Puisi

5 PUISI DEDY TRI RIYADI

SENSUS

Kita akan pergi jauh
hanya untuk mencatat –
nama dan usia.
Tak peduli betapa jauh
harus berjalan dari Nazaret
ke Betlehem atau berlari
dari Ittoqqortoormiit
hingga ke Bena.
Menangisi lepuh telapak kaki
tak ubahnya selesai berdoa
dan percaya bahwa setiap janji
akan digenapi.
Kita, ikan dengan arus sungai
dan batu tersendiri. Lepas satu
sisik, tak mengapa, asal tak
tergoda pada yang mencelupkan
tangan dan kaki.
Kita ikhlas mengiring arus,
mungkin masuk ke dalam lubuk,
mungkin bebas ke laut lepas.
Karena pada akhirnya,
kita hanyalah angka
dan nama-nama
yang tertera rapi
tapi tak akan pernah
bisa menjawab satu pertanyaan
sesederhana apa pun nanti.
Sementara, hidup
adalah perkara
menyerahkan diri
untuk dicatat –
dengan secermat-cermatnya.
2025


CATATAN REDAKSIONAL

Bibel, Ittoqqortoormiit, dan Ikan-Ikan Statistik

oleh IRZI Risfandi

Puisi “Sensus” karya Dedy Tri Riyadi adalah semacam perenungan metafisik yang dibungkus dalam jubah administratif. Bayangkan Musa tersesat di tumpukan formulir Excel atau Yusuf dan Maria antri e-KTP di Betlehem sambil mengeluh soal sistem antrean. Inilah puisi yang berhasil menyulap kegiatan paling membosankan dalam hidup manusia—pendataan populasi—menjadi ziarah eksistensial yang biblikal, puitik, dan menusuk dengan manis. Dedy, yang sehari-hari bergulat dengan perencanaan iklan dan pemasaran di Jakarta, tahu betul cara meramu diksi yang mengilap tanpa kehilangan kedalaman. Di tangan penyair asal Tegal ini, bahkan angka pun bisa berkhotbah.

Awal puisinya menggiring kita ke wilayah naratif: perjalanan dari Nazaret ke Betlehem—satu referensi kuat dari kisah sensus Kaisar Augustus dalam Lukas 2:1-5—diromantisasi dengan nada modern dan jarak geografis yang sengaja diperlebar: dari Greenland ke Bena. Tapi ini bukan soal lokasi, melainkan soal pengakuan keberadaan. Kita berjalan jauh, bukan demi tujuan spiritual, melainkan karena negara ingin tahu usia kita. Di situlah letak ironi: perjalanan rohani berubah jadi proyek logistik; niat suci diubah menjadi angka yang masuk server sensus.

Lalu, tiba-tiba kita dilempar ke dunia semi-akuatik: “kita, ikan dengan arus sungai dan batu tersendiri.” Di sini puisi mulai berbelok—dari yang birokratis menuju yang alegoris. Dalam dunia simbolik ini, ikan menjadi makhluk pasrah dan mandiri sekaligus: ia ikut arus tapi tetap menyimpan batu. Apakah ini simbol iman, kepribadian, atau semacam integritas spiritual yang tak bisa dilucuti? Bisa jadi. Lepas satu sisik tak masalah, asal tidak tercemar oleh yang mencelupkan “tangan dan kaki”—sebuah frasa multitafsir yang menggoda: apakah ini godaan sistem? Penindasan kekuasaan? Atau sekadar kebasahan ideologis dari luar?

Dan klimaksnya, seperti layaknya ayat yang diucapkan dengan tenang tapi mengguncang: “Karena pada akhirnya, kita hanyalah angka dan nama-nama…” Kalimat ini terdengar seperti keluh kesah dalam kitab Pengkhotbah: bahwa segala jerih payah di bawah matahari berakhir di laci data, atau di baris laporan penduduk. Dedy merangkum kesadaran modern yang absurd: bahwa eksistensi kini harus diverifikasi oleh pendataan, dan kehidupan adalah perkara menyerahkan diri untuk dicatat—seolah keselamatan pun tergantung pada keberadaan kita dalam database yang valid.

Dedy Tri Riyadi, dengan latar profesionalnya di dunia periklanan dan strategi pasar, sepertinya sangat sadar bagaimana bahasa bisa menyamar jadi makna-makna palsu. Dalam puisi ini, ia memilih jalan sunyi: membongkar ilusi dokumentasi manusia dan menggantinya dengan narasi spiritual yang tetap tajam dan kontemporer. “Sensus” bukan sekadar puisi tentang birokrasi atau iman; ia adalah liturgi dari sebuah zaman yang membingungkan, di mana pertanyaan paling sederhana justru tak bisa dijawab oleh dokumen paling lengkap.


2025


KUIL

Aku jaga juga
sebentuk kembang
untuk menandakan
kau masih ada & hidup.
Mahkotanya, meski
kuncup, lengkap dengan
ujung-ujungnya yang meliuk.
Tangkainya tegak dan lurus
seperti iman dan pengharapan.
Walau warnanya cenderung
gelap, percayalah, cahaya
datang juga dengan bayang.
Hanya katakan, atau paling
tidak isyaratkan, “Di pintu
sebelah mana, kau akan
muncul.”
Sebab hidup adalah
pelataran kuil
yang selalu
disesaki peziarah.

2025
*** 
TELEPON

Hanya suara yang akan
mempertemukan kita
di dalam hidup.
Ia memanggilmu,
dan kau terpanggil
untuk datang,
jika mau.
Taman memukau
terhampar
di bawah langit hijau
atau cuma lembah
penuh batu-batu besar
muncul di antara
panggilan itu.
Sebagai alasan
agar kau ingat dan
menginginkan
mendengar lagi
suaranya,
kau simak juga
cara api membakar semak.
Meski sampai habis bara
dan tinggal debu diembus angin,
Kau tak akan pernah jadi nabi.

2025


MUSEUM

Segalanya terperangkap
untuk diletakkan pada
sebuah lanskap –
seperti sisa gulai kepala ikan
yang kita pisahkan kuahnya
sebelum masuk ke
keranjang sampah.
Begitu pintu terbuka,
setiap hari dalam hidup
kita menjelma manekin.
Menunggu seseorang
mengganti gaun atau
sekadar memasang pita.
Tapi kau tak perlu memasang
kaca & tanda “Jangan disentuh!”
sebab tak pernah ada jeda
antara masa lalu & hari ini.
Kecuali saat anak-anak mulai
mengayunkan kapaknya, segera
setelah mencecap secawan anggur.

Dan mereka akan meninggalkan
jejak peluk di tempat tidur kita,
dan membangun museum
dalam hidup mereka,
dengan mata tertutup,
tak jauh dari kamar kita.

2025
*

PERJAMUAN

“Usia itu seperti
satu-satunya
meja di rumah,”
katamu.
Berapa banyak makanan
atau tamu yang datang,
ia selalu akan menjadi batasnya.
Hanya saat kau sendiri,
ia seolah tak berujung
meski kau tahu—
di satu sisi, merasa terlalu
sesak letak kaki, betapa
kursi menjepit pinggang ini.
“Hidup,” kataku, “justru
sekadar perkara meletakkan
sebuah piring di atas meja itu.”
Bukan soal bagaimana
kau duduk di tepi meja
dan memandang ke arah
gulai kepala ikan di dalam
mangkuk yang minta segera
masuk ke dalam mulutmu.

2025


BIODATA :

Dedy Tri Riyadi, lahir di Tegal dan kini berdomisili di Jakarta. Ia merawat kata-kata dalam kesehariannya sebagai penulis, sekaligus bekerja di bidang pemasaran dan perencana strategis pemasangan iklan.

Check Also
Close
Back to top button