5 PUISI JASMINE NOOR

BEAUTIFUL PEOPLE—BEAUTIFUL PROBLEM
Kau lihat mereka berdansa
Bibir berdarah lipstik satu juta
mata sembab dalam palet smoky grey
Yang kau tahu:
beautiful people with beautiful problem—
cinta segitiga yang digosipkan mading sekolah
trauma masa kecil mencungkili dada
dan kesepian terfoto dengan filter grainy vintage
Mereka tertawa
dengan seloki azul tequila
Kesepian termangu menunggu
Dan kebingungan saat pulang.
Kau pikir mereka sempurna
padahal hanya pandai
merias luka menjadi estetika.
(2025)
CATATAN REDAKSIONAL
Bibir Lipstik & Luka Berfilter Vintage: Dunia Jasmine Noor dalam “Beautiful People—Beautiful Problem”
oleh IRZI Risfandi
Puisi Jasmine Noor yang bertajuk “Beautiful People—Beautiful Problem” adalah semacam selfie literer di tengah pesta pop culture masa kini. Sekilas, puisinya seperti cerita pendek yang dicelupkan ke dalam glitter malam, tapi jika dibaca lebih pelan, kita akan mencium bau luka yang dibungkus oleh setting pesta dan gincu mahal. Jasmine, yang lahir di Semarang dan kini aktif bersama komunitas Puan Beraksara, berhasil memotret satu generasi dengan gaya bahasa yang tidak menggurui, tapi justru membuka pintu tanya: benarkah para “beautiful people” itu sungguh bahagia?
Bayangkan adegan ini: bibir merah satu juta, mata kelabu berasap, filter vintage, dan seloki tequila. Kita seolah-olah sedang scrolling Instagram atau melihat video TikTok yang viral, tapi Jasmine menyisipkan gangguan kecil: “kesepian termangu menunggu”. Di sinilah kekuatan puisinya bekerja: kontras antara tampilan dan isi, antara yang terlihat dan yang terluka. Jasmine menampar dengan lembut bahwa semua estetika ini bukan tanpa harga—ada luka yang dimanipulasi, ada trauma yang dibingkai manis, dan ada kesepian yang sabar menunggu di balik notifikasi.
Tak heran, puisi ini terasa begitu dekat dengan pembaca muda urban yang hidup dalam euforia sosial media dan tekanan tampil sempurna. Jasmine tak cuma jeli mengamati budaya visual yang mendewakan citra, tapi juga tajam menyisipkan kritik sosial dan psikologis dalam larik-lariknya. Ia tidak menguliahi, ia hanya memperlihatkan—dan itu membuatnya jauh lebih efektif dan menyentuh. Perpaduan diksi seperti “palet smoky grey” atau “filter grainy vintage” menjadikan puisi ini kontemporer sekaligus subtil.
Selain itu, Jasmine menghindari dramatik yang berlebihan. Ia tidak berteriak, melainkan menyodorkan luka dalam estetika yang tenang, yang ironisnya justru terasa lebih menusuk. Larik terakhirnya—“padahal hanya pandai / merias luka menjadi estetika”—bukan cuma punchline, tapi konklusi eksistensial generasi hari ini yang lelah dengan ekspektasi citra diri. Bagi para pembaca yang pernah merasa sepi di tengah pesta, atau senyum palsu di tengah foto, puisi ini akan terasa seperti cermin yang menyayat dengan pelan.
Jasmine Noor tidak sedang menawarkan solusi, dan itu tak masalah. Puisinya adalah potret, bukan propaganda. Ia memperlihatkan bagaimana manusia hari ini bertransformasi menjadi versi terbaik (atau terindah) dari lukanya, dan dalam dunia yang terus-menerus meminta kita “tampil”, itu adalah cara bertahan hidup. Maka “Beautiful People—Beautiful Problem” adalah puisi tentang kita semua: tentang pesta yang tak pernah benar-benar selesai dan luka yang diam-diam tampil paling cantik di antara semuanya.
2025
***
24 JAM
Ada 24 jam dalam sehari
dan kau pakai separuhnya
untuk begadang—membayangkan darah di karpet
dan cinta yang terbakar dalam dendam
Sisanya kau baringkan kau di sisiku
dengan lidah penuh jebakan yang hangat.
Kasih, dustamu adalah ritme paling teratur
Melebihi antrean wujud cintamu kepadaku
Jika kau tidur dengan anjing
maka kutu itu akan menyenggama hatimu juga.
Padahal sudah kuperingatkan:
berhati-hatilah memilih siapa yang kau peluk
siapa-siapa yang kau tinggalkan
saat seprai ini masih bersemi tanggung
Dan parfum chanel-ku setia menggantung
Kau hitung satu dua sampai tiga
saat hatiku hancur lebur menjelma lumpur
24 jam tak pernah cukup
untuk mencinta sekuat kau berdusta.
(2025)
SETELAH PATAH HATI
Bossanova mengernyitkan dahi
jazz berdenging tak jelas
memanggil-manggilmu manja
aku sudah mulai menggila
Di meja tempat kita used to pretend we’re fine
Kopiku tertumpah seperti sengaja
saat barista sibuk mengaduk kerja
Dengan french press yang tantrum tiba-tiba—
Jantungku menandakan kaulah alasannya
heartbreak isn’t about losing you—
it’s about how the world keeps playing music
as if nothing ever died inside my chest
Semua lagu kini menjadi bentuk satiran
every lyric sounds like your goodbye
every note tries to imitate
the silence you left in my bones.
(2025)
BARANGKALI WE MET AT THE COFFEE SHOP DOWNSTAIRS
Barangkali we met at the coffee shop downstairs
Kau memesan pahit yang kutawarkan manis—
dua orang asing saling duduk bersinggungan
menertawakan hidup yang selalu ingin lebih
Jakarta menggertak selamanya
lalu macet menggonggong
Suara sirine mencakar pagi
dan abu-abu mengambil alih langit biru
“mungkin kita bisa coba.”
Jatuh cinta di pelukan ibu kota
bukan soal bunga atau film larut malam
begitulah tentang mencintai seseorang
yang bisa tetap utuh meski digerus deadline
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sialnya kesederhanaan di kota ini
butuh cicilan tiga tahun dan dua kontrak kerja.
(2025)
PEREMPUAN GILA
Tak hengkang kaki bencana ketika
Tiada yang mengenang malamku—
langit enggan mengingat bentuk tubuhnya
besok atau lusa akan sama saja:
dunia berputar berdeduyun tangisku
Yang berkaca pada serpihan cermin
Dari mimpi orang lain
Kau tahu rasanya tidur
dengan kepala berisi karnaval
Dan putaran bianglala tak berjeda?
Karena rumahku bukan rumah
—adalah lambung kapal
Yang kutinggali dan tenggelam
Bersama kursi goyang
Mereka bilang aku gila
saat menjahit bunga ke lidahku sendiri
agar tiap kata tumbuh dan layu bersamaan
Bercumbu dengan suara makhluk paling liar
saat jam dinding berhenti dan
dunia lupa cara berdebar.
(2025)
BIODATA :
Jasmine Noor lahir di Semarang, 12 Juli. Alumnus salah satu universitas di sekitar Tangerang Selatan. Di tengah kesibukannya, ia tetap aktif menulis puisi dan kini sedang bertumbuh bersama komunitas menulis Puan Beraksara
.
Karya-karyanya telah menghiasi beberapa buku antologi puisi dan berbagai media. Karya terbarunya adalah buku digital Babak Akhir Penantian (2025). Ikuti Jasmine di Instagram dan X: @jsmnoor.