Puisi

5 PUISI SRI HARTATI

ADA DAN TIADA

Ada dan tiada
Sama saja tak bermakna
Tak menyimpan cerita
Yang ada hanya tulisan hitam
Mengukir sejarah

Bila disimpan celakalah
Bila dibuang belum waktunya
Bila dikenang menjadi gumpalan
Maka abaikan saja

Berjalanlah sendiri
Di jalan ceritamu
Jangan menengok ke belakang
Jika harus…sesaat saja
Hadapkan wajah kembali ke depan

Jika lelahmu sudah selesai
Maka bahagiakan dirimu saja
Ceritamu masih panjang
Dan masih bermakna
Sebab hidupmu adalah jantung
Buat anak-anakmu kemudian.


CATATAN REDAKSIONAL

Catatan dari Ruang BK: Saat Luka Tak Perlu Dijelaskan Panjang

oleh IRZI Risfandi

“Ada dan tiada / sama saja tak bermakna.” Begitulah cara Sri Hartati membuka puisinya—langsung menohok, seperti nasihat dari guru Bimbingan Konseling yang tidak lagi ingin melihat muridnya mengasihani diri sendiri. Puisi ini bukan tentang metafora rumit atau permainan bahasa berlapis. Ia seperti suara yang datang setelah semua teman pulang dan ruang kelas kosong: jujur, tenang, tapi mengandung kekuatan yang membuatmu terdiam. Di dunia yang penuh glorifikasi atas keberadaan dan pencapaian, Sri Hartati malah bertanya, “Memangnya keberadaanmu mau kau isi dengan apa?”


Perempuan yang menulis dengan nama pena Sh…saja ini bukan penyair glamor. Ia lahir di Bandung, mengabdi sebagai guru BK sejak 2002, dan kini menjelang pensiun sambil meniti perjalanan baru dalam dunia literasi. Tapi justru dari pengalaman panjang itulah, puisinya punya semacam otoritas batin yang sulit dibantah. Kalimat seperti “bila dikenang menjadi gumpalan, maka abaikan saja” bukan sekadar petuah, tapi hasil dari menyaksikan begitu banyak cerita tersangkut di benak anak muda—dan mungkin juga di dirinya sendiri. Ini puisi yang terasa seperti pelukan, tapi dengan telapak yang sesekali menepuk punggung: ayo, jangan terlalu lama di situ.


Ada yang centil dan kekinian dalam pilihan diksi dan pendekatannya. Ia tidak terjebak dalam gaya klasik atau kaku. “Berjalanlah sendiri / di jalan ceritamu,” katanya, seolah menjawab tren self-healing dan journaling yang sedang ramai. Namun, alih-alih menjual optimisme palsu, ia menyelipkan logika psikologis yang mendalam: masa lalu tidak untuk dihapus, cukup ditengok sesaat. Ini seperti guru BK yang mengerti bahwa luka tak bisa disuruh sembuh cepat, tapi juga tak boleh dijadikan tempat tinggal permanen.


Dalam konteks sastra, puisi ini mungkin terasa sederhana. Tapi dalam konteks hidup? Ia adalah refleksi yang relevan. Ketika Sri menulis, “Jika lelahmu sudah selesai / Maka bahagiakan dirimu saja”, itu adalah bentuk pemberdayaan halus—bahwa bahagia bukan tugas orang lain, tapi hak yang harus direbut dari jeda, dari kesadaran bahwa kita punya cerita sendiri. Di sinilah kekuatan puisinya muncul: ia tidak menjanjikan cahaya di ujung terowongan, tapi mengajarkan cara menyalakan senter kecil dan terus berjalan.


Sri Hartati telah menunjukkan bahwa literasi bukan hanya milik yang muda atau yang sudah “mapan” dalam dunia sastra. Justru dari ruang BK yang penuh cerita, dari usia yang matang dan suara yang jernih, ia menulis puisi yang bisa menuntun—bukan menuntut. “Hidupmu adalah jantung buat anak-anakmu kemudian” bukan sekadar pengingat peran sebagai ibu, tapi juga sebagai manusia yang hidupnya punya gema. Dan gema itu, meski sederhana, masih sanggup membuat telinga batin kita bergetar.

2025


HATI TAK BERNYAWA

Tak kala rasa masih ada
Semangat pun menyala
Riuh rendah suara hati
Berteriak tapi tak dimengerti

Apa daya hanya suara hati
Tak didengar walau teriak
Langkah ini merdu bila di posisi
Habis sudah tinggal riak riak

Jangan gantung asa pada wujud
Simpan di cahaya abadi
Sebab kesempurnaan Dia yang miliki
Hanya bisa kubersujud.


CERITA KITA

Serasa perpisahan…
Ya
Perpisahan masa muda
Tak kembali
Dan tak terulang
Kini
Kita di usia senja
Tetaplah bahagia
Sehat ceria
Sehat walafiat
Sehat dan bermanfaat
Walau jauh di mata
Ingin direngkuh kembali
Hati…
Dengan segala cerita yang berbeda
Yoo…kita bersua kembali
Sahabat…


SILUET RINDU

Kenangan bersamamu
Langkahku pasti maju
Hanya kulirik sesaat untuk disimpan
Lalu akan kupendam

Jadikan hanya sebuah cerita
Tak kala aku ada
Serasa memang indah
Namun …ketika sudah berpindah
Kuharap tersimpan di dada

Berpuluh tahun hanyalah angka
Tersemat dalam rasa
Kupergi bukan sengaja
Karena kucinta DIA

Cerita indah kita…..kini
Terukir indah di sanubari
Kusimpan sebagai pelita diri
Dan akhirnya aku mengerti
Setiap insan membuat sejarahnya sendiri.


MASIH ADA LENTERA

Manisku
Yang tetap melangkah
Walau lelah
Yang tetap optimis dengan cara manis
Yang tetap senyum walau terkulum

Bahagiaku
Melihatmu tertawa
Senangku melihatmu Lega
Berlapang dada

Teruslah melangkah
Ada dan tiada sama sajalah
Bahagialah…
Dan rela.
Aku selalu ada.


BIODATA :

Sri Hartati, yang menggunakan nama pena Sh…saja, lahir di Kota Bandung, 22 Juni 1967. Sejak tahun 2002 hingga kini, ia mengabdi sebagai guru Bimbingan dan Konseling (BK) di SMA Negeri 1 Subang. Ibu dari dua putra yang kini telah menjadi PNS ini sedang menapaki perjalanan baru di dunia tulis-menulis. Menjelang masa purna bakti pada tahun 2027, ia bertekad menjadi seorang penulis dan kini tengah tekun belajar serta terus mengasah kemampuannya dalam dunia literasi.

Back to top button