Puisi

5 PUISI FATIO NURUL EFENDI

MASIH INGIN TELANJANG

Kulepas baju pengantin dini hari,
Membiarkan tubuhku kau baca pelan,
Seperti mantra yang kau hafal
Tanpa suara.

Kita merenggut tidur satu sama lain,
Meninggalkan kantuk yang tak sempat lahir.
Aku nyaris menyerah memeluk entah,
Walau itu api yang tak pernah padam.

Cawan tumpah di antara paha,
Melebur sisa semalam yang enggan kering.
Aku tak ingin kelembutan,
Biar tubuh ini dihantam gelombang
Dan mendidih hanya oleh napasmu.

Jika esok kita kembali terjaga,
Biarkan aku tetap telanjang
Di bayangmu yang belum pergi.

2025


CATATAN REDAKSIONAL

Tubuh, Bayang, dan Mantra yang Tak Selesai Dibaca

oleh IRZI Risfandi

Puisi “Masih Ingin Telanjang” karya Fatio Nurul Efendi langsung menampar kita dengan intensitas yang tak basa-basi: ini tentang tubuh yang ingin tetap dikenang, dibaca, disentuh—bukan dengan hasrat semata, tapi dengan ingatan yang nyaris spiritual. Dari awal, kita sudah dilempar ke adegan pasca-intim yang tidak dingin, tapi penuh bara: baju pengantin yang dilepas dini hari, tubuh yang jadi kitab, pelan-pelan dibaca tanpa suara. Ini bukan sekadar puisi tentang seks, tapi tentang kerentanan yang dipilih dengan sadar, tentang tubuh yang tidak hanya ingin disentuh, tapi dipahami.

Fatio, penyair kelahiran Priuk yang besar di Tegal, memang dikenal lihai meramu sensualitas menjadi semacam liturgi lirikal. Ia aktif di berbagai ruang sastra seperti Indonesia Book Party dan kerap membagikan puisinya lewat Instagram @jinbun_amongraga—nama yang jika ditelusuri, punya akar spiritualitas Jawa. Maka tak heran jika dalam puisi ini, seksualitas dan spiritualitas berdansa liar, tapi tak kehilangan kesantunan. Lihat saja bagaimana ia menulis “kulepas baju pengantin dini hari” bukan sebagai adegan voyeuristik, melainkan sebagai pernyataan keberanian membuka diri sedalam-dalamnya: ini aku, dengan segala yang ingin kau baca tanpa suara.

Puisi ini juga menarik karena berhasil menggabungkan sensualitas dan kritik eksistensial. Ada cawan yang tumpah, ada “sisa semalam yang enggan kering”, dan ada tubuh yang “tak ingin kelembutan”—semua itu adalah simbol dari cinta yang tidak manis dan tak selalu butuh sentuhan halus. Cinta di sini panas, gelap, kadang kasar, tapi justru jujur. Ia bukan kasih sayang yang disterilkan; ia adalah badai yang dipeluk sambil tersenyum getir. Dalam dunia yang suka menata cinta dalam kalimat normatif dan relasi romantis yang rapi jali, puisi ini menyodorkan alternatif yang lebih raw, lebih liar, tapi tetap manusiawi.

Dan puncaknya? Kalimat paling lirih sekaligus paling tajam: “Jika esok kita kembali terjaga, biarkan aku tetap telanjang di bayangmu yang belum pergi.” Di situ, Fatio menegaskan bahwa telanjang di sini bukan semata fisik, melainkan status emosional yang belum selesai, luka yang ingin tetap dikenang, keintiman yang justru ingin dirawat dalam bentuk ketiadaan. Ia menggugat gagasan bahwa setelah bercinta haruslah move on, haruslah rapi. Puisi ini justru memelihara residu—sisa rasa, aroma, napas—sebagai bentuk kejujuran dalam mencintai dan kehilangan.

Dengan bahasa yang menggoda tapi tak jatuh pada vulgaritas, dan dengan imaji yang ganjen tapi tajam, Fatio Nurul Efendi menunjukkan bahwa puisi cinta tidak harus manis untuk jadi indah. Ia bisa pahit, bisa mendidih, dan tetap menyentuh tanpa harus menjelaskan semuanya. “Masih Ingin Telanjang” adalah ode untuk tubuh, untuk kenangan, dan untuk cinta yang tak bisa dirapikan dengan kata “selesai.” Dan itu justru yang membuatnya tak lekang dibaca—seperti mantra yang diam-diam kita hafal, meski tak pernah kita ucapkan.

2025


DUNIA PESTA

Kau dan aku,
Hanyalah badut di pesta
Yang sebentar lagi mematikan lampunya.

Aku belikan kau gulali,
Dengan koin receh yang kupinjam
Dari lorong sempit takdir,
Karena di dunia ini,
Bahkan cinta pun bisa berubah jadi utang.

Kita duduk di bangku bianglala,
Berputar-putar, mabuk oleh ketinggian semua janji—
Yang masa berlakunya cuma dua menit.

Di atas kita,
Lampu-lampu berkelap-kelip,
Sebelum padam,
Sebelum semua sadar:
Pesta ini tak pernah benar-benar milik siapa-siapa.

Aku memagut bibirmu,
Karena tahu,
Bahwa cinta pun
Hanyalah diskon musiman.

Dan ketika tenda roboh,
Musik berhenti,
Kita masih tertawa,
Walau tahu:
Kita cuma tamu
Yang salah undangan.

2025


MENYUSURI HUTAN DI MALAM HARI

Kita sama-sama diam saat rembulan merangkak di sela dahan dan pohon-pohon mulai bicara dengan bayangan. Bukan tak bisa membaca arah, hanya saja cara kita menerka bintang sudah lama berbeda.

Kau takut pada harimau, burung hantu, ular, dan aku takut kau celaka dan tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku kecil, dan aku gugup hanya dengan suara ranting patah. Aku tak bisa menjanjikan pelindung, hanya kehadiran yang tetap di sampingmu.

Waktu tak benar-benar kita lalui, hanya kita ulur seperti simpul yang tak tahu harus dilepas atau dikencangkan. Dingin mengendap dan kita terlalu sopan untuk saling memeluk.

Jika nanti kita berpisah dan masih dalam kenyasaran yang sama, aku ingin tubuhmu tetap tabah, setabah langkahmu saat memutuskan terus berjalan bersamaku tanpa tahu ke mana.

Mei 2025


DI KEMACETAN

Setelah jam 5 sore, kamu kembali bercengkrama dengan bunyi klakson dan wajah lesu yang terhalang setiap traffict light.

Sementara jarak tak dapat dihitung dengan waktu. Hitunganmu selalu meleset dan orang-orang semua mencoba melesat, seakan waktu adalah sesuatu yang bisa dikejar.

Rumah yang kau beli menghabiskan sedikit demi sedikit hidupmu yang tak seberapa itu, seperti jalan yang tak pernah selesai.

Orang-orang saling berteriak di jalan. Senggol-bacok, menjadi iklan di antara polusi yang mengejar tayang.

Sementara kamu
Masih tak tau jalan pulang

2024


DEKAPAN DALAM RIUH

1

Di atas rel,
KRL melaju seperti urat nadi yang tak sabar berdetak,
mengangkut tubuh-tubuh yang setengah hidup,
menggantung harap pada tiang baja,
membiarkan semalam tenggelam
di sela ciuman yang mereka lupa rasanya.

2

Di jalanan,
klakson menjerit,
desahannya, nafas terburu seorang pecinta,
tapi lebih dingin,
lebih asing,
pada elusan di paha
yang hanya bertahan sepanjang lampu merah.

3

Di atas gedung,
jari-jemari mengetuk keyboard,
meraba kulit yang tak mereka inginkan.

Setiap huruf jatuh,
seperti ciuman yang terpaksa,
bagai malam yang tak sempat berbisik
tentang rindu yang terselip di celah BH.

4

Sementara aku,
masih mendekapmu,
merasakan dingin yang tak mau reda
dari tubuh kita yang memanas.

Kau mimpi buruk yang ingin terus aku ulang,
ibarat luka yang kuhisap darahnya.

Dunia boleh berjalan,
tapi aku tetap di sini,
menghabiskan peluhmu
dalam dosa yang terlalu manis untuk dilepaskan.

Jakarta, 10 Januari 2025


BIODATA :

Fatio Nurul Efendi adalah penyair yang lahir di Priuk dan besar di Tegal. Ia kerap muncul dalam ruang-ruang sastra seperti Indonesia Book Party, serta aktif berbagi karya dan pemikiran lewat Instagram: @jinbun_amongraga.

Check Also
Close
Back to top button