5 PUISI HERLINA

PUISI 1 (Sajak Hari Raya)
Setelah bulan puisi panjang itu
Tak ada hari raya untukku
Tak ada bunga mawar yang wangi
Tak ada kue lebaran yang tersaji
Hanya menyisakan pakaian sepi di mesin cuci
Tak ada perjamuan kenangan
Hanya merayakan lelah dalam pesta kesunyian
Tak ada tangan yang menggamit mesra
Hanya jemari sendiri yang mengepalkan duka
Tak ada tawa yang membuncah
Hanya sendok-garpu yang beradu dalam amarah
Lampu-lampu kota berpendar gemilang
Tapi jendela rumahku tetap redup dan muram
Perempuan-perempuan bersolek dalam kemeriahan
Sedang aku bercermin, menatap qadar dan kematian
Ternyata, puisi-puisiku adalah hari raya
Merayakan tiap-tiap derita yang kupelihara
Setiap lariknya adalah suguhan
Setiap rimanya adalah doa yang tertahan
Aku merayakan kesepian dalam baris-baris panjang
Sebab hanya di sana, aku benar-benar merasa pulang.
*
CATATAN REDAKTURIAL
Ketika Hari Raya Tak Punya Kue, Tapi Punya Puisi
Oleh IRZI
Di puisi ini, Herlina—penyair muda asal Garut yang lahir di tanggal sakral 17 Agustus 1999—menyulap sunyi menjadi suguhan dan kepedihan menjadi perjamuan. Puisi berjudul “Sajak Hari Raya” ini bukan tentang merayakan Idul Fitri dengan ketupat dan baju baru, melainkan tentang menggelar pesta kesepian dengan satu-satunya tamu undangan: duka. Bayangkan mesin cuci sebagai panggung utama, di mana pakaian sepi menjadi busana perayaan. Herlina tak sedang bersolek demi kemeriahan, tapi malah bercermin pada qadar dan kematian. Ini bukan syair gala dinner, ini puisi gala sunyi.
Dengan gaya yang khas: jujur, gamblang, dan tetap musikal, Herlina memperlihatkan bahwa kesedihan tidak perlu dipuja-puji berlebihan, cukup dirayakan dengan liris yang lembut tapi mengiris. Ia tidak sedang mendramatisasi, tetapi justru mendemokratisasi luka, menjadikannya bahan bakar estetik. Dalam baris “tak ada perjamuan kenangan” atau “tangan yang menggamit mesra,” ia menyelipkan harapan yang tersembunyi, sebuah longing terhadap kehangatan yang tak kunjung hadir. Tetapi di ujung puisi, ia justru balik badan dan mengklaim kesepian sebagai rumah yang sah dan legal secara puitik.
Herlina pernah dimuat di Kompas dan juga media lokal seperti Mangle dan Radar Garut. Tapi yang lebih penting adalah konsistensinya menyuarakan keresahan personal dalam bungkus romansa, satire, bahkan kritik sosial. Ia tahu cara menyentil dengan lirih, menampar dengan lembut. Dalam puisi ini, ia bermain-main dengan kontras: hari raya versus derita, lampu kota versus jendela muram, perempuan bersolek versus perempuan bercermin pada ajal. Dan dari semua itu, ia tetap memilih menulis puisi sebagai cara paling valid untuk bertahan hidup.
Gaya puisinya tidak berbelit-belit, tapi menyimpan lapisan. Penggunaan rima lembut dalam bait akhir—“larik sebagai suguhan” dan “rima sebagai doa yang tertahan”—menggambarkan bagaimana Herlina menjadikan puisi sebagai altar, bukan hanya secarik kertas. Bahkan ketika dunia sibuk merayakan sesuatu di luar sana, ia duduk di rumah puisi, menyusun perjamuan yang lain: bukan nasi rendang dan soda gembira, melainkan baris-baris derita yang menenangkan. Dan itu cukup.
Jadi jika nanti kamu merasa sendirian di hari raya—ketika kue lebaran tinggal remah dan undangan open house tak kunjung datang—ingatlah, seperti Herlina, bahwa puisi bisa jadi hari raya alternatif. Tak perlu kembang api, cukup pena dan luka yang manis. Toh kadang pulang itu bukan ke rumah, tapi ke halaman-halaman puisi yang kita tulis sendiri.
*
PUISI 2 (Suatu Nanti, dalam Sejarah)
Aku adalah jelata
Tiap hari mengungkai kaki, menyala makan
Pulang malam melanting uang
Pada suatu masa
Di negeriku
Orang-orang tak lagi mengalas di jalanan, di pinggiran kota, di tengah ekspansi, di lorong-lorong, di atas gedung, di kaki lima, di amal bazar, di sekolah, di perusahaan, di lembah, di gorong-gorong,
Tanah jarang basah
Udara mengepulkan wajah wabah dan pemerintah
Suara-suara gaduh oleh sirine pembawa jenazah
Berjiwa-jiwa binasa
Tumbang dimana saja
Di tempat apa saja
Dikubur entah bagaimana
Pada suatu masa
Para jelata meraung di seluruh penjuru
Denyut makin melarat
Sandang pangan mengempis
Para ibu menangis
Bapak-bapak mati pesimistis
Para buruh disisih
Toko-toko kecil jatuh amat pedih
Sedang subsidi ludes, dikikis para pembesar yang rondah-randih
Pada suatu masa
Di negeriku
Tatanan aturan semakin membosankan
Orang-orang saling membantah
Saling menyalah
Para tukang saling membantai
Politisi saling menindas
Pak pol pada rakyat menge-dor
Rakyat sesama rakyat saling menjerit
Juru rawat pada pasien saling mengerang
Guru dan murid saling menyerang
Kecuali… para penguasa?!
Coretan para penyair malah dijajah
Suara mahasiswa dengan lantang dibantah
Mereka meminta rakyatnya patuh
Rakyat patuh tapi semakin jatuh
Para penguasa makin utuh dan tangguh
Pada suatu masa
Di negeriku
Kami hidup di era meditasi dan kejahatan yang sempurna
Suatu nanti,
Dalam sejarah
Dimana hasrat untuk hidup begitu kuat
Engkau akan disambut dengan sorak-sorai kebenaran yang mengerikan.
*
PUISI 3 (Wakil Kami)
Langkah siapa yang bergema mencederai?
Lalu keadilan terasa asing, kaku, dan tak bisa ditemui
Dekrit siapa yang bertubi-tubi melukai
Kebijakan terus digerusi
Darah menstruasi dan seorang hamil didiskriminasi
Palu siapa yang diketuk tanpa diskusi
Berulang kali mengiris buruh dan tani
O, wakil kami yang kian abai dan mati
*
PUISI 4 (RUH)
Di sinilah perempuan itu
Di dalam bangunan nanah
Terbelenggu oleh ketidakberdayaan
Tercabik-cabik, tertatih-tatih, terpasung seorang diri dengan rantai yang disebut derita,
tak ada putusnya,
berteriak enta kepada siapa,
dengan bahasa paling nyeri,
dengan kata-kata yang lebur dan nyaris mati,
ditulisnya luka-luka itu dengan tinta air mata,
di atas kitab cinta, yang suci dan tak pernah terjama
Di sinilah jasad perempuan itu bersemayam
Dalam ruh nya terpancar
Perih yang nganga
Duka yang lekat, dan
Cahaya yang diredupkan,
oleh tangan yang dikasihinya.
*
PUISI 5 (Sajak Palestine)
Sudah sampaikah rinduku di kotamu ?
Setelah ribuan waktu
Merangkak, berjeripayah membawa sajak-sajakku yang terjajah
Dentuman pelor
Telah dulu sampai di halaman kertas
Seluruh kata-katanya dilibas
Dihajar habis-habisan bangunan baitku tanpa belas
Tapi doa menjelma rindu itu telah bertahan
Meski larik-lariknya telah diledakkan
Bagaimana malammu, Palestine ?
Masihkah berlang-lang derap langkah Zionis di puing-puing kelukur mu ?
Hari itu
Aku mendengar desing peluru telah menembus dadamu
Teriakan saudara-saudaramuu bergema
Meroket pilu di jiwaku
Lalu kaki-kaki mungil berlarian , menuju reruntuhan
Mencari jasad ayah dan ibunya yang lenyap karena ledakan
Duhai, Palestine
Bagaimana aku mengabarkan kisahmu ?
Dalam puisi- puisi dan sajak-sajakku yang terjajah ?
Deretan huruf memanggil namamu telah syahid
Maafkan aku
Rentetan rindu itu mungkin telah sampai
Namun tak sempat menemuimu
Tapi telah kukirim juga jutaan kata sebagai senjata
Di dadamu
Bertahanlah, sedikit lagi saja
Mereka akan segera sampai di kota mu
Membawamu pada kemenangan
yang sempurna.
Jumuah, 20 Oktober 2023
*
BIODATA :
Herlina Agustina, lahir di Garut, 17 Agustus 1999, dan saat ini berdomisili di Garut Kota. Ia telah menyukai dunia menulis sejak usia dini. Karya-karya fiksinya telah dipublikasikan di berbagai media, antara lain Kandaga, Mangle, Koran Pendidikan, Kompas, dan Radar Garut.
Tulisan-tulisannya dikenal bergaya romansa, satire, serta kritik sosial-politik, yang kerap menyuarakan kegelisahan pribadi maupun persoalan realitas sosial. Puisinya yang berjudul “Suatu Nanti, dalam Sejarah” terpilih sebagai salah satu karya terbaik dalam Olimpiade Sastra Nasional yang diselenggarakan oleh EMN Media.