutan apa pun. Itu, kata penulisnya, mencerminkan “estetika buruk” dari buku tersebut. “Mengapa orang harus dipaksa untuk menelusuri teks secara linier?” kata Shew, retoris.

Boleh jadi, pengingat yang kuat dalam buku ini mengenai argumen utama di dalamnya, juga mungkin merupakan aspek lain dari “estetika” ini. Semacam pengulangan yang berguna bagi seseorang yang di saat kecil mengalami Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD– gangguan perkembangan saraf masa kanak-kanak), atau mereka yang berpenglihatan buruk. Sebab, seperti yang sering terjadi pada teknologi dan kecacatan, apa yang awalnya tampak sebagai cacat, pada akhirnya bisa jadi merupakan fitur. Bukan bug. [dsy/The New York Times]

AGAINST TECHNOABLEISM: Rethinking Who Needs Improvement | By Ashley Shew | 148 pp. | W.W. Norton & Company | $22

Back to top button