Puisi

5 PUISI UJANG SAEPUDIN

Hopeless

Sudah aku katakan tentang tubuh terpanggang ini
Tapi kau masih saja mengelak dari suara kami.
Aku lepaskan seribu burung ke dalam berangkasmu.
Untuk mengambil bagianku, seperti ruang atau uang
Yang membuatmu tidur panjang

Apakah kau tak percaya pada lipstik luntur ini.
Aku biarin topeng ini jadi pilu
Asal mereka dapat mengambil bagiannya
Dan berangkas itu menghambur ruang dan uang
Lantas kita pun tidur panjang

2025
*

CATATAN REDAKSIONAL

Hopeless Tapi Ngena: Puisi Ujang Saepudin yang Nggak Bisa Dighosting Begitu Saja

Oleh Irzi Risfandi

Kalau kamu pikir puisi berjudul Hopeless itu akan lemah, lunglai, dan jadi semacam status galau ala remaja patah hati, maka Ujang Saepudin siap menyergap kamu dari balik metafora yang aw aw aw dan bikin ngilu. Dari larik pertama, dia langsung pasang nada tinggi: “Sudah aku katakan tentang tubuh terpanggang ini.” Lah, ini bukan puisi yang ngemis perhatian, ini semacam surat terbuka dari seseorang yang sudah capek dijadikan korban, tapi masih sanggup melawan pakai kata-kata yang elegan tapi menyentil keras. Ujang tak segan memasukkan kata “berangkas” dan “uang” ke dalam puisi—dua benda duniawi yang biasanya disembunyikan di balik metafora kabur—di sini justru dijungkirbalikkan jadi senjata kritik.

Ada semacam semangat surreal-komunal yang terasa. Lihat saja, “seribu burung” dilepas ke dalam brankas. Itu bukan burung hias. Itu burung tuntutan, protes, dan barangkali juga dendam kolektif. Seolah Ujang sedang bilang: “Kalau kau tak mau dengar suara kami, kami akan masuk lewat celah terkecil dan mengambil yang jadi hak kami.” Dan boom—dari metafora burung langsung ke ruang dan uang. Cerdas. Centil. Tapi nyakitin juga kalau kamu di posisi yang dimaksud dalam puisi ini. Ini bukan hopeless dalam arti pasrah, ini hopeless versi “udah muak tapi masih punya daya gigit”.

Ujang Saepudin, penyair sekaligus guru dari Cianjur, adalah contoh bagaimana intelektual lokal bisa jadi penjaga nurani publik lewat puisi. Sebagai alumnus Universitas Suryakancana yang karyanya sudah wara-wiri di Pikiran Rakyat, Republika, Kurungbuka, sampai Majalahelipsis, Ujang punya reputasi sebagai penyair yang peka dan konsisten. Puisinya masuk 30 besar Payakumbuh Poetry Festival 2022, dan kita bisa paham kenapa. Ia menulis tidak dengan niat meninabobokan, tapi membangunkan. Kadang dengan teriakan, kadang dengan lirih, dan kali ini—dengan lipstik luntur.

Nah, lipstik luntur ini bukan sekadar riasan yang luntur karena hujan. Ini simbol. Ini bisa jadi tanda topeng sosial yang ambyar, bisa juga luka estetika yang ditanggung diam-diam. Ujang tidak memaksakan puisi untuk terlihat indah. Dia membiarkan puisinya jadi ruang gaduh, penuh cermin pecah, dan kita dipaksa ngaca di sana. Semua keluh, luka, dan ejekan sosial dijahit rapi ke dalam larik yang seolah ringan, padahal mengandung bara. Kalau kamu belum siap dikeplak pelan oleh puisi, jangan baca dua kali—karena efeknya datang belakangan.

Hopeless justru jadi puisi yang penuh harapan tersembunyi. Harapan bahwa kritik masih bisa disampaikan lewat bahasa yang indah dan menusuk. Harapan bahwa ada suara kecil dari Cianjur yang bisa mengguncang ruang nasional. Dan harapan bahwa puisi belum kehilangan taringnya di tengah dunia yang sudah kebanyakan basa-basi. Terima kasih, Ujang Saepudin, karena sudah membuat kami gelisah dengan cara yang santun tapi bikin nyesek.

2025

*

Di Depan Bar

Seseorang datang dengan suci
Ke sebuah bar
Ia menyerahkan tumbler kosong
Pada seorang bartender
“isi dengan air untuk perjalananku,
lalu ia membayarnya dengan logam
terakhir”

seekor kucing mengganggunya
tangannya menyapu pelan.
Si tuan, tak menerima karena itu.

“kucing ini telah lama berada di sini” bisik si tuan.
Sungguh! Aku minta maaf! Kata seseorang itu.
Lantas ia putar badan dan permisi,
Tapi orang-orang dari segala sisi
Menjaringnya

Seseorang tidak lagi bicara
Ia datang dengan suci, tapi tuan-tuan
Tidak menyukai kedatangannya
Mereka mati sekejap mata
Hanya dengan beberapa tindak

Sebetulnya ia tak ingin masalah itu tiba
Ia hanya kehausan,
Tapi ia harus membayar apa yang dilakukan
Tuan-tuan kepadanya.

Lalu ia melanjutkan perjalanannya
Dengan begal yang lebih terjal.
Tapi ia datang dengan suci
Ia tidak takut karena itu

2025
*

Elegi Kota

Bukankah kota ini sudah lansia
ia tak lagi kuat memungut sampah
untuk sakunya yang derita.
tapi, hidup berjalan seperti biasa
tanpa menduga hujan
yang selalu membuatnya bersyukur
menyeret tubuhnya jauh entah kemana
barangkali ke kamarmu.
yang ia lihat hanya gelap
yang ia dengar gemuruh air
berlumpur setinggi usia,
membungkus tubuhnya.
suara samar tetangga
menangisi yang tak lagi berharga
selain nyawa
selepas segala reda,
ia keluar dari kamarmu
lalu menyatakan cinta
kepadamu

Cianjur, 2025
*

Menonton Kota Hujan di Botani Square

Minggu pergi ke bioskop kesayanganmu
Membeli tiket dan duduk paling depan.
Lalu film kota hujan pun dimulai
Lampu ruang diredupkan
Di belakang kudengar kasak-kusuk
kasmaran

Layar besar dengan prolog yang jernih
Menampilkan jalan berliku yang berantakan.
Tersebab karena basuhan hujan semalaman.
Barangkali hujan yang tidak diingin penonton
Sepertiku.

Kami dibawa ke sebuah adegan yang membingungkan.
Perlahan mata kami mengeluarkan banjir
Sampai membasahi ruang bioskop, sesaat haru
Melihat relawan nyelamatkan kota hujan dari hujan
memberinya payung dan jas plastik penuh sobekan
lalu membawanya ke perahu karet bersama lansia lumpuh

Latar serupa perang antara ambisi dan kemiskinan,
Antara gedung berkeringat dan asongan yang pucat.
Kami dibawa ke terminal gersang serupa tangerang
Di jam 12 siang dan redup selalu jumpa
Pengemis kecil yang mengasongkan mangkuk
Pada kaca kemacetan

Di akhir film, kami diperlihatkan satu tempat yang
Menyejukkan. Kesejukan yang meluapkan impian
Yang bimbang di tengah riuh pasar tua.

Film ditutup. Sejarah mengatakan bahwa kami tak
Perlu khawatir karena adegan hujan itu, bagiku,
Hijau saja tak cukup untuk kota. Aku perlu membaca
Pustaka ini dengan pohon setia di ubun pangrango,
Lalu menyelami kuah asinanmu yang sedikit masam
Di lidah siang ini

2025
*

Ujian Kenaikan Kelas

Sekolah membuka soal lagi
sehimpun pertanyaan menanti
jalan harus ditempuh
dengan jawaban-jawaban putih

meja penuh coretan
sepertiku dihadapkan
dengan banyak warna
yang hampir menjebak
rumus langkahku

sekolah membuka soal lagi
menghadap whiteboard
yang menampung rupa apapun
dari spidol, lekas dihapus
tangan penganyam nasib

aku berada di kelas panas
pelajaran berbeda,
jujur, warna yang samar
yang digenggam bintangnya,

kata dan angka ganjil
dikubur dalam buku cita-citaku.
bentuk nilai seperti apa
yang kau inginkan

pada jam pulang, segala soal
menertibkan jawabannya. tapi,
kelasku ruang penuh sampah
dibuang ke pojokan begitu saja
tanpa mata

Cianjur, 2025
*

UJANG Saepudin, alumnus Universitas Suryakancana Cianjur. Sekarang beraktifitas sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta di Cianjur. Puisinya tersiar di beberapa media cetak dan digital; Pikiran Rakyat, Riau Post, Radar Kediri, Kurungbuka, Ruangliterasip, Balipolitika, Majalahelipsis, Republika.id. Puisinya termaktub dalam beberapa antologi bersama. salah satunya masuk 30 besar Payakumbuh Poetry Festival 2022.

Email: ujangs085@gmail.com
No WA: 083112722681
Media sosial Facebook : Ujang Saepudin

Check Also
Close
Back to top button