POTPOURRI

Yang Tak Diucapkan, Tapi Dimaksudkan: Menyimak Cinta dan Luka dalam Bahasa Sehari-hari

oleh : IRZI Risfandi

Tidak semua yang kita rasakan bisa kita ucapkan. Dan tidak semua yang kita ucapkan menyampaikan sepenuhnya apa yang kita rasakan. Sehari-hari, kita hidup di antara kata-kata yang diucapkan dan yang hanya disiratkan. Kita bicara, mendengar, menjawab, bertanya—tapi banyak di antaranya bukan sekadar bahasa langsung, melainkan pesan-pesan yang tersembunyi di balik cara bicara, nada suara, bahkan diam itu sendiri. Inilah dunia makna yang tak terlihat di permukaan: implikatur. Kata ini terdengar teknis, berasal dari dunia linguistik dan pragmatik, tapi kalau kita lihat lebih dekat, implikatur adalah cara manusia menyampaikan isi hatinya tanpa harus mengatakannya secara gamblang.

Dalam tulisan atau teks, kita mengenal istilah subteks: makna yang hidup di balik dialog, narasi, atau adegan. Tapi dalam kehidupan nyata, yang jauh lebih sering terjadi adalah percakapan lisan—dan di dalamnya, implikatur bekerja seperti aliran bawah tanah: tenang, nyaris tak terlihat, tapi membawa banyak sekali muatan perasaan. Kita jarang mengatakan “aku sedih”, tapi kita bilang, “Aku tidur duluan, ya.” Kita jarang mengaku rindu, tapi kita bilang, “Kok kamu lama banget balesnya.” Kita tak selalu bilang “aku takut kehilanganmu”, tapi kita tanya, “Tadi kamu ke mana aja?” Kalimat-kalimat ini bukan tentang tidur, atau pesan yang telat, atau soal lokasi. Ia membawa lapisan makna yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang mau mendengarkan lebih dalam.

Yang menarik dari implikatur adalah: ia sangat manusiawi. Ia muncul karena kita tidak selalu bisa atau berani jujur. Kadang karena malu, kadang karena menjaga, kadang karena merasa tak layak bicara terus terang. Tapi bukan berarti pesan itu tak penting. Justru yang disiratkan sering kali lebih mendalam dari yang diucapkan. Seorang ayah, misalnya, mungkin tidak pernah bilang “aku bangga sama kamu”, tapi ia diam-diam datang ke semua pentas kecil anaknya. Ia tak pernah memuji, tapi selalu memastikan bensin motor anaknya penuh. Dalam setiap “itu pulangnya jangan malam-malam amat”, terselip kekhawatiran yang dalam, cinta yang kikuk, tapi tetap hadir. Itulah implikatur: cinta yang berbicara tanpa harus disebut cinta.

Saya teringat satu percakapan pendek di masa kecil. Ibu saya, di dapur, bertanya, “Udah nyiapin baju besok?” Saya jawab belum. Tapi setelah itu saya diam. Dan entah kenapa, saya tahu bahwa itu bukan sekadar pertanyaan tentang baju. Ia adalah cara ibu saya mengingatkan, “Besok kamu ada ujian, aku tahu kamu lagi gugup.” Kalimatnya tidak menyebutkan ujian, tidak menyebutkan kecemasan, tapi saya tahu. Karena saya belajar membaca bukan hanya kata-kata, tapi juga nada, waktu, dan relasi. Itulah cara implikatur bekerja: kita tak hanya mendengar “apa yang dikatakan”, tapi juga mengira-ngira apa yang dimaksudkan.

Implikatur bisa menghangatkan hati, tapi ia juga bisa menyakitkan. Karena tidak semua yang disiratkan bersifat manis. Kadang, dalam satu kalimat ringan, kita bisa merasa ditolak, dicueki, atau diabaikan. Seorang kekasih berkata, “Lagi sibuk, ya,” bukan karena ingin tahu kegiatanmu, tapi karena ia kesepian. Dan jika kamu jawab “Iya, kerjaan numpuk,” ia mungkin tidak berkata apa-apa lagi. Tapi di dalam dirinya, ia merasa makin jauh. Makin tidak penting. Implikatur bisa jadi jembatan, tapi juga jurang. Tergantung seberapa jeli kita membacanya. Tergantung seberapa siap kita menyimak bukan hanya bunyi, tapi makna yang berjalan sembunyi.

Dalam relasi rumah tangga, ini terjadi hampir setiap hari. Seorang istri bilang, “Gelas ini dari tadi gak dicuci.” Itu bisa jadi teguran biasa, atau bisa juga bentuk kekesalan yang sudah lama dipendam: tentang kurangnya bantuan, tentang lelah yang tak dihargai, tentang peran yang tak terbagi adil. Kalimatnya tidak frontal. Tapi rasanya bisa menyentak. Atau sebaliknya, ketika suami berkata, “Nasi gorengnya beda, ya hari ini,” ia mungkin sedang bicara tentang rasa, atau sedang mencoba menyentuh kenangan. Tentang pagi-pagi yang dulu sempat romantis, tentang masakan istri yang ia rindukan saat harus lembur terlalu sering. Tak ada kata “rindu” dalam kalimat itu, tapi kalau didengar dengan hati, kita bisa menemukannya di sana.

Kemampuan menangkap implikatur bukan bakat, tapi hasil dari kehadiran. Hadir sebagai pendengar. Hadir sebagai pengamat yang tidak buru-buru merespons. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita kadang gagal menangkap isyarat karena kita terlalu sibuk menunggu giliran bicara. Padahal, banyak orang di sekitar kita hanya butuh didengarkan. Bukan untuk apa yang mereka katakan, tapi untuk apa yang tak mereka bisa katakan. Dalam cerita yang mereka ulang-ulang, dalam tawa yang sedikit terlalu keras, dalam diam yang sedikit terlalu lama—selalu ada sesuatu yang ingin kita pahami, kalau kita mau berhenti sebentar dan benar-benar menyimak.

Implikatur adalah bentuk komunikasi yang lahir dari relasi. Ia tidak bisa berdiri sendiri. Sebab makna yang tersirat hanya bisa ditangkap oleh mereka yang saling mengenal. Itulah mengapa orang asing sulit membaca kita, dan mengapa orang terdekat bisa menebak suasana hati kita hanya dari satu kata. Seorang sahabat yang bilang “Kamu sehat-sehat aja, kan?” bisa jadi sedang menyembunyikan kekhawatiran karena mimpi buruk yang ia alami tentangmu semalam. Dan hanya kamu yang bisa tahu itu bukan basa-basi. Karena kalian punya sejarah. Dan sejarah itu membuat kalimat biasa jadi penuh makna.

Dalam puisi, kita sering terlatih membaca simbol. Kita tahu bahwa laut bisa berarti rindu, dan malam bisa berarti kehilangan. Tapi dalam hidup sehari-hari, kita kadang lupa bahwa pasangan kita, orang tua kita, atau sahabat kita juga sedang menulis puisi-puisi kecil lewat ucapan-ucapan biasa. Mereka sedang menyiratkan sesuatu, menunggu kita membacanya. Mereka tidak menulis bait, tapi mereka menyusun kalimat-kalimat yang terdengar ringan, tapi bisa meneteskan air mata kalau dibaca dengan benar. “Jangan pulang malam-malam.” “Makan yang cukup.” “Tidurnya jangan larut-larut.” Semua itu bukan perintah. Tapi cinta yang menyamar jadi perhatian.

Di sisi lain, belajar membaca implikatur juga berarti belajar mengenali batas. Karena tidak semua hal yang tidak diucapkan bisa atau harus ditebak. Kadang orang diam karena tak ingin dibaca. Kadang orang berbicara lurus karena ia lelah dengan permainan makna. Maka dalam menyimak implikatur, kita juga harus rendah hati. Tidak semua diam harus ditafsirkan sebagai luka. Tidak semua tanya harus dijawab dengan curiga. Kita perlu jernih, bahwa implikatur bukan permainan kode, tapi percakapan hati-hati antara dua manusia yang ingin tetap saling terhubung, tanpa menyakiti.

Saya percaya, implikatur adalah bentuk bahasa yang paling halus tapi juga paling dalam. Karena di dalamnya ada kerentanan yang sedang disamarkan. Ada rasa yang belum bisa keluar sebagai kalimat utuh. Dan ketika seseorang cukup percaya pada kita untuk menyampaikan hal itu secara tidak langsung, maka itu adalah bentuk tertinggi dari keintiman. Karena ia tidak sedang menyuruh. Ia sedang berharap. Ia tidak sedang menguji. Ia sedang membuka sedikit ruang untuk kita masuk, jika kita siap.

Maka ketika seseorang berkata, “Aku gak apa-apa, kok,” mungkin yang ia maksud adalah: “Tolong tanya aku lagi.”
Ketika seseorang berkata, “Tadi kamu di mana?” mungkin yang ia ingin dengar adalah: “Aku kangen kamu.”
Dan ketika seseorang hanya duduk diam di sebelahmu setelah hari yang panjang, mungkin yang ia ingin katakan adalah: “Terima kasih sudah tetap di sini.”

Dunia terlalu penuh dengan kalimat. Tapi yang paling membuat kita merasa hidup bukan selalu yang terdengar. Justru yang tersirat, yang halus, yang samar, yang muncul di sela-sela keheningan atau jeda itulah yang paling menyentuh. Di sanalah kita menemukan bahwa cinta, perhatian, kesedihan, atau harapan tidak selalu berteriak. Mereka sering hanya berbisik. Dan selama kita masih mau mendengar, selama kita masih hadir di antara bunyi dan makna, maka kita sedang belajar satu hal paling penting dalam hidup ini: menyimak yang tak diucapkan, tapi sungguh dimaksudkan.

2025

Back to top button