
Jika kekuasaan adalah panggung teater, Dasco mungkin bukan aktor utama, tapi ia jelas pengatur lampu dan pengarah adegan. Dan seperti kata Khalil Gibran dalam karyanya The Prophet, “Kebesaran tidak dalam urusan menjulang tinggi, melainkan dalam kebermanfaatan.” Maka mari kita ukur seseorang bukan dari julukan yang ditempelkan, tapi dari peran yang ia mainkan.
Oleh: D. Sepriyossa*
JERNIH– Dalam dunia politik yang kerap dibingkai hitam-putih, jarang ada ruang bagi narasi yang berlapis. Begitu pula ketika Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Harian Partai Gerindra, dijuluki “Don Dasco” dalam sebuah opini yang menggoda nalar publik.
Julukan itu meminjam simbolisme mafia Italia dari dunia fiksi, seolah ingin menyematkan kesan kekuasaan yang gelap, licin, dan tak tersentuh hukum. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Umberto Eco dalam karya-karyanya, simbol tidak berdiri sendiri; ia membutuhkan konteks dan penafsiran. Dalam semiotika, makna sebuah simbol sangat bergantung pada konteks penggunaannya dan interpretasi yang diberikan oleh masyarakat.
Sufmi Dasco Ahmad bukan tokoh yang lahir dari etalase politik kosmetik. Ia menempuh jalur panjang sebagai advokat dan ahli hukum, sebelum kemudian menapaki tangga politik. Ia meraih gelar doktor bidang hukum dan aktif di Mahkamah Kehormatan Dewan, lembaga yang menjadi garda etik bagi parlemen. Di situ, integritas bukan sekadar jargon, tapi ukuran utama. Alhasil, Dasco adalah seseorang yang tahu benar bahwa kuasa tanpa etika adalah awal dari kehancuran.

Sebagai wakil ketua DPR RI, Dasco bukan hanya simbol kekuasaan struktural, tetapi operator konstitusional. Salah satu contoh konkret peran strategisnya adalah keterlibatannya dalam pembentukan RUU Minerba sebagai usul inisiatif DPR. Pada 23 Januari 2025, rapat paripurna yang ia pimpin mengesahkan RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut. Dalam ketukan palu itu, tersimpan filosofi kerakyatan: bahwa pengelolaan sumber daya alam semestinya melibatkan ormas keagamaan, perguruan tinggi, dan UKM, bukan hanya korporasi tambang raksasa. Sebuah tafsir baru atas sila kelima Pancasila.
Tak hanya di ranah legislasi, Dasco juga memainkan peran penting dalam diplomasi politik. Pertemuan empat mata antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri pada 7 April 2025 di Jalan Teuku Umar adalah hasil dari kemampuan menjembatani faksi yang selama ini tampak berseberangan. Ia tak muncul di depan kamera, namun perannya sebagai fasilitator dalam membangun kepercayaan antar pemimpin politik sangat krusial.
Lebih lanjut, pada 18 April 2025, Dasco menginisiasi pertemuan dengan sejumlah tokoh pergerakan seperti Eggi Sudjana, Bursah Zarnubi, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Rocky Gerung. Pertemuan ini membahas arah demokrasi ke depan, kebutuhan rekonsiliasi politik nasional, serta peluang untuk mengoreksi kebijakan lama yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Momen ini menunjukkan upaya Dasco dalam merajut kembali simpul-simpul kebangsaan yang sempat renggang, serta membuka ruang dialog antara pemerintah dan kelompok-kelompok kritis.
Gaya politik Dasco bukanlah konfrontatif, melainkan deliberatif. Ia menghidupkan ruang-ruang dialog dengan lawan politik, ormas keagamaan, bahkan kelompok masyarakat sipil. Ia tampak lebih seperti apa yang Isaiah Berlin sebut sebagai “the fox who knows many things,” bukan “the hedgehog who knows one big thing.” Fleksibilitas itulah yang menjadikannya efektif, bukan oportunis.
Julukan “Don” jika dipahami dalam akar etimologisnya, berasal dari bahasa Latin dominus, artinya tuan, pemimpin, atau pelindung. Dalam dunia akademik, Don adalah gelar kehormatan. Don Quixote, tokoh karangan Cervantes, adalah lambang keberanian melawan absurditas zaman. Maka pertanyaannya, mengapa kita hanya menafsirkan Don dalam kerangka Don Corleone? Tidakkah ini bentuk reduksi yang disengaja?
Dasco, seperti semua manusia politik, tentu tidak tanpa cela. Namun menjadikannya kambing hitam dari segala manuver politik Prabowo, adalah potret banal dari cara sebagian elit berpikir. Hannah Arendt dalam analisisnya tentang Adolf Eichmann menyoroti bahwa kejahatan terbesar kadang hadir bukan dari niat jahat, tapi dari ketidaksanggupan berpikir secara kritis. Mengamini narasi satu sisi adalah bentuk kemalasan intelektual.
Jika kekuasaan adalah panggung teater, Dasco mungkin bukan aktor utama, tapi ia jelas pengatur lampu dan pengarah adegan. Dan seperti kata Khalil Gibran dalam karyanya The Prophet, “Kebesaran tidak dalam urusan menjulang tinggi, melainkan dalam kebermanfaatan.” Maka mari kita ukur seseorang bukan dari julukan yang ditempelkan, tapi dari peran yang ia mainkan.
Mengapa penting menulis ini? Karena di era post-truth, ketika persepsi lebih dipercaya ketimbang fakta, menimbang ulang narasi menjadi tugas etis kita bersama. Tulisan ini bukan glorifikasi, melainkan koreksi atas kemalasan berpikir. Sebab seperti dikatakan Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Mungkin, sudah waktunya kita melihat Dasco dari lensa yang lebih utuh: bukan Don yang bersembunyi di balik tirai, melainkan duta yang menjahit ulang kebangsaan dari balik meja parlemen. [ ]
*Penulis adalah bagian dari GREAT Institute