SolilokuiVeritas

APBN Defisit, Jangan Korbankan Pendidikan

Pasal 31 UUD 1945 menyatakan pendidikan adalah hak warga negara dan wajib dibiayai oleh negara. Anggarannya pun dipatok minimal 20 persen dari APBN maupun APBD. Dengan spirit itu, gaji guru dan dosen bukanlah hadiah, apalagi kebaikan hati pemerintah, melainkan kewajiban negara yang dibayar dari pajak rakyat. Ketika Menkeu melempar ide partisipasi masyarakat, wajar bila publik balik bertanya. Bukankah partisipasi itu sudah kita jalankan setiap hari lewat pajak penghasilan, PPN, cukai, hingga retribusi? Jika masyarakat masih harus menanggung gaji guru dan dosen di luar pajak, maka itu bukan partisipasi, melainkan pengalihan tanggung jawab negara.

Oleh     :  Kusfiardi*

JERNIH– Tahun ini Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan. Delapan dekade lalu para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan bukan hanya sebagai lepasnya penjajahan politik, tetapi juga sebagai tekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah sebabnya pendidikan ditempatkan dalam posisi terhormat dalam konstitusi, bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai kewajiban negara.

Di tengah suasana reflektif kemerdekaan, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang gagasan agar gaji guru dan dosen bisa ditopang melalui “partisipasi masyarakat” memicu perdebatan publik. Bagi sebagian orang, usulan ini terdengar wajar. Anggaran negara sedang ketat, defisit kian melebar, sementara kebutuhan belanja terus meningkat. Wajar bila pemerintah mencari alternatif pembiayaan di luar APBN. Kata “partisipasi masyarakat” pun terdengar positif, selaras dengan semangat gotong royong yang mengakar dalam budaya kita.

Namun jika ditelisik lebih dalam, justru di sinilah letak persoalannya. Benar, APBN kita defisit. Benar, beban belanja negara semakin besar. Tetapi menjadikan gaji guru dan dosen sebagai beban yang harus ditanggung masyarakat secara langsung bukanlah jawaban. Justru di tengah defisit inilah negara diuji. Apakah berani menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama atau sekadar memandangnya sebagai pos anggaran yang bisa dinegosiasikan?

Konstitusi sudah tegas memberikan amanat. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan pendidikan adalah hak warga negara dan wajib dibiayai oleh negara. Anggarannya pun dipatok minimal 20 persen dari APBN maupun APBD. Dengan spirit itu, gaji guru dan dosen bukanlah hadiah, apalagi kebaikan hati pemerintah, melainkan kewajiban negara yang dibayar dari pajak rakyat. Ketika Menkeu melempar ide partisipasi masyarakat, wajar bila publik balik bertanya. Bukankah partisipasi itu sudah kita jalankan setiap hari lewat pajak penghasilan, PPN, cukai, hingga retribusi? Jika masyarakat masih harus menanggung gaji guru dan dosen di luar pajak, maka itu bukan partisipasi, melainkan pengalihan tanggung jawab negara.

Pada titik ini kita harus mengubah cara pandang terhadap defisit. Defisit sering dipersepsikan negatif, seolah cermin kelemahan pemerintah. Padahal, dalam perspektif ekonomi publik, defisit tidak selalu buruk. Defisit bisa berarti keberanian negara untuk mengeluarkan belanja besar demi melindungi rakyat. Bila belanja besar itu diarahkan ke pendidikan, maka defisit justru menjadi instrumen strategis. Ia adalah investasi untuk melipatgandakan potensi bangsa melalui guru dan dosen yang sejahtera.

Dalam pandangan Human Capital Theory dari Gary Becker, belanja pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memberi imbal hasil ekonomi. Negara yang berani membayar pendidiknya dengan layak terbukti lebih produktif, lebih inovatif, dan lebih kompetitif. Sejarah pun mendukung argumen ini. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura tidak pernah memangkas gaji pendidiknya ketika fiskal menegang. Sebaliknya, mereka tetap menempatkan pendidikan sebagai prioritas, karena sadar kualitas sumber daya manusia jauh lebih penting daripada angka defisit jangka pendek.

Jika kita memandang pernyataan Menkeu secara positif, justru di situlah peluangnya. Pernyataan itu harus menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak boleh dipandang sebagai beban fiskal semata. Gotong royong masyarakat memang penting, tetapi instrumennya adalah pajak. Dengan kata lain, partisipasi sudah berjalan. Tinggal bagaimana pemerintah memastikan alokasi pajak benar-benar mengutamakan pendidikan, bukan terserap ke pos-pos yang salah sasaran.

Masalah utama kita bukan pada ketiadaan dana, melainkan pada prioritas alokasi. APBN Indonesia mencapai lebih dari Rp 3.000 triliun. Setiap tahun BPK mengungkap pos belanja yang tidak efisien, dari subsidi yang salah sasaran hingga proyek infrastruktur yang molor. Jika sebagian dari inefisiensi itu dialihkan untuk kesejahteraan guru dan dosen, kebutuhan gaji bisa terpenuhi tanpa harus membebani masyarakat lebih jauh. Dengan cara pandang seperti ini, defisit bukan alasan untuk melepas tanggung jawab negara, melainkan momentum untuk membenahi arah kebijakan fiskal.

Risiko jika gagasan “partisipasi masyarakat” diterjemahkan secara sempit sangat besar. Dalam jangka pendek, kualitas pembelajaran menurun karena pendidik sibuk mencari tambahan penghasilan. Dalam jangka panjang, lahirlah generasi yang kalah bersaing, target Indonesia Emas 2045 hanya jadi jargon, dan republik ini kehilangan pilar utamanya. Defisit anggaran bisa dipulihkan dalam beberapa tahun, tetapi defisit kualitas sumber daya manusia akan menghantui berpuluh-puluh tahun ke depan.

Karena itu, narasi defisit perlu dipulihkan menjadi narasi keberanian. Ya, APBN defisit. Tetapi defisit itu harus kita gunakan untuk berinvestasi pada pendidikan, bukan memindahkan beban ke pundak masyarakat. Guru dan dosen adalah multiplier dari investasi nasional. Di tangan mereka, setiap rupiah yang kita keluarkan akan kembali berlipat ganda melalui generasi terdidik yang produktif.

Di momen 80 tahun kemerdekaan ini, kita perlu mengingat kembali pesan Soekarno. Bangsa besar adalah bangsa yang mencerdaskan rakyatnya. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, melainkan bebas dari kebodohan dan ketertinggalan. Sri Mulyani, dengan latar belakang akademisnya, mestinya memahami hal ini. Pernyataan tentang partisipasi masyarakat sebaiknya menjadi pengingat bahwa masyarakat sudah berpartisipasi melalui pajak. Sekarang giliran negara menunaikan bagiannya, menjaga kesejahteraan guru dan dosen tanpa kompromi.

Pendidikan tidak boleh jadi korban defisit. Ia adalah amanat konstitusi sekaligus warisan perjuangan kemerdekaan. Dan hanya dengan menepati janji itu, Indonesia bisa benar-benar merdeka. Berdiri di atas kaki sendiri, dengan generasi yang berpengetahuan, percaya diri, dan siap menyongsong 100 tahun kemerdekaan dengan kepala tegak. []

*Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder FINE Institute

Back to top button