Ukur
Sultan Agung tak pernah menoleransi kegagalan. Diutusnya pasukan untuk menghukum Rangga Gempol. Kepala pangeran Sumedang itu dipancung, dipisahkan dari badannya.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode-14
Tubuh Ki Sutapura berdebam menubruk tanah. Sebentar tubuh itu meregang nyawa, sebelum akhirnya diam kehilangan nyawa.
Tak nyana, tiba-tiba seluruh warga dan pejabat kabupaten bersorak penuh suka cita. Sebagian malah bertangis-tangisan dengan sesama mereka. Ternyata jelas sudah, Ki Sutapura bukanlah pejabat yang dicintai rakyatnya. Ia mati, dan tak ada rakyat yang menangisi. Mereka gembira karena orang yang paling bertanggung jawab membuat hidup mereka tersiksa, kini perlaya.
Belum lagi sorak sorai itu usai, tiba-tiba tubuh yang tadi diam itu bergerak-gerak. Tak lama antaranya, sesosok tubuh tambun telah kembali berdiri. Ki Sutapura hidup kembali!
Ukur yang sejak tadi tak pernah memalingkan pandangan dari sosok Ki Sutapura, kaget tak kepalang. Bagaimana mungkin orang yang tadi jelas-jelas meregang nyawa, kini berdiri kembali di hadapannya.
“Kenapa kamu Ukur, kaget? Aing tak akan mati dengan gampang, Kehed! Aing Si Sutapura, tak akan bisa menjadi bupati kalau tak punya pegangan. Ha ha ha ha ha!”
Tawa Ki Sutapura membahana, mendirikan bulu kuduk orang-orang yang ada, terlebih mereka yang tadi bersorak sorai gembira atas kematiannya.
Ukur mundur selangkah. Ia tahu, dirinya berhadapan dengan seorang penganut ajian rawa rontek. Ajian yang semula bernama Pancasona itu awalnya dimiliki Resi Wisrawa, ayah kandung Prabu Danaraja dan Prabu Rahwana. Ajian bagaimana pun hanya alat, tergantung siapa yang memakainya. Penganut ajian itu tak akan bisa mati, karena bumi tak pernah mau menerima jasad mereka. Setiap kali jasad mati mereka menyentuh bumi, mereka pun akan hidup lagi.
Kini Ukur lebih hati-hati. Ia segera taki-taki memasang kuda-kuda yang bisa memungkinkannya menyerang dengan gampang. Namun tidak, kembali Ukur menjadi pihak yang diserang. Sebuah sabetan keris mengarah ke lehernya, memastikan leher itu akan terpisah dari kepalanya manakala kena.
“Seeet!”
Untunglah Ukur bisa menunduk, membuat sabetan itu lewat setengah jengkal di atas kepalanya. Namun Ki Sutapura ternyata belajar juga. Tenaga yang ia gunakan tak semuanya untuk sabetan itu. Dengan gampang ia membalikkan arah sabetan, mengincar lagi leher Ukur.
Hanya dua jengkal lagi keris itu siap mengiris Ukur. Orang-orang yang menonton menjerit histeris, membayangkan bupati baru mereka yang dedeg sampe rupa hade[1] itu akan segera menjadi batang mayat tanpa nyawa.
Tidak. Ukur sempat menjatuhkan diri, menghindari maut yang sudah siap membawanya ke alam lain. Perut Ki Sutapura yang telah kembali menutup tak menyisakan luka itu kini kembali terbuka tanpa halangan. Dengan sekuatnya Ukur menusukkan kerisnya dalam-dalam. Bunyinya keras seolah suitan saat ia menekan kerisnya ke bawah, membuat luka dalam dan besar memanjang hingga ke bawah pusat.
“Bleeesss! Weeeeek!”
Kembali jeritan keras berkumandang. Ki Sutapura kedua kalinya limbung. Namun sebelum tubuh limbung itu menghunjam tanah, Ukur telah berada di belakangnya, memegang rambut ki Sutapura yang berkucir satu. Entah kemana sudah bendo penutup kepalanya kini berada.
Lalu diiringi jerit histeris penonton yang setengah gila melihat kengerian terjadi secara terbuka, Ukur membenamkan kerisnya memotong kepala Ki Sutapura. Sekejap saja tangannya kini menggenggam sebuah kepala kutung tanpa leher.
“Gantung! Gantung setinggi-tingginya!” katanya, melemparkan kepala itu ke arah Patih yang masih berdiri terpesona dengan kekejian yang terjadi. Hanya bagaimana pun ia tetaplah seorang hulubalang yang teruji waktu, matang oleh masa. Dengan sigap ditangkapnya kepala mantan majikannya, lalu berlari ke arah tiang tempat umbul-umbul kabupaten dikibarkan. Dengan sigap pula ia menurunkan umbul-umbul, mengikat kepala itu ke puncak tiang, sebelum tiang umbul-umbul kembali ditegakkkan. Kini kepala itu telah berada di ujung tiang, menatap dari ketinggian karena kelopaknya belum ditutupkan.
Ukur masih memegangi tubuh tambun Ki Sutapura. Diangkatnya tubuh itu ke atas, dibopongnya di atas bahunya. Lalu dengan merapal aji Kidang Kancana, tubuh Ukur mencelat, melompat-lompat, berlari dengan jasad mati di bahunya. Ia menuju ke satu arah. Ke arah kidul kulon, tempat aliran Cimanuk tengah bergelora.
Tubuh Ukur ringan saja melompati benteng Kabupaten meski di bahunya sebatang mayat tambun memberatinya. Bila saat itu ia tengah berada di daratan Tiongkok, tentu orang-orang yang menonton akan menyebutnya memiliki ilmu ginkang yang sempurna, hingga nyaris seolah bisa terbang. Lepas halaman Pendopo Kabupaten, Ukur kini berada di perkampungan yang sarat dengan rumah-rumah sangat sederhana, lain dengan rumah-rumah para pejabat kabupaten yang tadi ia lalui.
Ukur tak berani melompati rumah-rumah itu. Tak ada genteng bakaran tanah yang bisa membuatnya yakin atap itu tak akan ambrol saat ditapaki. Yang ada hanyalah rumah-rumah beratap rumbia dengan kayu-kayu tua yang sudah lapuk dimakan usia. Akhirnya ia memilih lari melewati jalanan kampung, meski kecepatan membuat dirinya sukar terlihat jelas di mana orang-orang awam.
Barulah selepas kampung itu Ukur mendengar suara gemuruh aliran sungai. Cimanuk, dan berbahagialah ia, sungai itu tengah mengamuk dalam gelora bah! Tiba di tebing sungai yang curam Ukur berhenti. Kini kedua tangannya memegang sosok tubuh tak bernyawa di pundaknya.
“Ki Sutapura, bukan aku tak hendak memberimu pemakaman yang memadai dan terhormat. Bukan tak memberimu muka. Tapi bagaimana pun, sejak awal kau memilih memelihara ilmu ini, jelas kau tak pernah berpikir tubuh matimu akan dikuburkan. Kini aku menyerahkanmu kepada semesta lewat aliran sungai ini,” kata Ukur.
“Bismillahi bi ala millati Rosulillah!” Dengan nama Allah dan atas jalan Rasul-Nya,” kata Ukur sambil melemparkan tubuh itu ke dalam pusaran air yang bergelora. Sekejap tubuh itu hilang tertelan umpalan air sungai, lalu saat muncul jaraknya sudah beberapa tombak jauhnya dari Ukur berdiri. Hanya kurang dari sepuluh tarikan nafas, batang mayat Bupati Sutapura sudah tak lagi tampak.
**
Tak terasa waktu sudah bergulir tahun sejak pertama kali Dipati Ukur ngaheuyeuk dayeuh, ngolah Tatar[2] Ukur. Kini wilayah-wilayah sekeliling Tatar Ukur, seperti Sukapura, Sumedang Larang, Cirebon, Banten, terbuka mata melihat kemajuan yang terjadi di tanah yang sebelumnya selalu didera persoalan, terutama kemiskinan warganya itu. Ternyata bukan karena alam Ukur yang tandus, karena alam Tatar Ukur sebenarnya subur makmur gemah ripah loh jinawi.
Kemiskinan yang sebelumnya selalu mendera tanah itu di saat-saat kemarau dan paceklik, tak lain karena pajak tanah dan pajak jiwa yang selalu saja dinaikkan oleh bupati sebelumnya, yang kini kepalanya tersimpan dalam kotak jati, ditempatkan di ruang terkunci di Pendopo Kabupaten. Kemiskinan yang 400-an tahun kemudian disebut sebagai kemiskinan structural, karena melibatkan kesalahan peran dari pengelola pemerintahan. Entah itu salah urus karena pangagung bodo katotoloyo[3] atau karena si pangagung rakus dan senang membebani rakyat dengan pajak untuk membiayai kebutuhan hidupnya.
Sebagaimana orang-orang baik dikenang generasi selanjutnya, orang-orang berjiwa buruk pun tetap dikenang sebagai penghisap kemanusiaan oleh generasi yang meneruskan sejarah manusia.
Segala bidang perekonomian maju, membuat warga Ukur berada dalam taraf kemakmuran yang membuat warga tatar sekitarnya tak jarang iri. Tatar Ukur menghasilkan banyak hasil bumi yang melalui aliran Sungai Cimanuk dibawa ke Bandar Krangsambung, sebuah keadipatian di tanah Sindang Kasih. Bila perahu-perahu warga Ukur itu terus menyusuri sungai ke utara, mereka akan tiba di Pelabuhan Dermayu di Kadipaten Pasekan.
Di sana mereka bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi, karena barang-barang itu bisa dijual langsung kepada para pedagang berbagai negeri, tak hanya dari Nusantara. Hampir tak ada hari kosong tanpa berlabuhnya kapal-kapal yang datang dari manca negara, termasuk jung-jung dari Tiongkok dan kapal-kapal negeri Arab.
Dari ayahnya Ukur pernah mendengar, lebih dari 100 tahun lalu[4] seorang pengelana Portugis bernama Tome Pires menyatakan pelabuhan Cimanuk sebagai pelabuhan kedua terbesar setelah Sunda Kelapa. Entahlah, ia lebih banyak tahu Tatar Wetan dibanding berbagai pelosok wilayahnya sendiri atau daerah sekitar. Itu yang ia sadari harus diperbaiki. Bagaimana dirinya akan memakmurkan rakyat kalau tak tahu benar-benar bagaimana kondisi negeri?
Beberapa desa sekitar pelabuhan memang dinamai dengan apa yang terjadi dalam kehidupan pelabuhan. Misalnya ada nama desa Desa Pabean yang berasal dari kata ‘bea’ yang berarti pajak atau cukai. Ada Desa Pagirikan yang tampaknya berasal dari kata ‘girik’ yang merujuk pada surat izin keluar masuk daerah pelabuhan, atau desa Pasekan yang berasal dari ‘pasek’, tempat penyimpanan barang bongkar muat kapal. Juga Desa Paoman yang tampaknya dari kata ‘omah’, perumahan para pegawai pelabuhan. Pelabuhan lainnya yang disebut Pires adalah Bantam (Banten), Pontang (Pomdam), Cheguide (Cigede), Tamgaram (Tangerang), dan Calapa (Kelapa)[5].
Ukur benar-benar menerapkan ilmu tata negara yang dipelajarinya di Tanah Wetan. Tentu saja kemudian diaplikasikan sesuai adat istiadat dan fakta di lapangan. Yang jelas, ia selalu mengingat pesan kakek dan ayahnya yang selalu mewanti-wanti agar dirinya meneladani cara Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja memerintah, yakni ‘pakena gawe rahayu, pakeun heubeul di buana, pakeun nanjeur di juritan’, atau menegakkan kebajikan agar selalu jaya di kehidupan dan senantiasa memetik kemenangan.
***
Ambisi Sultan Agung yang tak dapat ia padamkan adalah menguasai Tanah Jawa, terutama menguasai Kesultanan Banten yang kuat di ujung barat pulau Jawa. Ia tak ingin di Jawa ada dua matahari yang bersinar sama kuatnya. Di sisi lain Sultan Agung juga ingin mengusir Belanda yang semakin hari kian jumawa.
Untuk itu Sultan Agung terus menyiapkan tentara yang kuat, dengan dua penasihat militer yang cakap, yaitu Kalifah Imam dan Kiyai Surodono. Dengan pasukan tentara terlatih itu, dengan cepat Mataram merebut Wirosobo, Lasem, Pasuruan, Pajang, dan Tuban. Pamor Mataram sangat kuat, tak heran bila Kerajaan Palembang yang jauh pun takluk tanpa perlu menggelar ekspedisi militer untuk meminta mereka segera menyerahkan diri. Ekspedisi yang digelar Mataram kemudian tak lebih dari ekspedisi diplomasi belaka.Sayang, alih-alih Palembang yang jauh, Banten, Madura, Surabaya dan Blambangan saja tak pernah mau bergabung sebagai taklukan Mataram.
Sebelum Sultan Agung pun sebenarnya Mataram pernah menyerang Banten pada tahun 1596. Tak kurang dari 15 ribu tentara dari darat dan laut dikirim ke Banten waktu itu. Juga pada 1626 dengan bantuan Palembang. Namun tetap saja Mataram harus mundur terdesak kedigjayaan prajurit Banten.
Ketika orang-orang Belanda menguasai Sunda Kelapa yang mereka ganti menjadi Batavia, orang-orang Banten justru membiarkan hal itu terjadi. Salah seorang pejabat Istana Banten, Mangkubumi Arya Ranamanggala, berpikir tempat kedudukan orang Belanda itu dapat dijadikan penghalang atau benteng pemisah antara Mataram dan Banten. Itulah pula sebabnya mengapa Kerajaan Banten pun terkesan membiarkan Kompeni Belanda (VOC) memperkuat kedudukan mereka di Sunda Kelapa dengan membangun benteng pertahanan. Salah satunya, untuk menjadikan Batavia sebuah zona penyekat antara Banten dengan Mataram. Sayang, tak sepenuhnya strategi Mangkubumi Banten itu tepat. Kompeni, justru memanfaatkan konflik di antara kedua kerajaan pribumi itu untuk memperkuat kedudukan dirinya.
Pernah Sultan Agung mencoba merayu Kompeni Belanda. Ia utus wakil Mataram datang ke Batavia, bertemu Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen, bahwa apabila kompeni bersedia membantu penyerbuan Mataram ke Banten, kompeni akan dibolehkan membeli beras dari Mataram sebanyak-banyaknya. Usul itu ditolak Gubernur Jendral yang dipanggil orang Nusantara sebagai Murjangkung itu. Ia mengetahui maksud tersembunyi dalam perjanjian yang ditawarkan Sultan Agung tersebut.
Itu yang membuat Sultan Agung kemudian memalingkan fokusnya ke Madura. Pada 1625 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol mempersiapkan tentara Sumedang dan memimpin balatentara Mataram menyerang Pamekasan. Sementara urusan Kawedanan Sumedang diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Serangan Rangga Gempol gagal total karena kecerobohan dan sikap jumawa pemimpinnya. Pasukan Mataram dan Sumedang kocar-kacir dibantai pasukan Madura di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo.
Sultan
Agung tak pernah menoleransi kegagalan. Diutusnya pasukan untuk menghukum
Rangga Gempol. Kepala pangeran Sumedang itu dipancung, dipisahkan dari
badannya. Konon itu yang membuat makam Rangga Gempol kemudian ditemukan di dua
tempat, yaitu di daerah Lempuyangan Yogjakarta dan Jalan Karasak di Kotabaru.
Satu makam konon menyimpan kepalanya, satu makam lainnya menyimpan tubuh sang
pangeran. [bersambung]
[1] Pemuda tegap dengan paras yang tampan
[2] Memerintah, meski kata itu tak sepenuhnya tepat. Mengemban tugas membangun negeri, mungkin lebih kena.
[4] Tepatnya 1513
[5] Nama-nama desa itu masih ada hingga saat ini.