POTPOURRI

Waktu Gunung Panten Masih Berhutan Jamblang

JAKARTA— Bukan salah para milenial Majalengka bila saat ini mereka hanya tahu Gunung Panten sebagai lokasi wisata dan olahraga paralayang, gantole dan sejenisnya. Tapi jelas salah kami para pendahulu anak-anak muda itu bila tak pernah bercerita bagaimana Panten, Gunung Margatapa dan perbukitan sekitarnya pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari petualangan anak-anak muda zaman itu. 

Di tahun-tahun awal 1980-an, Gunung Panten—sebenarnya hanya dataran perbukitan, masih tergolong hutan. Bukan rimba raya yang tak pernah didatangi manusia, memang. Bukit Panten dan kawan seiringnya, Margatapa, yang memanjang di selatan Majalengka itu lebih berupa hutan yang vegetasinya berbaur antara pepohonan yang tumbuh sejak lama dengan sendirinya, dengan pepohonan yang dibudidayakan warga.

Entah bagaimana mulanya, mungkin juga tak luput dari pertolongan gerombolan kera yang menghuni perbukitan, dataran Panten dan Margatapa saat itu ditumbuhi pohon-pohon Jamblang (Sunda: Duwet). Jarak antara satu dengan pohon Duwet lainnya kadang tak lebih dari setengah meter. Itu yang membuat perbukitan Panten lebih menyerupai hutan dibanding perkebunan yang dengan kasat mata terlihat campur tangan manusianya.

Selain pohon-pohon Duwet, pohon Mangga dalam banyak jenis juga tumbuh di sana. Mangga dalam basa Sunda disebut ‘buah’. Yang saya ingat di zaman kelas 4 SD sekitar tahun 1981 itu, jenis mangga terbanyak adalah buah Werak (mangga kenyot atau mangga genjor), buah Cengkir (saat ini dengan mudahnya disebut Mangga ‘Indramayu’), buah Bapang (buahnya manis namun berserat banyak), buah Golek (bentuknya sedikit Panjang, seperti golek), dan sangat sedikit tapi ada, mangga Harum Manis.  Saya masih ingat, saat bapak jualan ikan asin dengan ‘ditanggung’ (dipikul) naik turun perbukitan mendatangi kampung-kampung di sana, pulangnya pikulan selalu penuh dengan aneka hasil bumi. Jadi, bapak masih harus ke pasar lagi esoknya untuk menjual hasil bumi hasil barteran dengan para penduduk kampung-kampung di punggung bukit Panten-Margatapa itu.

Waktu kelas 4 SD itu saya sudah menjadi ketua regu Singa di sekolah. Sebenarnya secara usia belum saatnya menjadi Penggalang. Masih harus menjadi Siaga yang kelompoknya disebut ‘Barung’, bukan regu. Tetapi karena di SD kami baru sampai kelas 5, dan kami kelas 4 adalah angkatan kedua, maka kelas 4 dan 5 pun sudah dijadikan Penggalang Ramu, alias Penggalang awal. Itu agar SD kami bisa ikut dalam berbagai acara kepramukaan yang kala itu banyak digelar baik tingkat kecamatan atau pun kabupaten.

Saya ingat, ada sekitar empat regu putra dan empat regu putri di masing-masing angkatan. Yang saya ingat di kelas 5 ada regu Banteng yang diketuai Nana Supena, dan regu Kelinci yang diketuai Aman. (Saat akan dibuatkan surat tanda tamat belajar /STTB dan surat kenal lahir, sebagaimana lazimnya waktu itu, Aman meminta ada penambahan namanya menjadi Aman Sejahtera Permana).  Sementara di Angkatan saya, saya hanya mengingat Regu Singa yang saya ketuai dan Regu badak yang diketuai Asep Darmo Dikromo. Dua regu laki-laki dari masing-masing Angkatan, saya lupa.   

Saingan regu Singa saat itu adalah regu Banteng yang diketuai Nana Supena, anak kelas 5. Saya bahkan masih ingat nomor Gugus Depan (Gudep) sekolah kami, yakni 1165 untuk putra dan 1166 untuk putri manakala mewakili sekolah di dalam berbagai pertemuan kepramukaan ekstra sekolah.  

Agar tak kalah dari kelas 5 manakala latihan Pramuka yang diadakan setiap Jumat sore, regu kami sering berinisiatif bikin latihan atau kegiatan sendiri. Mungkin pula kepala saya sebagai ketua regu saat itu banyak dipengaruhi buku-buku bacaan anak bergenre petualangan seperti seri Sapta Siaga dan Lima Sekawan karangan Enid Blyton. Di hari Minggu, karena Sabtu saat itu bukan hari libur,  hampir setiap pekan kami melakukan acara ‘penjelajahan’ ke berbagai tempat. Pernah ke Gunung Batok di Kawasan Sumedang, lurus menyeberangi Sungai Cilutung. Sempat pula ke Gunung Tilu di wilayah Kecamatan Dawuan.

Semua ditempuh dengan berjalan kaki. Bukan sok sehat, lebih karena memang kami rata-rata datang dari keluarga yang tak mungkin memintai orang tua uang setiap pekan. Toh untuk bekal, kami cukup membawa air dalam ‘kimpul’ (velpes kecil wadah air yang biasa dibawa untuk perjalanan) dan rantang berisikan nasi dan lauk pagi yang disediakan orang tua masing-masing. Bahkan sebenarnya air pun mungkin saja tak terlalu penting. Selain kami bisa minum di mana pun—dulu kami sangat biasa minum air sumur, di setiap pekarangan rumah-rumah yang berada di pinggir jalan kala itu selalu tersedia gentong dengan siwur (gayung) dari batok kelapa untuk mengambilnya. Semua pejalan kaki yang kehausan bisa minum di situ karena memang itu disediakan untuk mereka.

Nah, termasuk perjalanan kami ke Gunung Panten. Sengaja saat itu mencari waktu di akhir musim Duwet, agar tak terlalu banyak berjumpa dengan para warga yang sedang memanen buah Duwet di lahan ‘milik’ mereka. Saya sering mendengar, para pemilik lahan tempat tumbuhnya buah Duwet itu tak jarang mencurigai anak-anak yang datang ke Gunung Panten mencuri buah-buah Duwet mereka. Mungkin saja benar. Di mata kami para bocah, mencuri sekeranjang-dua buah Duwet dari puluhan ribu buah Duwet masak yang bergantungan di sekian banyak pohon, rasanya tidak dosa-dosa amat. Bahkan mungkin kami pun tak akan sempat mencuri karena di bawah, sekian banyak buah Duwet matang yang jatuh sendiri tak terpetik pun tak kalah banyak untuk diambil.    

Benar juga, karena masa panen Duwet sudah lewat, sejak kaki bukit pun kami tak pernah menjumpai orang, apalagi para ‘pemilik kebun’ Duwet. Mungkin mereka sudah merasa cukup dengan panen, sehingga buah-buah terakhir yang masih ada pun dibiarkan begitu saja. Kamilah yang memanennya sepanjang perjalanan, hingga tak ada mulut seorang pun di antara kami yang masih bersih: semua lidah dan mulut sudah berwarna ungu karena Duwet yang kami makan.

Sesekali kami menjumpai buah Duwet Putih yang masak (mungkin saja ada yang tak  percaya bahwa ada jenis buah Jamblang berwarna putih susu, yang bila masak rasanya lebih manis dibanding Jamblang atau Duwet ungu). Biasanya, kami akan berebutan, karena Duwet putih saat itu pun tergolong agak langka.

Tekad kami memang mencapai puncak bukit, atau malah ke balik punggung bukit. Sebelum Kampung Pataking, Kampung Cibatu, Curug, Tarikolot dan Ciandeu di bagian lereng lain bukit ini, konon sebuah hutan yang lebih lebat dibanding sisi bukit yang dekat ke Desa Munjul. Bukan orang biasa yang bicara, melainkan Kuwu (kepala desa) Munjul –saat itu, Engkod Sutisna. Pak Engkod ini pernah kami jumpai saat acara Perkemahan Jumat-Sabtu-Minggu (Perjusami) di Desa Munjul, beberapa bulan sebelumnya.  Saya ingat nama itu karena dalam basa Sunda, nama itu ganjil. Engkod sering dipakai anak-anak untuk kata ‘nangkod’ alias gendong.

Nah, hutan itu disebut-sebut lebih banyak diisi berbagai jenis kera. Konon lagi, tak hanya berbagai jenis primata seperti monyet berbulu cokelat, namun ada pula Lutung yang hitam, Oa dan Surili.  Peusing (Trenggiling) dan Muka (Kukang) pun masih ada. “Ceunah mah malah loba Meong congkok, Sep,” kata Otong Rohyan, kawan saya yang badannya paling bongsor. “Kabarnya, malah masih banyak kucing hutan, Sep.”  Saat itu di kalangan anak-anak ada prestise tersendiri bila bisa memelihara kucing hutan.

Kami pun terus mendaki, sambil tangan tak pernah melewatkan menjangkau buah-buah Duwet masak yang dekat. Bila sebelumnya kami mengisi kantong-kantong plastic atau keranjang anyaman bambu masing-masing, makin ke atas tangan-tangan itu hanya sibuk mengisi setiap mulut pemiliknya karena keranjang sudah penuh terisi.

Tiba di puncak, tampaknya tak ada satu mulut pun yang tak mangap. Di hadapan kami, hanya berjarak satu meter dari sebuah pohon Kiara besar yang dahan-dahannya memiliki banyak sekali sulur menyerupai janggut, terletak sebuah batu demprak (ceper) menyerupai altar. Di atasnya terlihat sebuah tampir atau nampan berukuran sedang dari anyaman bambu berisi berbagai macam sesajian. Mulai dari bunga aneka warna (kembang tujuh rupa), duwegan (kelapa muda yang sudah dibolongi atasnya), dua atau tiga cangkir seng yang mungkin sekali berisikan kopi, macam-macam juadah manis, serta beberapa butir telur ayam kampung. Di dekat nampan, seikat sapu padi dan tapas (sabut kepala) masih mengalunkan asap. Kekagetan kami mulai bertambah manakala hidung kami pun seketika mencium asap dupa yang merebak.

Namun yang paling membuat kami terbeliak, dua ekor ular hitam sebesar lengan orang dewasa berada di samping batu ‘altar’ tersebut. Yang satu tengah asyik menelan telur ayam kampung, sementara lainnya—ini yang bikin saya heran, memasukkan kepalanya ke dalam liang duwegan. Lalu manakala ia keluarkan kepalanya, ada saat-saat seolah ular itu tengadah, membiarkan air kelapa muda turun membasahi kerongkongan dan masuk ke sekujur tubuhnya. Gerakan tersebut memungkinkan saya melihat di masing-masing ulat hitam itu terdapat sebuah lingkaran merah, tepat di leher keduanya, hingga seolah kedua ular itu mengenakan sebuah kalung.

Tak perlu suara di antara kami. Cukup dengan saling memandang satu sama lain, kami tahu apa yang harus dilakukan. Memang, setiap kami memegang sebatang tongkat. Ada yang dari bambu, saya sendiri memegang tongkat kayu Sonokeling yang lurus, kuat dan liat. Tapi kami tak memilih menjadikannya pemukul.

Tanpa dikomando, kami segera balik badan dan berlarian menuruni bukit. Saya berlari cepat, merasa dikejar kedua ular besar yang ganjil tersebut. Baru setelah bertemu  saung (dangau) pertama yang terlihat ditempati orang, kami berhenti.   Waktu setelah beristirahat saya ceritakan hal itu, yang punya saung hanya tertawa.

Menurut dia, di puncak Panten memang masih suka ada orang-orang datang untuk  bertapa. Diantar Kuncen (Juru Kunci) biasanya mereka datang untuk munjung alias memuja makhluk halus demi mendapatkan kekayaan. “Aya nu rek nyupang (memuja siluman monyet), ngipri ka siluman oray, nyegik ka babi ngepet, ngecit ka Tuyul, loba jenisna lah,” kata dia. “Ada yang nyupang atau memuja siluman monyet, ngipri atau memuja siluman ular, nyegik menjadi babi ngepet, ngecit memuja Tuyul. Banyak lah..”

Pada sekitar 2010, beberapa bulan sebelum peresmian wahana paralayang di Panten, saya bersama ayah-ibu dan anak-anak pernah kembali menyambangi Panten. Saat itu masih tersisa nuansa hutan, meski pepohonan mulai jarang dan di sana-sini berbagai gawir (tebing) mulai dicakari alat-alat berat, selokan dipadatkan. Tapi saat itu saya sudah tak menemukan batu altar yang saya temukan saat usia 11. Pohon Kiara tua yang berjenggot itu pun sudah tak ada. Kemajuan—katakan saja demikian, kadang membuat generasi tua kehilangan tempat untuk mengenang masa muda mereka.

[dsy]

Back to top button