Boleh Jadi Uwak Saya Keturunan ‘The Man from Atlantis’
Setelah shalat dua rakaat di batu-batu dampar (batu besar yang bepermukaan rata), Uwa pun ngukus alias membakar kemenyan. Dibacanya mantera yang tak seorang pun mendengar karena lirihnya. Dilemparkannya ketiga telur ayam itu ke tiga titik berjauhan di lubuk tersebut. Ketiga telur itu perlahan tenggelam. Ia pun segera membuka pakaian, hanya menyisakan celana komprang
JERNIH– Pernah saya tulis bahwa saya dilahirkan di Cibasale, sebuah kampung tepian Sungai Cideres di Desa Majalengka Kulon. Alhasil budaya sungai juga menjadi bagian hidup saya, setidaknya di masa kanak-kanak.
Dengan sungai yang mengalir di pinggir kampung, penghidupan warga Cibasale selain bertani juga sedikit bergantung pada aliran Sungai Cideres itu. Apalagi memang di sungai tersebut saat itu hidup banyak ikan berbagai jenis. Mulai dari sepat, beunteur, paray, bogo, lele, deleg (gabus), senggal, keting, lalawak, hingga ikan besar seperti kancra. Rasanya, kancra—ikan besar yang hidup di sungai dengan rasa gurih, kenyal dan enak–itu mungkin sudah punah.
Kadang saat musim kemarau, dengan kesepakatan bersama, warga ramai-ramai turun ke sungai. Namanya kalau di Garut, ngubek leuwi. Saya lupa nama khasnya di Cibasale zaman itu.
Bagian agak ke hulu sungai yang alirannya hanya tinggal setulang kering orang dewasa, kemudian dibendung beramai-ramai. Alirannya dipindahkan ke sisi lain sungai. Begitu di hilir mulai mengering, dengan komando tokoh kampung orang-orang serentak turun. Tanpa harus menggunakan portas atau tuba yang lebih alamiah, ikan-ikan pun mabuk.
Orang-orang yang lebih punya kebisaan ‘gogo’ (menangkap ikan hanya dengan tangan kosong), biasanya segera turun ke lubuk yang airnya masih tetap dalam. Umumnya mereka akan menyelam tanpa alat. Begitu muncul ke permukaan, bisa dipastikan kedua tangan mereka erat menggenggam ikan, seekor atau lebih. Orang-orang yang lebih pandai lagi biasanya show off: selain kedua tangan, mulut mereka pun menggigit ikan yang sudah tak berdaya.
Salah seorang di antara para jagoan gogo itu adalah uwak saya. Tepatnya suami Wa Icih—kini almarhumah, kakak perempuan ayah. Namanya Anda. Itu saja, tak lebih. Saat-saat di SMA saya kadang suka membayangkan adegan pembuatan KTP di desa, yang melibatkan Wa Anda. Juru Tulis Desa di kepala saya bertanya,”Siapa nama Anda?” Yang akan dijawab Wa Anda dengan,”Anda.”
“Iya, siapa nama Anda?”
“Anda.”
Tentu saja dialog ganjil itu hanya ada dalam kepala saya yang kian dewasa malah kian senang membayangkan hal-hal ganjil. Persoalannya, semua urusan di balai desa zaman itu—bahkan kadang sekarang pun, tak pernah diperantarai bahasa Indonesia. Sunda saja, bahkan rapat desa dan kecamatan pun saat itu tampaknya demikian. Jadi tak mungkin dialog itu muncul dalam kenyataan!
Tidak sekadar jago gogo biasa, Wa Anda adalah seorang “palika”. Itu penyebutan orang Sunda untuk seorang jagoan menyelam di sungai tanpa alat. Biasanya melibatkan tata cara dan ritual tertentu.
Apakah dengan kemampuan gogonya yang jago, Wa Anda setiap hari menguras ikan Sungai Cideres? Tidak. Saya setelah akil balig melihat ada semacam hubungan emosional tertentu antara Wa Anda dengan ikan-ikan Cideres. Bisa dikatakan, semacam hubungan saling menghormati, kalau pun tidak saling menyayangi.
Bahkan bisa dikatakan, Wa Anda hanya akan turun menyelam kalau Wa Icih sudah murang-maring berteriak dari dapur tentang lauk teman nasi yang tak ada lagi. Itu rasanya tak lebih dari sebulan tiga kali. Jadi rata-rata bisa dikatakan bahwa Wa Anda hanya akan menyelam, gogo dan membawa ikan-ikan besar ke darat itu hanya tiga kali sebulan. Paling banyak. Padahal, dengan cara berpikir industrialis kapitalis saat ini, bukankah seharusnya Wa Icih atau anak-anak Wa Anda memaksanya turun ke kali sehari sepuluh kali, katakanlah. Buat apa? Ya jual, seperti kredo yang ada di kepala para pemimpin kita saat ini: Jual! Jual! Jual!
Anda (saya tak mungkin menulis: kalian) boleh tak percaya tanpa pernah menyaksikan hal berikut dengan mata kepala sendiri. Suatu saat ada anak-anak remaja ‘kota’—orang-orang Cibasale selalu menyebut ‘urang kota’ untuk warga Majalengka yang tinggal di pinggir jalan raya, datang berenang dan main air di Bendungan Tirta Negara. Bendungan ini hanya 300 meter di hilir Kampung Cibasale. Dengan kepandaian berenang ala kolam renang, mereka tak sadar ada pusaran air yang kuat di bendungan itu. Apalagi kehadiran anak-anak itu tak sepengetahuan penjaga Dam.
Singkat cerita, saat anak-anak itu usai bermain, seorang anak diketahui raib. Asumsinya, tenggelam tanpa disadari yang lain. Lama dicari-cari tak jua ditemukan. Akhirnya setelah semakin banyak orang tahu, dipanggillah Uwa saya. Saat itu pun sudah berkembang banyak isyu. Umumnya orang-orang Cibasale yakin remaja itu ditarik Lulun Samak, atau mungkin juga Kokod Monong. Dua ‘species’ hantu air itu memang diyakini hidup di sepanjang aliran Sungai Cideres, selain Hantu Lembu yang hanya hidup di leuwi (lubuk) yang dalam.
Uwa datang. Ia hanya minta disediakan kepala muda, kemenyan dan bara, tiga butir telur ayam dan sebungkus rokok Djarum Coklat. Yang saya tahu, rokok itu memang kesukaan Uwa. Setelah shalat dua rakaat di batu-batu dampar (batu besar yang bepermukaan rata), Uwa pun ngukus alias membakar kemenyan. Dibacanya mantera yang tak seorang pun mendengar karena lirihnya. Dilemparkannya ketiga telur ayam itu ke tiga titik berjauhan di lubuk tersebut. Ketiga telur itu perlahan tenggelam. Ia pun segera membuka pakaian, hanya menyisakan celana komprang yang sering dipakainya untuk bekerja di sawah.
Sekitar sepuluh menit kemudian, salah satu telur muncul, jauh dari tiga titik yang dilempar tadi. Ke titik itulah Uwa terjun. Lep, ia pun menyelam.
Inilah yang tadi saya katakan bahwa Anda tak akan percaya bila tak menyaksikannya sendiri. Hampir setengah jam—sekitar itulah, saya belum pakai arloji saat itu– Uwa berada di dalam air. Baru beberapa saat kemudian muncul. Tidak sendiri, karena kedua lengannya memangku sesosok tubuh yang cenderung memutih lama terendam air.
“Di sedong, matakna teu ngambul,” katanya kepada seorang tokoh kampung. “Di dalam gua bawah air, wajar kalau tak mumbul ke atas.” Seketika itu saya teringat pada film seri tv yang tengah ngetop saat itu, ‘The Man from Atlantis’, yang dibintangi Patrick Duffy. Bagi saya, Uwa Anda bahkan tak kalah dengan Deni si Manusia Ikan, yang tiap pekan saya baca di Majalah Bobo punya teman, anak orang berada pemilik peternakan ayam ras pertama dan terakhir di kampung saya kemudian, Lapangsari.
Belakangan, zaman saya gandrung dengan wacana Atlantis, yang konon menurut Profesor Arysio Santos dalam bukunya “Atlantis: The Lost Continent Finally Founded”, ada di Nusantara, saya membayangkan mungkin saja Wa Anda adalah keturunan orang-orang Atlantis itu, sebelum mereka punah. Apalagi Santos tak hanya bilang secara spesifik bahwa Atlantis yang hilang itu ada di Nusantara. Santos juga mengatakan bahwa Atlantis berada di sekitar Sundaland, di antara Sumatera, Gunung Krakatau dan Laut Jawa. Mungkin saja saat itu ada orang negeri yang diyakini keberadaannya oleh Plato itu terlempar ombak karena letusan gunung berapi, mencelat ke tanah kosong yang di kemudian hari bernama Cibasale. Belakangan, ‘man from Atlantis’ itu menemukan buah hatinya. Katakan saja buyut janggawareng ketuk siwur plus plus itu bernama Rasiti, urang Sundaland asli alias USA. Beranak pinak bercucu buyut dan seterusnya, lahirlah Wa Anda.
Saya belum pernah diminta Wa Anda mencabuti ubannya, tak sebagaimana beberapa uwa lain pernah meminta hal itu. Jadi saya tak pernah bisa memastikan, apakah ada garis lubang insang memanjang kecil di bawah rahang Wa Anda.
Awal tahun 2000-an Wa Anda meninggal. Saya tak tahu, apakah saat ini masih ada palika di sepanjang aliran Sungai Cideres yang kian kotor dan dangkal berlumpur karena dampak galian C itu. Saat saya pernah membawa kakak-kakak Ghiffar di awal 2000-an lalu, bahkan saya tak lagi menemukan leuwi (lubuk) di sepanjang aliran Cideres di Cibasale. [dsy]