POTPOURRI

Tuduhan Hamka Plagiat, dan Pembelaan Ali Audah

Terjemahan “Al–Majdulin”  itu mampu membungkam mulut Pramoedya Ananta Toer, ketua LEKRA saat itu, dan kawan-kawannya. Itu karena tidak sedikit pun ada kesamaan bangunan kisah antara keduanya, “Al–Majdulin” karya al-Manfaluthi dan “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” karya Hamka.

Oleh  : Ady Amar

JERNIH– Buya Hamka dikenal tidak sekadar ulama. Beliau juga seorang penulis buku andal dan sekaligus sastrawan. Karya-karyanya, baik yang bercorak agama maupun sastra masih enak dibaca, relevan, dan tidak pupus ditelan zaman.

Jumlah karya buku beliau yang terbit, terhitung tidak kurang dari 120 judul buku. Terdiri dari tema agama dan sastra. Semua karyanya berkelas. Tentu ada karya yang dianggap paling menonjol dan dibicarakan di antara karya-karyanya itu.

Jika melongok karya sastranya, maka “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah”,  bisa disebut paling menonjol.

Ada juga karya terjemahan sastra darinya, yang jarang diketahui, bahkan oleh penikmat sastra yang datang belakangan. Sebuah karya sastra roman dari Alexander Dumas, Jr., judulnya “Margueriet Gautier”.

Buku itu awalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dari bahasa aslinya Prancis, oleh sastrawan Arab modern berkebangsaan Mesir paling menonjol, Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi. Dari terjemahan bahasa Arab itulah Hamka menerjemahkan karya Dumas itu ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan yang menarik dan berkelas.

Dalam menerjemahkan itu, Hamka larut dengan gaya bahasa yang nyaris menyerupai penulis aslinya. Menjadi membantu karena al-Manfaluthi menerjemahkan karya itu ke dalam bahasa Arab dengan amat baik.

Penerjemah atau editor yang baik, itu yang mampu menampilkan tidak sekadar alih bahasa, tapi gaya bahasa penulis aslinya tidak tergerus oleh gaya si penerjemah. Lalu menjadi seolah itu karyanya. Baik al-Manfaluthi maupun Hamka, mampu menjadikan “Marguerite Gautier” tidak kehilangan gaya bahasa aslinya.

Tuduhan Hamka seorang plagiat

Mungkin karena Hamka menerjemahkan ke bahasa Indonesia terjemahan al-Manfaluthi itu, maka fitnah dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), sebuah lembaga onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sangat membencinya, dilancarkan.

Fitnah ditebar, bahwa “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” itu adalah karya plagiat dari sebuah buku berbahasa Prancis, “Sous les Tilleu”, karya Alphonse Karr. Karya itu lalu diterjemahkan Al–Manfaluthi menjadi “Al–Majdulin”.

Fitnah itu begitu dahsyat, sehingga opini lalu terbentuk, bahwa Hamka melakukan plagiat atas sebuah karya sastrawan Mesir. Ini bukan sekadar fitnah sebagai plagiator, lalu berhenti di sini lebih pada pembunuhan karakter pada seorang ulama dan politisi Islam yang menonjol. Saat itu Hamka adalah politisi dari Partai Masyumi.

Tidak semata fitnah sebagai plagiator pada sebuah karya. Tapi lebih dari itu, sasaran yang hendak dicapai LEKRA untuk membuat opini lebih luas, “Ini lho ulama Islam, ternyata tidak jujur!”

Hampir semua orang mempercayai gencarnya fitnah itu, bahkan ada seniman Muslim yang juga termakan oleh fitnah itu, dan lalu menstigma setidaknya, bahwa “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” itu bukan karya orisinal Hamka.

Beberapa sastrawan Muslim, dan juga seniman yang menentang LEKRA berkumpul membicarakan soal itu, apakah benar Hamka memplagiat karya Al-Manfaluthi? Bahkan dari kumpul-kumpul saat itu, ada yang sempat mengatakan, bagaimana jika apa yang dihembuskan LEKRA itu benar adanya? Habislah kita di hadapan umat, dan terutama akan jadi olok-olok sepanjang sejarah bahwa ulama kita memplagiat sebuah karya.

Ali Audah membela dengan caranya

Itu kisah di awal tahun 1960-an, saat PKI tengah berjaya, dan mendapat panggung dari rezim Orde Lama. Karenanya, bebas bermanuver dan melakukan apa saja.

Pada pertemuan malam itu, hadir seorang yang tidak terlalu dikenal, yang cuma menyimak pembicaraan senior lainnya. Tanpa sedikit pun urun rembuk, pasif. Ia adalah Ali Audah.

Selepas pertemuan malam itu, Ali bergegas pulang. Keesokan harinya pria kelahiran Bondowoso ini mulai menerjemahkan karya al-Manfaluthi, karya yang jadi polemik dan fitnah. Ali tidak keluar rumah dalam beberapa hari. Ia suntuk menerjemahkan “Al–Majdulin.”

Sampailah pada saatnya, terjemahan itu selesai ia terjemahkan utuh. Dan lalu diterbitkan sederhana dalam waktu yang tidak terlalu lama. Terjemahan Al–Majdulin  itu mampu membungkam mulut Pramoedya Ananta Toer, ketua LEKRA saat itu, dan kawan-kawannya.

Itu karena tidak sedikit pun ada kesamaan bangunan kisah antara keduanya, “Al–Majdulin” karya al-Manfaluthi dan “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” karya Hamka.

Ali Audah (1924-2017), membela Hamka dengan caranya sendiri. Menerjemahkan karya yang dipolemikkan itu, untuk membatalkan fitnah jahat atasnya.

Soal kisah ini, sastrawan Sapardi Djoko Damono (1940-2020), dalam beberapa kesempatan acap mengisahkannya. Keduanya memang berkawan akrab. Bahkan keduanya terlibat kerja sama menerjemahkan “Muqaddimah”, karya Ibnu Khaldun,  dan “The Holly  Quran”, terjemah dan tafsir karya  Abdullah KYusuf Ali.

Ali Audah bertindak sebagai penerjemah teks, dan Sapardi Djoko Damono sebagai penulis puisinya. Kerja sama  menarik dari keduanya, yang menghasilkan karya terjemahan indah menawan, dan berkelas.

Ali Audah dikenal tidak saja sebagai penerjemah handal, tapi juga pengarang buku, dan sekaligus dikenal sebagai sastrawan modern Indonesia. Kepribadian dan perangainya santun dan tenang. Tidak memiliki musuh dalam pergulatan pemikiran dan polemik di kalangan sastrawan yang saat itu saling kubu-kubuan. Ali Audah berselancar di antara kubu-kubu yang ada, tanpa meninggalkan jejak polemik apalagi permusuhan.

Ali Audah meninggal di Bogor pada  2017 dalam usia 94 tahun. [dari Panji Masyarakat]

Back to top button