
Rakyat Aceh merasa tidak memperoleh keadilan. Berbagai hasil sumber daya alam Aceh dibawa ke Jakarta. Oligarki dengan izin pemerintah menguras semua kekayaan alam Aceh, mulai dari kayu, gas, minyak dan tambang lainnya. Namun, masyarakat Aceh yang menikmati bencana yang ditimbulkannya. Ketika bencana alam mendera masyarakat Aceh, pihak yang selama ini memperoleh kebaikan dari Aceh, diam seribu bahasa. Mereka hanya berkawan dengan masyarakat Aceh ketika memperoleh keuntungan materi saja.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Sejak lahir hingga dewasa kita selalu memiliki kawan. Ada kawan yang sangat kita cintai. Ada pula kawan yang kita benci. Seiring dengan perjalanan waktu, kawan kita makin banyak. Dimulai dari lingkaran awal diri, sekolah, hingga tempat kerja. Bahkan ada kawan yang berasal dari tempat-tempat yang tidak kita duga sebelumnya. Itulah sunatullah.
Ketika kita sakit, ada kawan yang bernama tetangga menengok kita. Dia berdoa demi kesembuhan kita. Ketika kita berkeluh kesah ada kawan yang bernama sahabat meredakan perasaan kita. Ketika kita butuh kasih sayang dan kehangatan, datanglah anggota keluarga mencurahkan kasih sayangnya kepada kita.
Maka lahirlah kemudian ungkapan: “mempunyai seribu kawan terasa kurang, memiliki satu musuh terasa sesak”. Ungkapan ini konon merupakan pepatah kuno yang berasal dari Tiongkok. Pepatah ini pernah disampaikan Presiden Prabowo saat berkunjung ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 2024. Pernah pula disampaikannya dalam pidatonya di forum internasional Antalya Diplomacy Forum (ADF) 2025.
Lalu, bagaimana Presiden Prabowo merealisasikan ungkapannya itu? Apakah dia sudah memerintahkan anak buahnya atau siapa pun yang berada di bawah komandonya untuk menjadi kawan korban bencana alam Sumatra? Semua korban bencana alam di Sumatra butuh kawan. Kawan yang bisa memperhatikan mereka. Kawan yang bisa berempati pada kondisi mereka. Kawan yang bisa menghibur mereka. Bahkan kawan yang bisa memberikan kehangatan kepada mereka.
Namun, kita tidak tahu persis jawaban pertanyaan di atas. Yang jelas, sebuah video berjudul “Habib RS Peringatkan Pemerintah, Hati-hati dengan Aceh, Kalau terjadi Apa-apa Jangan Salahkan Aceh” beredar di media sosial. Video berdurasi 2 menit 42 detik itu merekam peristiwa bencana alam yang menimpa Aceh. Di tengah-tengah peristiwa itu terdengar narasi di Habib Rizieq Shihab (HRS).
Narasi HRS itu berbunyi antara lain: “Saya ingatkan. Yang paling penting, hati-hati ya. Hati-hati. Kita dengan Aceh baru punya perjanjian damai 20 tahun, Saudara. Hati-hati. Hati-hati. Sebelum 20 tahun dulu, Indonesia dan Aceh perang, Saudara. Bertahun-tahun perang. Saling tembak, saling culik, saling bunuh. Banyak orang tidak berdosa jadi korban. Perempuan, anak-anak, Saudara. Hati-hati. Jangan sampai kalau Aceh tidak diperhatikan, nanti mereka kecewa. Kalau mereka kecewa, nanti mereka keluar dari perjanjian. Kalau mereka keluar dari perjanjian, mereka akan angkat senjata lagi melawan Indonesia.”
Demikianlah, HRS menempatkan dirinya dalam perkawanannya dengan masyarakat Aceh. Dia memadukan dirinya dengan bangsa Aceh. Apakah sikap HRS ini salah?
Bisa saja ada respons yang menyebutkan HRS sedang mencari panggung setelah Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpinnya dibubarkan pemerintah. Boleh saja ada pendapat yang menyebut HRS sedang mengambil hati rakyat Aceh untuk berpihak kepadanya. Boleh pula ada tanggapan menyebut HRS ingin mengajak pemerintah untuk menjadi kawan masyarakat Aceh yang terdampak bencana alam.
Apa pun respons itu, ia bersifat manusiawi. Ada pertautan yang mendalam antara yang berpendapat dengan dunia yang dihadapinya. Namun, kelanjutan narasi HBS di atas menyebutkan, dia sudah beberapa kali mencegah rakyat Aceh untuk mengangkat senjata melawan Indonesia.
Lantas, mengapa Aceh ingin melawan Indonesia? Jawabannya sederhana saja. Rakyat Aceh merasa tidak memperoleh keadilan. Berbagai hasil sumber daya alam Aceh dibawa ke Jakarta. Namun, yang kembali ke pemerintah daerah Aceh sangat sedikit. Oligarki dengan izin pemerintah menguras semua kekayaan alam Aceh, mulai dari kayu, gas, minyak dan tambang lainnya. Namun, masyarakat Aceh yang menikmati bencana yang ditimbulkannya. Ketika bencana alam mendera masyarakat Aceh, pihak yang selama ini memperoleh kebaikan dari Aceh diam seribu bahasa. Mereka hanya berkawan dengan masyarakat Aceh ketika memperoleh keuntungan materi saja.
Ketika masyarakat Aceh tidak menemukan keadilan, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan kecuali melawan. Nah, melawan inilah yang tidak dikehendaki oleh HRS. Ini juga yang tidak kita inginkan. Mumpung, usaha melawan itu belum terealisasi, wahai pemerintah dan oligarki, berkawanlah dengan korban bencana alam Aceh.
Contohlah para relawan yang bersusah payah membawa bantuan beras menembus daerah terisolasi di Aceh Tamiang. Mereka sangat berempati pada masyarakat korban bencana alam di sana. Mereka tidak terhalang sama sekali oleh berbagai hambatan untuk menolong masyarakat yang terdampak bencana alam di Aceh. Mereka melakukan apa pun untuk mengembalikan kehidupan masyarakat Aceh seperti sedia kala. [ ]
*Gurubesar Jurnalisme UGM






