
Waste to Energy Danantara bisa jadi salah satu tonggak penting dalam sejarah pengelolaan sampah dan energi di Indonesia. Proyek ini menyatukan dua persoalan sekaligus—sampah yang kian menggunung dan kebutuhan energi bersih—ke dalam satu solusi terpadu.
JERNIH – Indonesia tengah menghadapi persoalan klasik namun kian mengkhawatirkan: sampah. Setiap tahun, negeri ini menghasilkan lebih dari 35 juta ton sampah, dan lebih dari separuhnya belum dikelola dengan baik. Tumpukan sampah di TPA menimbulkan bau busuk, pencemaran tanah, hingga pelepasan gas metana yang mempercepat krisis iklim.
Rosan Roeslani, Menteri Investasi yang juga big boss Danantara mengidentikkan, jutaan ton tadi jika ditumpuk di Jakarta secara penuh, tebal sampah bisa mencapai 20 cm.
Namun, di balik masalah itu, ada peluang besar. Apa yang selama ini dianggap limbah tak berguna, kini bisa disulap menjadi sumber energi baru. Inilah visi besar program Waste to Energy (WtE) Danantara, sebuah proyek nasional yang menggandeng PLN untuk mengubah sampah menjadi listrik, atau yang dalam istilah teknis dikenal sebagai PSEL (Pembangkit Sampah menjadi Energi Listrik).

Danantara, sebuah lembaga investasi milik negara yang didesain untuk mempercepat proyek strategis, mengambil peran sentral. Mereka menargetkan membangun 33 fasilitas PSEL di berbagai kota besar Indonesia, dengan tahap awal delapan proyek akan dimulai pada akhir Oktober 2025. Setiap fasilitas mampu mengolah sedikitnya 1.000 ton sampah per hari, menghasilkan listrik sekitar 15 megawatt (MW), dan berdiri di atas lahan seluas 4–5 hektar.
Listrik sebesar 15 MW ini dapat menjadi energi bagi 20.000 rumah. Dan yang penting ini adalah energi terbarukan.
Sementara dari sisi emisi, proyek Waste to Energy setidaknya ikut andil dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Persentasenya tak main-main, mencapai 50-80 persen lebih rendah dibandingkan TPA.
Dari jutaan ton sampah tersebut sekitar 61% di antaranya belum dikelola secara memadai, sehingga menimbulkan persoalan lingkungan serius. Kehadiran PSEL (Pembangkit Sampah menjadi Energi Listrik) diharapkan mampu menjadi solusi dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, khususnya metana dari TPA yang sangat berbahaya, sekaligus mendukung target Net Zero Emissions (NZE) 2060. Selain itu, teknologi ini juga memberi manfaat tambahan berupa efisiensi lahan, karena mampu mengurangi kebutuhan area luas untuk TPA tradisional.

Secara sederhana, bayangkan sebuah gunungan sampah raksasa yang biasanya hanya menjadi sumber bau dan penyakit, kini bertransformasi menjadi energi yang mampu menyalakan ribuan rumah. PLN hadir sebagai offtaker, yakni pembeli listrik dari PSEL ini, sekaligus menanggung biaya tipping fee yang selama ini membebani pemerintah daerah. Dengan skema ini, sampah tak lagi menjadi musuh pemda, melainkan bahan bakar energi yang bernilai.
Dari sisi investasi, proyek ini bukan main-main. Setiap unit memerlukan biaya Rp 2–3 triliun, dengan total keseluruhan mencapai sekitar Rp 82 triliun atau setara 5 miliar dolar. Danantara bahkan sudah menghimpun dana segar melalui instrumen patriot bond sebesar Rp 50 triliun, sebagian di antaranya dialokasikan khusus untuk proyek Waste to Energy.

Potensi pendapatan pun mencengangkan. Bila dihitung dengan tarif listrik sekitar 20 sen dolar per kWh, satu fasilitas PSEL yang beroperasi penuh bisa meraup pemasukan hingga 26 juta dolar per tahun.
Jika semua 33 fasilitas beroperasi penuh, total pendapatan bisa menembus 866 juta dolar per tahun, atau setara Rp 14 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa sampah, yang biasanya hanya dipandang sebagai beban, kini bisa menjadi sumber emas baru.
Namun, tentu saja, jalan menuju ambisi ini tak semulus membalik telapak tangan. Berbagai tantangan masih menanti.
Pertama, soal teknis dan operasional: tidak semua sampah bisa langsung masuk ke tungku pembakaran; ada yang perlu dipilah, dikeringkan, atau diolah lebih dulu. Kedua, persoalan pasokan: apakah tiap kota konsisten mampu menyuplai 1.000 ton sampah per hari? Ketiga, biaya operasional yang tidak kecil, dari transportasi hingga pemeliharaan mesin berteknologi tinggi. Belum lagi tantangan regulasi, perizinan, dan resistensi sosial yang mungkin muncul terkait isu lingkungan atau kesehatan.

Dengan kata lain, kita sedang menyaksikan lahirnya era baru: ketika sampah bukan lagi sekadar masalah, melainkan peluang emas bagi masa depan energi negeri ini. Di sisi lain, pemerintah daerah tidak lagi dibebani tipping fee (biaya pengelolaan sampah). (*)
BACA JUGA: Bocor Daftar Konglomerat Peserta Patriot Bond Danantara






