POTPOURRI

Zaman Bandung Masih Dipenuhi Lelembut dan Makhluk Halus

Pada suatu waktu tulang-tulang dan kepala kerbau berjatuhan di dalam sebuah rumah pejabat kabupaten. Bupati “S” penasaran terhadap kejadian aneh tersebut, dan memutuskan untuk datang dan bermalam di rumah itu. Namun ketika ia menempati sebuah tidur untuk beristirahat, ranjang itu berguncang-guncang dan terangkat dari lantai.

JERNIH—Pada akhir paruh pertama abad 19, Bandung masihlah wilayah yang sepi dan berhutan. Paling tidak, itu yang disaksikan Pendeta Baron van Hoevell yang megunjungi Bandung pada 1847.

Dalam bukunya, “Reis Over Java, Madoera an Bali in het Miden van 1847”, ia mengisahkan bahwa “Dari Desa Bandung saya tidak memiliki hal khusus untuk diceritakan, tetapi ada beberapa perumahan orang Eropa, empat atau lima pejabat pengusaha teh.”  

Baron van Hoevell menggambarkan suasana Bandung yang masih penuh belantara, angker dan masih banyak dihuni hewan liar. Ia menulis,”…Kawah besar yang mengeluarkan asap di tengah hutan yang tak tertembus, yang menjadi tempat perlindungan badak-badak. Perkebunan teh dan nila yang luas, lahan-lahan perkebunnan gula serta hutan alang-alang tempat harimau mengincar kijang dan burung-burung merak, pohon-pohon waringin raksasa, serta sungai-sungai jernih yang mengalir dari riam ke riam.”

Banyaknya rawa-rawa sisa dari Danau Bandung purba turut menyuburkan penyebaran penyakit, seperti malaria. Tidak aneh bila saat itu Bandung juga dikenal sebagai kinderkerkhof (kuburan anak) karena tingginya tingkat kematian anak-anak karena penyakit.

Keadaan Bandung yang seperti itu wajar menimbulkan maraknya kisah-kisah supranatural. Makhluk halus dan roh-roh mendapatkan kedudukan tinggi dalam masyarakat Sunda saat itu. Jejak kepercayaan nenek moyang juga terlihat kuat dari keberadaan situs-situs kabuyutan di seantero Bandung. Di antaranya terdapat di Batulonceng (Lembang), Gunung Bukit Tunggul, Gunung Wayang, dan lainnya. Pada abad ke-19 bahkan masih ditemukan situs kabuyutan di bawah pohon karet di halaman Gedong Papak (balaikota), di sekitar Pasar Balubur (Jalan Tamansari), Bukit Dago dan Jalan Industri.

Di kawasan Kiaracondong ada makam Mbah Malim yang erat hubungannya dengan keangkeran kawasan Bandung tempo dulu. Sosok Malim yang nama aslinya Jaluddin, disebutkan berasal dari Kampung Pariuk, Limbangan, Garut. Ia diyakini sebagai keturunan prajurit Mataram yang enggan pulang kembali ke Jawa setelah gagalnya penyerangan Mataram ke Batavia. Kakeknya itu yang tidak ingin pulang ke Mataram, dan menetap di Limbangan.

Jaluddin dikenal sakti, bisa mengalahkan para lelembut yang saat itu masih banyak polah mengganggu manusia. Ia berperan membersihkan rawa Geger Hanjuang di selatan Ujung Berung yang terkenal angker agar bisa dihuni dan ditinggali penduduk. Mendengar kesaktiannya, Bupati Bandung Wiranatakusumah II mempercayakan Jaluddin membersihkan mahkluk halus dan binatang buas di lahan yang kemudian dijadikan Alun-alun Bandung.

Atas keberhasilannya itu ia mendapatkan tanah yang cukup luas di wilayah yang kini menjadi wilayah Kiaracondong. Oleh masyarakat Jaluddin kemudian dikenal sebagai “Mbah Malim” atau “Mbah Pawang”. Jaluddin diperkirakan meninggal dunia sekitar 1850 dan dimakamkan di Gang Mbah Malim, Babakan Surabaya, Kiaracondong.

Kesaksian warga Eropa

Warga Eropa yang skeptic yang mendiami kawasan Priangan, mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang masih asing itu. Tidak jarang mereka mengalami sendiri kejadian-kejadian aneh di luar nalar manusia. Misalnya:

-Pada tahun 1834, di Soekapoera (Tasikmalaya) ada sebuah keluarga terhormat bernama Teisseire. Mr T adalah seorang inspektur pemerintah yang menangani nila (indigo). Suatu hari di rumahnya, ketika sedang makan, sebuah batu jatuh di atas mejanya. Kejadian tersebut berlangsung setap hari selama sekitar dua pekan. Batu-batu berjatuhan, bukan hanya di ruang makan, melainkan di setiap ruangan di rumahnya.

-Beberapa tahun setelah kejadian tersebut, fenomena serupa terjadi lagi di Bandung. Saat itu Mr Van Gaasbeeck yang menjabat sebagai asisten residen, mengatakan bahwa bupati setempat dan para pemimpin pribumi menegaskan bahwa hal seperti itu sering terjadi di Bandung. Hanya saja mereka jarang menceritakan kejadian-kejadian tersebut karena tak ingin diejek oleh “Orang-orang Belanda yang skeptic.”

-Pada suatu waktu tulang-tulang dan kepala kerbau berjatuhan di dalam sebuah rumah pejabat kabupaten. Bupati “S” penasaran terhadap kejadian aneh tersebut, dan memutuskan untuk datang dan bermalam di rumah itu. Namun ketika ia menempati sebuah tidur untuk beristirahat, ranjang itu berguncang-guncang dan terangkat dari lantai. Sang Bupati langsung keluar ruangan, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan niatnya tidur di rumah tersebut. Sementara para pelayan dan anak bupati yang berada di luar, kaget dan syok karena menyaksikan pendar-pendar cahaya terang keluar dari kamar tidur yang dipakai Sang Bupati.

-Yang paling menarik, masih di rumah tersebut, batu-batu yang berjatuhan dari atap itu kemudian ditandai dan dilemparkan ke lembah Cilandong, yang jaraknya hanya sepelemparan dari halaman rumah. Disebutkan kedalaman lembah ke bawah itu sekitar 150 meter. Anehnya, setiap kali sebuah batu yang sudah ditandai itu dilemparkan, kurang dari semenit batu-batu itu terlempar kembali ke halaman rumah tersebut.

-Tuan M Ament di Distrik Priangan pernah bercerita tentang makhluk halus di sebuah rumah kecil di Bandung. Seorang petugas keamanan kemudian ditugaskan ke sana, dipandu seorang wanita tua, diikuti M Ament, seorang asisten dan bupati saat itu.

Saat wanita tua itu melintasi ambang pintu, kakinya langsung dicengkeram, dilemparkan ke bawah dan diseret oleh tangan yang tak terlihat. M Ament ikut ikut memasuki rumah tersebut, dan mendapati sejumlah besar pasir dilemparkan seseorang –sesejurig—ke dadanya dengan sangat keras. Ketika M Ament menceritakan kembali kisah tersebut pada 1870 di Batavia, ia mengatakan tak ingin pernah kembali mengalami kejadian tersebut. [ ]

Sumber : antara lain H.P. Blovatsky, The Theosophist part II 1880-1881, Bombay, Theosophical Society 1880), halaman 236 dan Creusesol, Bestaat de Stilie Kracht (Semarang GCT van Dorp, 1916), sebagaimana termuat dalam ‘Pesona Sejarah Bandung’, M Ryzki Wiryawan, Layung, 2020.  

Back to top button