5 PUISI SRI HANUNG PRASETYO

MERAKIT KEMATIAN
ku pungut satu persatu
koreng
yang lahir
di atas telapak.
jadi jejak tertinggal
dari hujan yang memerahi
tubuh; wajah; tubuh
ayo,
selesaikan usahamu
aku butuh bicaramu
jadi detonator
untuk trinitrotoluena
mana, bicaramu
soal ilmu pengetahuan
soal kewarasan
jadi apa dirimu sekarang?
kurakit segala bentuk
kematian
dari suhu yang berbeda
dari malam yang panjang
dari suara yang fals
dari gain yang besar
dari upaya puncakmu
hari ini,
persiapkan matamu
aku membutuhkannya,
untuk merekam
kematianku.
2025.
SEBAB, KEMATIAN ADALAH OMBAK SESUNGGUHNYA
kau merencanakan kematian
dengan lagu surf rock
melepasnya pada lautan
seperti bangsa nordik
kau berselancar di atas peti
yang termakan ombak
menunggu pertemuan dengan
dewa odin;
jack kahuna laguna;
aku yang merakit kematian
dari pasir pantai
melihat diriku
terhapus
ombak.
2025.
BAHAYA LATEN NARCISSISTIC
tubuhku sekumpulan neraka
atas marabahaya
yang
mereka tulis
jadilah aku—kiamat kecil
dari segumpal hina
jadilah aku—kiamat besar
dari ego yang kau rakit
yang mereka lahirkan
bukan dari rahimnya
yang mereka aminkan
bukan dari tuhannya.
aku yang lahir
jadi mayat yang ingin kau langkahi
tapi, tak pernah kau melangkah
mana, bicaramu itu.
aku perlu menghapus
hidupmu yang narsis
aku yang terlahir dalam neraka
dari sprema bersuhu 3.000.000˚C
dan yang kau sebut
kematian
sesungguhnya.
2025.
MENUJU NIETZSCHE
kepalamu;
gudang-gudang
tikus-tikus
terbakar—
selepas,
kau lontarkan granat
molotov dengan ledakan
menghanguskan buku-buku
di kepalamu.
kau serupa tuhan,
mengaturku seperti disc jockey
membesarkan gain-ku dari mulutmu
menjadikan masalahku echo dan reverb
siasatmu bass rendah
akhirnya rebel juga.
kau telah mati
aku yang membunuhnya.
2025.
GEJALA SAM SHEPARD
aku mendatangi
panggung-panggung pertunjukan.
menyaksikan rumahku
bermain peran.
tubuh-tubuh tergadaikan
panggung dan lampu warm whitenya
musik amerika latin yang melatari.
jalan-jalan rawamangun
memintaku bertahan;
tapi jalan menuju ciputat memanggilku
pulang.
bulir-bulir jagung menjadi
arah menuntunku pulang
aku takut pulang
palmerah adalah california yang panjang
rawamangun seperti ladang jagung
meski aku harus membuat kopi
dari tanah serta buku adalah wortel-wortel.
father dewis datang merogoh saku celanaku
memungut uang receh kembalian
beasiswa
aku benar-benar hanya punya wortel.
bradley terus menggunduli ayah
menjadikannya sirkuit california dari segala tuduhan
dan berita tidak benarnya.
dodge hanya bisa tertidur,
menunggu diriku membawa botol dari sunan giri.
ciputat benar memberitahu soal ladang jagung,
aku kembali dikubur halie di rumahku.
2025.
CATATAN REDAKSIONAL
Jagung, Ciputat, dan Sam Shepard dalam Dramaturgi Wortel
oleh IRZI Risfandi
Ini bukan puisi yang biasa mampir ke kafe-kafe puisi bertema cinta, apalagi cocok dibacakan sambil ngopi cantik di timeline Instagram. Gejala Sam Shepard karya Sri Hanung Prasetyo adalah sajak yang berkeringat teater, menguap jalanan Jakarta, dan menghirup aroma ladang jagung dari panggung-panggung pertunjukan yang bergerak dalam memorinya. Tanpa basa-basi, puisi ini menyambut pembaca dengan lompatan dramatik: “aku mendatangi panggung-panggung pertunjukan / menyaksikan rumahku bermain peran.” Sontak, kita seperti dilempar ke dalam naskah teater, tempat rumah tidak lagi rumah, tapi aktor dengan dialog dan konflik yang tak pernah rampung.
Sri Hanung bukan cuma mengajak kita menyaksikan lakon, tapi juga mengaduk-aduk batas antara realitas dan fiksi, seperti yang sering dilakukan oleh dramawan Sam Shepard—sosok yang menjadi kerangka rujukan utama dalam puisi ini. Jika Shepard gemar menyelami psikologi disfungsional keluarga Amerika dalam lanskap liar dan penuh absurditas, Hanung melokalkan rasa itu dalam topografi Ciputat, Rawamangun, Palmerah, dan Sunan Giri, sambil menyisipkan potongan kultur pop dan sejumput absurditas Indonesia modern. Puisi ini terasa seperti kolase kota dan identitas yang dijalin oleh tokoh-tokoh teater: Father Dewis, Bradley, Dodge, dan Halie—tokoh-tokoh dari drama Buried Child karya Shepard—yang kini berkeliaran di jalanan Jakarta, menunggangi beasiswa, dan menyulap buku jadi wortel-wortel.
Apa yang dramatis, sekaligus centil, adalah betapa absurd tapi jujurnya baris-baris ini: “aku benar-benar hanya punya wortel.” Di sini, Hanung sedang menertawakan kenyataan pahit, sambil menyelipkan tawa kecil ala anak rantau yang kehabisan uang dan logika. Narasi puisi tidak linear, tapi mengalir seperti montase film eksperimental—adegan lompat dari Palmerah ke California, dari Ciputat ke ladang jagung, dari Rawamangun ke ruang tidur Dodge. Namun dalam kekacauan naratif itu, justru terasa kepaduan gaya yang khas: dramaturgis, surealis, dan sentimental dalam caranya sendiri.
Hanung masih muda, 21 tahun, dan sudah tahu caranya menyulap lokalitas menjadi lanskap semiotik penuh konflik eksistensial. Di tangannya, jalanan Jakarta menjadi panggung absurd yang memanggil pulang dan sekaligus menolak pulang. Ciputat bukan sekadar daerah, tapi metafora rumah dan reruntuhannya; Rawamangun menjadi ladang jagung yang menyamar; dan Palmerah menyaru jadi California—tempat pelarian dan tragedi berdampingan. Dan sejujurnya, puisi ini bisa saja dibacakan sambil lagu Shine On You Crazy Diamond dari Pink Floyd mengalun: sama-sama menyapa tokoh yang hilang arah, terjebak antara kenangan dan absurditas dunia nyata.
Gejala Sam Shepard bukan hanya puisi; ia seperti naskah sandiwara eksperimental yang siap dipentaskan di lorong-lorong kos Ciputat dengan spotlight seadanya dan naskah hidup yang ditulis dari denyut harian. Sri Hanung Prasetyo, lewat puisinya, menunjukkan bahwa drama terbesar tak selalu di panggung Broadway, tapi bisa tumbuh dari warung kopi, lembar beasiswa, dan secuil jagung metaforis yang dipetik dari ladang puisi. Dramaturginya lugas, referensial, dan tentu saja: segar dan gila secukupnya.
2025
BIODATA :
Sri Hanung Prasetyo, lahir di Ciputat dan tumbuh besar di Rawamangun. Usianya 21 tahun. Menulis adalah cara terbaik baginya saat terjebak di jalan buntu—sebuah pelarian yang menjadi panggilan.
Ia dikenal sebagai penyuka ketoprak yang gemar membacakan puisi di sela-selanya. Dalam kesehariannya, ia berkawan akrab dengan seseorang bernama Ridwan—yang mungkin tak penting bagi orang lain, tapi cukup berarti dalam semesta puisinya.