5 PUISI RAMAYANI RIANCE

Tasbih Batanghari
di tepian batang hari di sepanjang kerinduan
bentangan awan berayun-ayun di debur sepi
pelan-pelan desau angin membelah tenang riak
terlihat di perahu kecil ayah memancing patin
anak matahari memetik rindu
di muka gerbang pagi
menapaki hari di rindang bebayang
pepohonan karet
terjemahkan kemurungan dan kegembiraan
pada hari
tuangkan seteguk candu rindu
dalam semangkuk doa
sedari subuh meratap dan melayang di tikar
sembahyang
angin hamburkan doa di semerbak syukur
dan puja
dari limpahan wewangian air mata darah
yang ngilu
di jalanan embun menapaki lamun
jadi renung pasti
daun-daun berjatuhan santun di jemari
kaki suci ibu
sajian senyuman harum di udara
membelai angan
anak gadis menyisir rambut dan berbedak tipis
manis
menatap pagi di jendela basah, duhai
wewangian hari
batanghari begitu menjaga damai di sini dalam
kesederhanaan
santun menjaga basmalah dan alhamdulillah
2023
***
CATATAN REDAKSIONAL
Tasbih, Rindu, dan Sungai yang Tak Pernah Tidur
Oleh IRZI Risfandi
Kalau puisi adalah cara paling elegan untuk menangis tanpa air mata, maka Tasbih Batanghari karya Ramayani Riance adalah contohnya yang paling halus, harum, dan berselendang embun. Dari judul saja sudah terasa: ini bukan sembarang tasbih, bukan sembarang sungai. Ia adalah sungai yang tidak hanya mengalirkan air, tapi juga syukur, rindu, dan semacam kewaskitaan yang hanya bisa ditangkap oleh penyair yang menyatukan hidupnya dengan tanah kelahirannya. Ramayani tak sedang menulis puisi tentang sungai. Ia sedang menyatu di dalamnya. Ia adalah sungai itu sendiri, yang tahu kapan berdesir dan kapan diam.
Dalam larik-lariknya yang penuh kelembutan tapi menyimpan bara tenang, Ramayani melukis Batanghari seperti seseorang melukis wajah ibunya. Penuh kasih, puitik, dan tak berlebihan. Coba dengarkan ini: “anak matahari memetik rindu / di muka gerbang pagi / menapaki hari di rindang bebayang / pepohonan karet”. Betapa bening! Betapa sabarnya puisi ini dalam membangun suasana. Ia tak tergesa, ia tak galau, ia tak coba-coba terlihat indah—karena memang ia indah dari dalam. Ia percaya bahwa waktu dan kesunyian bisa jadi bahan bakar puisi, dan Ramayani menyulutnya tanpa suara, tanpa api. Puisi ini mengendap.
Kekuatan utama puisi ini—dan mungkin kredo puisi Ramayani secara keseluruhan—terletak pada sinergi antara spiritualitas dan lokalitas. Bukan lokalitas yang klise atau dipaksakan agar terasa ‘nusantara’, tapi lokalitas yang hidup dan nyata dalam jiwa puisi itu sendiri. Di tangan Ramayani, Jambi bukan sekadar latar, tetapi atmosfer dan napas. Ia meletakkan Basmalah dan Alhamdulillah bukan sebagai dekorasi religius, tapi sebagai kerangka batin puisinya: “batanghari begitu menjaga damai di sini dalam / kesederhanaan / santun menjaga basmalah dan alhamdulillah”. Lihat betapa ia menulis ‘damai’ dengan ‘kesederhanaan’ yang tidak dibuat-buat. Tak ada glorifikasi. Hanya rasa syukur yang jujur.
Ramayani juga piawai dalam mengatur ritme dan mengolah diksi. Meski puisinya panjang dan bernuansa naratif, pembaca tak pernah merasa lelah. Sebab kata-kata diatur dengan baik: seperti doa yang dipanjatkan perlahan, tak terburu, dan selalu memberi ruang untuk menarik napas. Larik-larik seperti “daun-daun berjatuhan santun di jemari / kaki suci ibu” membuat kita terdiam sejenak. Satu frasa bisa jadi satu kenangan. Satu bait bisa jadi satu siasat untuk hidup lebih jernih.
Dan tentu saja, menarik untuk melihat siapa sebenarnya penyair di balik puisi ini. Ramayani Riance bukan hanya Ketua WPI Jambi dan Kepala SMKN 1 Tebo, tapi juga aktivis budaya, pendidik, dan penggiat perempuan yang melanglang sampai ke panggung internasional. Dari Borobudur sampai Bangkok, dari forum ICMI sampai komunitas sastra ASEAN, ia membawa suara Jambi, dan lebih dari itu, suara perempuan yang memilih untuk tidak keras, tapi keras kepala mencintai tanah dan bahasa. Tasbih Batanghari bukan hanya karya sastra. Ia adalah testimoni. Ia adalah cara Ramayani mengabarkan pada dunia: bahwa rindu, doa, dan batanghari bisa jadi satu zikir yang panjang—dan sangat puitik.
2025
***
Atisha Dipamkara Srijnana
di sini, di negeri Muarajambi mengisahkan kita
negeri cahaya emas menyinari seluruh tempat
di kanal suci di hutan hutan dan sungai
ia melintas
Langkah dan kayuh temui guru, dan belajar
berlatih dalam cinta, welas asih dan bodhicita
mantra terukir bisik waktu menangkap cahaya
perjalanan dan pertapaan suci peziarah Buddhis
pangeran dari tiga bersaudara yang harus
merawat negeri
lengkapi diri, menata segala cita adala abdi
nan mulia
di kanal suci ia melintas, sumur sumber
mata air murni
wajah agung dalam sejarah yang tercatat
oleh Tsing
***
Terminal Rawasari
di terminal, kerap kita menyambung jalan
menuju kampus, tempat les, kursus, pasar
dan toko-toko aksesori di sepanjang jalan;
mencari tempat makan, duduk, berkumpul—
jalan kenangan antarkan senyum malu-malu
dan lirik manis di genggaman tanganmu
genggaman yang menjaga ulang waktu berawal.
di Terminal Rawasari, tempat penghubung
kita terhubung menyambung tujuan hari
tempat di masa kita baru mengenal jalan luar
warna-warni oplet ke arah tujuan jalan pasti
searah dengan dentang suara musik riang.
sapa ramah penuh harap kenek angkot
ingatkan dan gambarkan jalan tujuan kita.
kita adalah waktu yang mendekap bait-bait rasa:
riang riak senandung debar bara merah muda
bisik-buru napas, dedaunan yang gemetar.
setiap kata yang kau titipkan harus ‘kan jadi
takdirmu—tak kau biarkan kuhilang pada hadap tatapmu.
hari bergerak lekas, angin terus deras
mengencang
ulang kata-katamu seperti doa yang takut patah
seperti memanggil nama yang kembali padamu.
jadikan waktuku memberi nyala puisi-puisi
pagiku
bagai pelita kecil di bara dada kami nan mawar
bersinar, dan angin tak lagi gantungkan sunyi.
di Rawasari kita menyambung rindu
kesempatan
mengemas sejarah antara hidup dan rindu
panjang
membangun ruang untuk jadi rumah pulang
kita—
hingga sanding ikrar, belajar jalani kehidupan
kini
hingga nanti, sebelum kereta kencan jemput
lamun.
2025
***
Kutunggu Kau di Gentala Arasy
Kutunggu kau di Gentala Arasy
Dengan senyum yang paling rekah
Di liukan jembatan aku menunggumu
Melihat Negeri Jambi nan permai
Rona Sepucuk Jambi Sembilan Lurah
Pandanglah riak wajah batanghari
Dengan cahaya keemasan memantul
lihat perahu kecil membelah senja
bersama doa-doa nan berhamburan
bersyukur menyerukan keagungan-Nya
Datanglah, kutunggu kau menghiasi waktu
Mendengarkan cerita dan kisah hidupmu
Bersapa menenangkan waktu sejenak
Ada kopi hangat dan jagung bakar
Atau perasan es tebu yang melegakan letihmu
***
Kopi Tiam
Di kedai pemilik bermata sipit
Kopi tiam di gelas keramik
Hitam pekat tak berampas tersaji ditemani cakue
dan mie telor
atau nasi gemuk lontong dan soto, mana yang
kan kaupesan?
Binar tatap sekeping matahari di gelas keramik
tersaji
bahwa pagi jadi kenangan bermula dengan
cerita nan renyah
jumpa kolega, keluarga kerabat, ataupun sahabat
jadi bernilai
Simpang tetaplah sibuk lalu lalang segala arah
di antara lampu hijau, merah dan kuning
lalu lalang kendaraan dan parkir yang padat
Hangatnya kopi tiam menyibukkan diri di atas
pada pekat hitamnya ia memikat siasat langkah
ada banyak hal yang masih ingin diraih
dalam candu gairah untuk terus bernilai
2024
***
BIODATA:
Ramayani Riance, lahir di Jambi, 25 Agustus 1978. Dikenal sebagai penyair, aktivis sastra dan budaya, serta pemimpin di berbagai bidang. Ia menjabat sebagai Ketua WPI Jambi, Kepala SMKN 1 Tebo, Wakil Ketua IPEMI Tebo, Ketua MKKS SMK Tebo, Ketua Srikandi Pemuda Pancasila DPC Tebo, dan Wakil I Bidang Pemberdayaan Perempuan ICMI Tebo.
Aktif menggelar, mengikuti, dan diundang dalam berbagai kegiatan sastra dan seni budaya baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa di antaranya:
The 7th Women Playwrights International Conference (WPIC), Perempuan-Perempuan di Panggung Indonesia, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand; Temu Sastrawan Indonesia (TSI), Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) I dan II oleh Pusat Bahasa Indonesia, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF), Management Organisasi Budaya (MOB) oleh Kelola, Jakarta International Literary Festival (JILFest), Gelegar Sastra, dan Kampanye Sastra.
Beberapa buku karyanya antara lain: Sebungkus Kenangan, Behaviour & Pertunjukan Hujan, Di Bawah Cahaya Sigombak, dan Tasbih Batanghari, serta puluhan antologi bersama lainnya.