Puisi

5 PUISI HILDA MALAHAYATI PUTRI

PUISI TERAKHIR

Jika nanti kau temui aku,
menggigil rindu pada sajak itu,
yang jelas tak lagi peduli diriku,
menjadi ujung pada puisi terakhirku.

Jika sajak ini beruntaikan rima masa lalu
Memecah hening sukmamu yang telah mengering layu
Menjadi bait – bait beriramakan gelebah mendayu,
yang kau baca pada rima perih sebelum senja berlalu

Dan jika akhirnya aku telah binasa
Tebarkanlah duka menjadi prasasti bertabur kata,
yang tergores diksi dengan air mata,
yang mengisahkan ribuan hampa dan lara.

Bulan dan Bintang yang bertabur di cakrawala
Mereka tak pernah saling berirama,
hanya sesekali mengedip tanda setia.
Hingga datang ribuan nestapa menguar aroma luka

Aceh Tamiang, 8 Juli 2024


CATATAN REDAKSIONAL

Diksi, Duka, dan Didaktika: “Puisi Terakhir” Hilda yang Bukan Terakhir


oleh IRZI Risfandi

Satu hal yang langsung terasa saat membaca puisi “Puisi Terakhir” karya Hilda Malahayati Putri adalah aura reflektif yang menggugah namun tetap terasa lekat dengan narasi sehari-hari. Hilda bukan sekadar menulis puisi tentang perpisahan, tapi menyematkan kesedihan dalam napas-napas metaforis yang mengajarkan kita—pelan-pelan, tanpa teriak-teriak—bahwa kehilangan dan kenangan bisa menjadi materi pedagogik yang subtil tapi mendalam. Dan, well, siapa sangka, penyair dengan latar belakang guru Al-Qur’an Hadis ini justru menyampaikan melankolia dengan gaya yang bukan hanya puitis tapi juga mengandung pelajaran hidup nan lentur.


Mari kita mulai dari bait pembuka: “Jika nanti kau temui aku, / menggigil rindu pada sajak itu”—kalimat ini seperti bisikan lembut dalam ruang sunyi. Tidak banyak pernyataan, tapi justru karena itu, puisinya terasa mengendap. Hilda tahu benar bagaimana mengelola suasana. Ia tidak menggurui, namun menawarkan pelajaran emosional yang bisa dirasakan baik oleh remaja pencinta senja di Instagram maupun oleh guru-guru yang sedang menghadapi tantangan di kelas. Ini bukan sekadar puisi, ini semacam surat pengantar ke ruang kesadaran: bahwa kehilangan tidak bisa diajarkan, tapi bisa dirasakan dan dijadikan narasi.


Kekuatan lainnya adalah bagaimana Hilda menata puisinya menjadi semacam kuliah literasi tentang diksi dan suasana. “Bulan dan Bintang yang bertabur di cakrawala / Mereka tak pernah saling berirama” adalah contoh kontras manis dalam metafora yang menyiratkan hubungan tak sampai, sebuah drama semesta yang senyap namun menyayat. Ia menyelipkan nilai-nilai keikhlasan, kesetiaan dalam bentuk paling estetis dan literer. Dalam hal ini, Hilda seperti menjembatani dua dunia—sastra dan pedagogi—tanpa perlu mengumumkan pernikahan keduanya. Pembaca diajak belajar mencintai bahasa dan rasa, sekaligus memahami bahwa tak semua hal dalam hidup bisa dijelaskan secara logika.


Sebagai guru yang juga aktif di berbagai kompetisi dan organisasi pendidikan, Hilda memperlihatkan bagaimana seorang pendidik bisa tetap hidup dalam puisi—dan bukan sekadar puisi kelas. Ia menyentuh ruang-ruang eksistensial tanpa kehilangan fondasi nilai dan spiritualitas. Tidak heran jika ia meraih sederet prestasi nasional, dari medali matematika hingga guru inspiratif. Semua ini seakan menjadi amplifikasi bahwa “Puisi Terakhir” bukan sekadar puisi terakhir, tapi justru pernyataan pembuka dari rangkaian sajak-sajak yang bisa menjelma ruang belajar alternatif: bukan dengan kurikulum, tapi dengan kerendahan hati dan perenungan.


Puisi ini adalah undangan untuk berhenti sejenak. Mungkin bukan untuk menangis, tapi untuk memahami. Ia tidak berat, tapi dalam. Ia tidak penuh jargon, tapi penuh makna. Hilda mengajarkan kita, bahwa kadang, pelajaran terbaik tentang hidup bukan datang dari diktat atau modul, melainkan dari sajak yang membelai perasaan dengan tenang. Dan di dunia pendidikan yang sering kali dikejar target, puisi Hilda justru jadi ruang untuk bernapas. Tepat di situ: makna pedagogik dan estetika bertemu dalam satu simpul yang puitik.


2025


LUKA YANG MEMBISU

Tak selamanya Duka harus bersuara
Tak selalu duka harus menampakkan bunyinya,
karna terkadang lara yang menepi sunyi
Lebih indah aku nikmati sendiri

Tak pula ia nya lantas menampakkan iramanya
Tak ku ingin luka ini bernanah dalam nada
Biarkan ia menganga dalam harmoni kedukaan
Terus mengering dalam air mata yang menyimbah sukma

Ketika jam pasir di samping terus berjalan
Aku yang sunyi makin terdiam lirih
Di dalam bisuku ada diam yang bersama menyeru
Ingin meraung namun suara tak bergeming hadir

Berteriak sukmaku Bahwa senja akan berlalu
Aku yang hanya pengagum indahnya
Hanya bergeming melihat kisah cinta itu terputus
Melihat jingga berpisah rindu di ufuk syahdu.

Aku sudah Terlalu dalam
Menyiksa diri dalam hikayat kesendirian
Nestapa yang kubuat tanpa sadar hadirnya
Dan sialnya hirap kenyataan hadirnya lara.

Aceh Tamiang, 27 Juli 2024


MASA DALAM LARA

Jika masa datang, ingin kupeluk duka,
laksana memeluk suka
yang ingin aku diamkan
pada malam syahdu, tawa ceria.

Jika masa hilang
dan duka menolak binasa,
hanya satu yang bisa aku pastikan:
sapa dan sua akan hilang dalam asa.

Jika waktu menolak berputar
dan masa menolak datang,
maka Amerti menolak beranjak,
maka ‘kan kau dapati amor fati:
cinta akan takdir, bukan keabadian.

Aceh Tamiang, 01 April 2025


TERUNTUK KAMU

Jika suatu saat kamu punya masa
Maka satu hal yang aku inginkan
Selain kebaikan dirimu yang selalu aku doakan
Kuingin kau baca dirimu dalam goresanku

Karena pada akhirnya kau akan merasa beruntung
Saat dicintai seorang penulis seperti diriku
Yang mengabadikanmu dalam setiap lembar kertasku
Menjadi ketulusan tak berkesudahan dalam diriku

Begitulah manusia, begitu juga aku
Mungkin caraku mencinta berbeda
Namun ketahuilah takkan pernah kau temui
Kebohongan dalam setiap untaian kata dalam puisiku

Banyak bertabur cerita dalam tulisanku
Begitu pun ada banyak kamu dalam aksaraku
Goresan pena yang selalu menyebut namamu
Bukankah cukup bukti aku memujamu

Aceh Tamiang, 09 Mei 2025


KATA – KATA DALAM MAKNA

Teruntuk kata dalam nyata,
satu diksi beribu akan makna.
Terserap dalam bilik penuh kata.
Tergores akan lembar bertabur hikmat

Ah lelah sudah jari-jari ini tergerak
Namun untaian kata yang keluar tak ingin dicegah
Yang mengalir bak aliran terjun nan membuncah
Berlomba turun bak ceetah mengejar mangsa

Dan akhirnya Pena telah pudar,
serta merta kata telah tercatat
Tetap guratkan ia dalam lembaran yang ada
Sehingga asa diri yang tersimpan terdedah

Hingga akhir perjalanan pena ini,
mengukir syahdu aku yang penyair,
yang tetap menjahit luka dalam diksi.
Hingga keluar kata menjadi saksi

Jika kau temui aku di ujung dunia nanti
Biarkan rindu rindu ini tetap mengalir,
menjadi bait – bait puisi yang menggigil
Dalam alunan sajak pada masa yang mungkin berakhir

Aceh Tamiang, 01 Januari 2025


BIODATA :


Hilda Malahayati Putri, S.Th.I, akrab disapa Hilda, berdomisili di Aceh Tamiang. Saat ini, ia bertugas sebagai guru Al-Qur’an Hadis di MIN 3 Aceh Tamiang. Kegemarannya dalam menulis sudah tumbuh sejak duduk di bangku SMP. Karya pertamanya berupa cerpen bertema Al-Aqsa dan resensi novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El-Shirazy.


Hilda aktif menulis dalam berbagai genre, seperti puisi, cerpen, opini, dan artikel lainnya. Karyanya telah terhimpun dalam lebih dari 30 buku antologi bersama. Ia juga pernah menjuarai sejumlah lomba kepenulisan, termasuk meraih penghargaan sebagai Penulis Terbaik Tingkat Nasional. Di bidang pendidikan, ia dinobatkan sebagai Juara Harapan I Guru Inspiratif (2024) dan Juara III Guru Berprestasi (2024).


Prestasi akademiknya tidak kalah gemilang. Hilda berhasil meraih empat medali emas dan satu medali perunggu tingkat nasional, masing-masing dalam bidang:


• Matematika Guru SD (2025)
• Bahasa Inggris Guru SD (2025)
• Pendidikan Agama Islam Guru Nasional (2024)
• Bahasa Inggris Guru SD (2024)
• serta Medali Perunggu kategori Guru Berwawasan Nasional (2024)


Pada tahun yang sama, ia juga terpilih sebagai delegasi Partial Funded dalam program International Youth Batch VII (2024) yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia.


Hilda aktif dalam berbagai organisasi guru, antara lain sebagai:
• Anggota aktif KKG (Kelompok Kerja Guru) sejak 2019
• Anggota PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sejak 2019
• Pengurus PGMNI (Punggawa Guru Madrasah Nasional Indonesia)
• Pengurus PGM (Persatuan Guru Madrasah) Indonesia


Di sela tugas mengajarnya, Hilda terus menyalakan semangat untuk berkarya dan menginspirasi, baik bagi masyarakat umum maupun kalangan pendidik secara khusus.


Teman-teman yang ingin bersua atau terhubung lebih dekat, dapat mengunjungi akun Instagram pribadinya di @hildamalahayatiputri atau menghubungi melalui email: hildamalahayatip@gmail.com.

Check Also
Close
Back to top button