UKUR
Gelegar pertama meriam yang disulut Kompeni segera membuat nyali para prajurit Sunda ciut. Benar, tak banyak korban jatuh dari tembakan pertama itu. Sudut elevasi yang digunakan anak buah van der Plaetten terlalu mendongak sehingga peluru meriam jatuh dan pecah jauh di belakang pasukan penyerbu.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode -20
Segera perintah itu dilaksanakan para anak buah van der Plaetten. Mereka dorong tiga meriam yang tadinya disimpan di sudut berbeda di benteng Batavia itu ke sudut yang paling banyak diserang pasukan Ukur, pasukan yang mereka kira orang-orang Mataram. Kini berjejer tujuh meriam di sisi tersebut, siap memuntahkan peluru ke arah para penyerang yang terus bergulung-gulung datang. Meriam-meriam itu jauh lebih besar, dengan kekuatan tembakan yang berkali lebih dahsyat dibanding dua meriam yang pernah dihadiahkan VOC kepada Sultan Agung, saat Jan Pieterszoon Coen alias Murjangkung mencoba mengambil hati raja Jawa itu. Meriam yang oleh Keraton Mataram kemudian diberi nama Si Swoeh Brastho dan Si Sagoro Wono.
Berat tentu memindahkan meriam-meriam dari besi baja pejal itu. Namun itulah yang harus mereka lakukan bila ingin tetap hidup. Musuh-musuh itu harus usir sejauh-jauhnya. Bila perlu, dan akan lebih baik, bunuh!
Gelegar pertama meriam yang disulut Kompeni segera membuat nyali para prajurit Sunda ciut. Benar, tak banyak korban jatuh dari tembakan pertama itu. Sudut elevasi yang digunakan anak buah van der Plaetten terlalu mendongak ke atas, sehingga peluru meriam jatuh dan pecah jauh di belakang pasukan penyerbu. Namun suaranya yang menggelegar, kuat laksana petir di siang bolong benar-benar membuat nyali para prajurit Sunda, terutama yang sedang mencoba memanjat benteng, langsung jatuh. Mereka yang hampir mencapai tepian tembok benteng langsung lepas pegangan, kaget karena letusan. Orang-orang Sunda belum pernah mendengar gelegar sekuat itu dengan jarak begitu dekat. Gelegar petir sekuat itu pun jarang mereka dengar. Suara dentuman buatan paling keras tak lebih dari ledakan meriam bambu yang disulut anak-anak setiap Ramadhan, menandai buka puasa, sebagai salah satu permainan musiman.
Entah berapa banyak prajurit Sunda yang jatuh berdebam menimpa bumi, ditandai dengan jeritan yang bersahutan di seluruh pinggiran benteng. Mereka dipastikan menderita cedera berat kalau pun tidak langsung mati. Tembok benteng Batavia itu tak kurang dari tujuh meter tingginya.
Begitu para prajurit Sunda itu berusaha mundur untuk menghindar, segera mereka menjadi bulan-bulanan tembakan senapan para tentara Kompeni.
“Tembak! Isi kembali senapan! Tembak terus!” perintah van der Plaetten terdengar keras di pagi yang tiba-tiba hingar bingar itu.
Ukur yang melihat kondisi itu tak bisa membiarkan wadya balanya menjadi bulan-bulanan pelor senapan Kompeni. Dimintanya wadya balanya mundur.
“Mundur! Perintahkan mundur, sembunyi di tempat yang memungkinkan. Bukan hanya hari ini kita berperang. Jangan korbankan nyawa sia-sia!” teriaknya. Para perwiranya segera menarik para prajurit, memerintahkan mereka beristirahat namun tetap dengan dengan kesiagaan penuh.
Seharian itu bala tentara Sunda tak henti terus menyerang benteng Batavia dalam beberapa gelombang. Benteng tersebut mungkin sejatinya bukanlah benteng yang sangat kokoh dari sisi konstruksi. Awalnya ingin Coen Murjangkung ingin menamakannya Nieuw Hoorn, sesuai nama kota tempat tinggalnya di Belanda. Tetapi atasan Murjangkung di Belanda, yakni Dewan 17 Wali–De Heren Seventien, pada 1621 menamakan benteng itu Batavia. Nama itu diambil dari Batavir, nama suku bangsa Indo-German yang bermukim di tepi Sungai Rhein, lokasi yang kemudian dihuni bangsa Belanda. Benteng itu bahkan bentuknya seperti dipaksakan memanjang, mengikuti tepian sungai di belakangnya, dengan tembok batu-bata biasa saja. Namun harus diakui, disiplin para penghuninya, yakni tentara-tentara bayaran aneka bangsa, yang membuatnya seolah begitu kokoh tak tertembus.
Sore harinya, ketika layung mulai menyemburat mengiringi matahari yang perlahan surup, Ukur memerintahkan pasukannya kembali ke Jatina Nagara, tempat mereka bermarkas. Korban-korban dibawa dengan tandu, sementara yang masih bisa berjalan dipapah sesama prajurit untuk pulang. Cukup banyak pasukan Tatar Sunda yang perlaya. Tak kurang dari 100 prajurit banyaknya. Belum lagi yang menderita luka-luka, jumlahnya hampir dua kali lipat mereka yang mati di medan perang. Orang-orang yang terluka itu tak henti mengaduh kesakitan. Sekian orang dukun dan ahli tanaman obat segera turun tangan, membebat luka-luka yang diderita para korban, dibantu para prajurit bagian pertolongan. Sepanjang malam, mereka mengaduh, dan mustahil untuk mengikutsertakan mereka dalam serangan berikutnya, besok.
Malam itu, setelah berunding singkat dengan para perwiranya, Ukur meminta beberapa regu untuk menebang pohon, membuat alat pelontar sederhana. Alat itu mirip katapul untuk melontarkan batu atau ikatan jerami berapi. Seperti manjanik yang biasa dipakai di berbagai negara berbudaya perang, hanya jauh lebih sederhana karena harus dikerjakan semalam saja.
Sayang, waktu tak memungkinkan mereka membuat roda untuk mempermudah mobilisasi alat pelontar tersebut. Beberapa regu juga dimintanya untuk mengumpulkan daun-daun, ilalang kering, juga daun pisang kering. Pasukan yang dapat tugas pun segera menyebar ke berbagai arah, terutama ke arah timur, tempat dataran ilalang terhampar sepanjang mata memandang kalau siang. Sekitar dua jam kemudian, saat pulang para prajurit itu tak hanya membawa daun-daun dan ilalang kering, melainkan juga biawak, burung puyuh dan ayam-ayaman. Mereka masih ingat bahwa besok mereka harus makan, sehingga binatang-binatang yang ditemukan senyampang mengumpukan dedaunan kering itu pun mereka tangkap.
Ilalang dan daun-daun kering itu kemudian dibentuk menyerupai buntalan-buntalan padat. Diikat dengan tali kuat-kuat sehingga bentuknya menyerupai bola. Benar, itulah bola ilalang dan daun kering. Beratnya kira-kira dua-tiga kilogram.
Kini anggota regu pelontar segera menghubungi kepala dapur umum, meminta sebanyak mungkin minyak sisa-sisa menggoreng makanan. Minyak itu akan mereka campur dengan minyak jarak yang ada pada persediaan regu pelontar. Dengan minyak campuran itu pasukan Sunda akan mencoba membakar benteng kokoh yang dijaga pasukan Kompeni Belanda itu, besok.
Esok harinya, nyaris pada jam yang sama dengan hari sebelumnya, wadya bala Tatar Sunda kembali menggempur benteng Batavia. Kali ini gerakan mereka tidak semudah sebelumnya, karena kewaspadaan penghuni benteng pun sudah lain dari kemarin. Belum lagi mereka mendekat, letusan bedil mulai merobek senyapnya pagi hari. Setelah itu, tak ada lagi keheningan di seputaran benteng. Yang ada hanyalah letusan bedil, teriakan kesakitan dan makian keras.
Anggota regu panah bukan tak segera turun ke arena peperangan. Mereka mengendap-endap mencari mangsa, mengira-ngira kekuatan lontaran busur alias gondewa mereka. Namun sebelum posisi mereka berada pada jarak tembakan panah, peluru yang ditembakkan bedil-bedil serdadu Kompeni rata-rata sudah mengakhiri hidup mereka. Apalagi di dekat benteng itu yang ada hanya area berupa lapangan terbuka, tempat para prajurit Sunda dengan mudah menjadi sasaran empuk bidikan bedil Kompeni, karena tak adanya perlindungan.
Namun semua tak membuat semangat perang orang-orang Sunda sama sekali hilang. Mereka mencoba sekian banyak cara. Beberapa menggelondongkan kayu-kayu besar, berlindung pada kayu gelondongan yang mereka dorong sedikit demi sedikit mendekati benteng. Ada yang berhasil mendekati benteng, memasuki jarak tembak panah dan mengail nyawa satu dua serdadu Kompeni. Tak setelah itu, giliran dirinya menjadi sasaran bedil para Kompeni.
Ada yang nekat berlari-lari jig-jag dengan berlindungkan perisai sederhana, mendekati benteng. Beberapa lolos sehingga berada tepat di bawah benteng dan susah dibidik dengan bedil panjang para serdadu. Tapi lainnya justru tewas di jalan, karena perisai mereka bawa dengan mudah ditembus peluru bedil.
“Keluarkan katapel!” seru pimpinan pasukan katapel wadya bala Sunda. Segera seruan itu bergema diulang-ulang oleh beberapa orang anggota pasukan. Dari gerombolan massa keluarlah sedikitnya dua puluh katapel sederhana yang mereka buat semalam. Masing-masing katapel itu dioperasikan sekitar tujuh orang, termasuk prajurit yang menjadi bola-bola ilalang dan membawa sekian banyak guci berisikan campuran minyak jelantah dan minyak jarak.
“Siapkan!” teriak pimpinan pasukan katapel.
Segera perintah itu dilaksanakan. Setelah bola-bola ilalang ditempatkan pada tempatnya, seorang prajurit dngan cepat mengguyur bola-bola itu dengan minyak.
“Suluuuut!”
“Tembaaak!”
Begitu bola-bola itu disulut api obor, seketika itu pula api berkobar besar. Manakala pasak penahan pelontar dipukul lepas, bola-bola itu pun melesat ke angkasa, mengarah ke dalam benteng.
Sayang, pembuatan katapel yang hanya semalam, tanpa persiapan dan percobaan lebib dulu membuat hanya beberapa saja yang berfungsi sempurna. Bola-bola api itu masuk ke dalam benteng, menimbulkan ketakutan dan keriuhan tersendiri di dalam. Bola-bola lainnya kadang hanya menyentuh tembok benteng. Beberapa malah jatuh di antara prajurit Tatar Sunda yang tengah berusaha mendekati benteng.
Belum lagi setelah itu tiba giliran meriam-meriam itu dimainkan Kompeni. Gelegarnya tak henti-henti menghancurkan formasi penyerangan wadya bala Ukur.
Matahari baru saja turun dari puncaknya, pada saat di mana orang-orang sunda menyebutnya lingsir, Ukur memerintahkan pasukannya mundur.
Sekitar lima hari penuh wadya bala Sunda terus menggempur benteng tersebut. Nyaris tak ada kemajuan sama sekali. Wadya bala Sunda sama sekali tak membawa meriam, sementara benteng Batavia bukan benteng kayu yang bisa dihancurkan dengan dibakar beramai-ramai. Bahkan sebenarnya untuk membakar benteng itu pun belum lagi bisa. Begitu wadya bala Sunda masuk ke dalam jarak tembak bedil dan meriam, mereka langsung menjadi bulan-bulanan di area kosong yang memang sengaja dibiarkan orang-orang Kompeni itu.
Selama itu, tak ada kabar bahwa pasukan Tumenggung Bahureksa sudah tiba di Batavia.
“Bagaimana Kakang, apakah kita akan terus mencoba menyerang benteng, sementara pasukan Mataram yang seharusnya menjadi pasukan inti penyerangan, belum juga datang?”tanya Ngabei Tarogong di malam keenam mereka berkemah di Jatina Nagara.
Ukur diam, cukup lama. Sejujurnya dia pun lama-lama mengalami kebimbangan. Jika memang pasukan Mataram tak datang, apakah sebenarnya Mataram hanya ingin menggunakan tangannya untuk merebut Batavia demi kepentingan mereka? Sementara yang dia lihat saat ini, para Kompeni itu bukanlah lawan enteng. Salah-salah, ia hanya datang ek sini untuk emngorbankan pasukannya, mengorbankan nyawa teman-teman dan para abdi terbaiknya selama ini.
“Coba kita lihat sampai besok, Rayi. Bila memang mereka tak datang, Kanda tentu memilih kita pulang. Pulang sebagai seorang yang kena tipu orang-orang Wetan.” Akhirnya itulah yang ukur katakan sebagai jawaban. [bersambung]