5 PUISI GUSTI FAHRIANSYAH

MASSA KETERATURAN
Kau menarikku kuat hingga
degup jantung kita
jadi tangis-tangis kecil di persalinan.
Akan hadir kepala ketiga – sekumpulan doa
yang basah tiap malam.
Penanggalan terkelupas, lebih tertatih perih
di simpang jalan depan, benda linear
yang melempar diri ke ruang waktu
kemungkinan lebih kuat ledakan
Rumus mengeras, ruas-ruas pikiran panas
tangis mungil pecah di kamar belakang
dan jam tangan terus terbakar matahari
dua kali cepat dari kilat yang kita tatap
Sedang tanah-tanah lipatan
serta langit yang terus ditangisi
memakan banyak energi
di kejam sunyi.
Februari 2025.
CATATAN REDAKSIONAL
Degup, Doa, Dan Dunia Fisika Cinta
oleh IRZI Risfandi
Puisi Massa Keteraturan karya Gusti Fahriansyah ini seperti percakapan rahasia antara tubuh dan semesta yang nyaris pecah tapi memilih direkatkan dengan doa, degup, dan sedikit rumus fisika. Sekilas tampak sunyi dan eksistensial, tapi begitu ditelusuri, ia adalah puisi yang ganjen dalam cara yang sangat… ilmiah. Ya, puisi ini flirty tapi serius, sensual tapi intelektual—menggabungkan hasrat dan hukum termodinamika seolah-olah bercinta itu bukan hanya persoalan emosi, tapi juga reaksi energi. Dan jujur saja, ini segar.
Coba tengok bait pertamanya: “Kau menarikku kuat hingga / degup jantung kita / jadi tangis-tangis kecil di persalinan.” Ini bukan cinta yang malu-malu; ini cinta yang fisis, yang punya gaya tarik, punya massa, bahkan berpotensi memecah waktu. Bahkan kalau dipinjam logika Newton, “kau” dalam puisi ini jelas bukan sekadar tokoh pujaan—dia adalah gravitasi itu sendiri, pemicu kontraksi, ledakan, dan—ehm—proses penciptaan. Lalu lahirlah “kepala ketiga”, metafora yang bisa ditafsirkan sebagai anak, ide, atau mungkin—jangan-jangan—semacam entitas spiritual hasil hubungan dua tubuh dan segerobak harapan.
Gusti menulis dengan semacam keluwesan khas generasi pasca-2000: berani gelisah, tak takut “nyeleneh,” dan terbiasa mencampur puisi dengan istilah eksakta. Kata-kata seperti “benda linear”, “ruas pikiran panas”, “jam tangan terbakar matahari”, bukan sekadar bumbu gaya; ini cara si penyair meruwat realitas dengan bahasa sehari-hari anak STEM yang hatinya juga bisa patah. Dia menyulap konsep ilmiah jadi bahasa tubuh, membuat puisi ini terasa akrab bagi mereka yang mencintai bukan lewat puja-puji, tapi lewat data dan detak.
Sebagai penyair muda kelahiran Situbondo dan kini tinggal di Sumenep, Madura, Gusti Fahriansyah menunjukkan insting sastra yang dewasa dan sensual secara cerdas. Kita tidak sedang membaca puisi remaja galau yang diketik di notes HP tengah malam. Ini puisi yang digarap—disadari atau tidak—dengan kepiawaian dramaturgi dan narasi spasial. Latar seperti “kamar belakang”, “simpang jalan”, dan “langit yang terus ditangisi” bukan sekadar dekor; itu ruang emosi yang dikonstruksi dengan kalkulasi yang nyaris sinematik. Bahkan waktu pun diukur: “dua kali cepat dari kilat.” Jadi, siapa bilang puisi tidak bisa akurat?
Dan inilah kekuatan puisi ini: ia tidak takut tampil ambigu tapi tetap terarah, tidak malu jadi romantis tapi tetap rasional, tidak sungkan menyentuh tubuh tapi juga menyentuh langit. Di tengah dunia sastra yang kadang terjebak antara klise dan jargon kosong, Massa Keteraturan adalah contoh bagaimana puisi bisa tetap berbicara tentang cinta, kehamilan, waktu, dan kehancuran, tanpa harus terjebak pada bentuk lama. Ia adalah cinta yang digambarkan dengan hitungan dan api, tangis dan partikel, jam tangan dan simpang jalan. Cinta yang ditulis dengan keberanian untuk membakar rumus demi menyelamatkan rasa.
2025
LEDAKAN YANG MUNGKIN
Di luar kita, terdapat kehendak
yang sengaja dihantam entah kapan
dan kita, barangkali, akan berselisih
memisah dua kepala dengan cepat
serta kemungkinan liyan.
Rambatan petaka yang bisa cepat
cahaya dan getar relatif melebihi perkiraan
jadikan anak-anak kita tersedak
dengan tangis sendiri, hati sesak
tatapan hampa berhamburan –
semacam maut dalam genggaman.
Dahi kita yang sejak lama berkerut
baiknya dada tak bertumpukan angka-angka.
Februari 2025.
RAHASIA JARAK
Selangkah kita temukan perkara
bahwa rindu selalu bisa dipertemukan.
Kita mencari seberapa besar degup
dengan mengukur waktu
serta kecepatan sekat lintas jarak
menembus kemungkinan
yang tiap hari menghantui kita.
Namun, batas pandang selalu tampak
menjelma titik hitam serta kabur
lalu buta – menjatuhkan ketakutan
di dalam atau di luar dari kita.
Februari 2025.
JARAK JANGKA ANGKA KE KITA
Dalam jarak pandang kita
tak perlu menghitung waktu
terdekat membentuk pelukan.
Tubuh bekerja dalam gravitasi
sedang pelukan bukan ruang hampa
yang tak bisa kita hitung
besar-kecil tarikan massa,
dan kecepatan degup acak
jadikan kita jadi bias ruang.
Lempar saja tubuh kita
yang lepuh termakan pengap kamar
di luar, jam-jam dapat kita lempar
dan menyatu dengan gerak cahaya.
Februari 2025.
ILUSI RUANG
Bentangan jarak kita
menjadi perkara rumit –
siapa yang paling nyata
dan penuh kejujuran?
Pada tatap tak sejajar
kita mempertanyakan perhitungan
kesamaan gerak gelombang
suara dengan wajah penuh curiga
dalam kerja waktu dan jarak
Namun kita duduk di beda meja
musim, tempo, bahkan gravitasi
yang menjadikan macam bentuk kita
memudar oleh konsepsi ruang.
Februari 2025.
BIODATA :
Gusti Fahriansyah, lahir di Situbondo pada 30 Agustus 2001, dan kini berdomisili di Sumenep, Madura. Ia dapat disapa melalui akun Instagram: @gusti_fahriansyah.
‘